Sabtu, 22 Mei 2010
Apakah Kita Hidup di Dalam Sebuah Dunia Hologram?
Seluruh informasi yang kita miliki tentang dunia di mana kita hidup disampaikan kepada kita melalui panca indra kita. Dunia yang kita ketahui, terdiri dari apa yang dilihat mata kita, yang disentuh tangan kita, yang dicium hidung kita, yang dirasakan lidah kita, dan yang didengar telinga kita. Tidak pernah terpikirkan oleh kita bahwa dunia “luar” tersebut bisa jadi berbeda dari apa yang ditampilkan oleh indra kita dikarenakan selama ini kita senantiasa bergantung hanya pada panca indra tersebut sejak saat kita dilahirkan.
Akan tetapi, penelitian ilmiah modern di berbagai bidang mengarahkan kita pada suatu pemahaman yang sama sekali berbeda, sehingga memunculkan keraguan besar terhadap panca indra kita dan dunia yang kita kenal melalui panca indra ini. Titik awal pemahaman ini adalah gagasan bahwa apa pun yang kita rasakan sebagai “dunia luar” hanyalah tanggapan yang dibentuk di dalam otak kita oleh sinyal-sinyal listrik. Warna merah apel, sifat keras kayu, ibu dan ayah Anda, keluarga Anda, dan segala sesuatu yang Anda miliki—rumah Anda, pekerjaan Anda,—dan bahkan baris-baris tulisan ini, hanya tersusun dari sinyal-sinyal listrik.
Perkembangan teknologi masa kini telah memungkinkan manusia untuk merasakan suatu pengalaman yang nyata tanpa perlu adanya “dunia luar” atau “materi.” Kemajuan sangat besar dalam teknologi virtual reality [kenyataan maya] telah menghasilkan sejumlah bukti-bukti yang secara khusus sangat meyakinkan.
Secara sederhana, virtual reality [kenyataan maya] adalah pemunculan gambar-gambar tiga dimensi yang dibangkitkan komputer, yang terlihat nyata dengan bantuan sejumlah peralatan tertentu. Teknologi ini, yang dapat diterapkan di berbagai bidang, dikenal sebagai”virtual reality” [kenyataan maya], “virtual world” [dunia maya], atau “virtual environment” [lingkungan maya]. Ciri terpentingnya adalah dengan menggunakan perangkat yang dirancang untuk tujuan tertentu, teknologi ini mampu menjadikan orang yang merasakan dunia maya tersebut terkecoh dan yakin bahwa yang dialaminya adalah nyata. Sejak beberapa tahun lalu, kata “immersive” [tenggelam] telah mulai digunakan di depan istilah “virtual reality” [kenyataan maya], yang mencerminkan keadaan bahwa mereka yang menyaksikan kenyataan maya benar-benar tenggelam dalam apa yang sedang mereka alami.
Penjelasan dari sistem dunia maya ini didasarkan pada panca indra manusia. Misalnya, ketika pengguna sistem dunia maya memakai sarung tangan khusus, perangkat di dalam sarung tangan tersebut mengalirkan sinyal-sinyal ke ujung-ujung jari. Ketika sinyal-sinyal ini diteruskan ke dan ditafsirkan oleh otak, pengguna tersebut merasakan bahwa dirinya sedang menyentuh kain sutra atau vas bunga yang penuh hiasan, lengkap dengan seluruh pernak pernik pada permukaannya—meskipun benda semacam itu pada kenyataannya tidak ada di sekitarnya.
Salah satu penerapan terpenting dari dunia maya adalah di bidang kedokteran. Universitas Michigan telah mengembangkan suatu teknologi untuk melatih para pembantu dokter—khususnya para karyawan di ruang gawat darurat—untuk melatih ketrampilan mereka di sebuah laboratorium dunia maya. Di sini, gambaran lingkungan sekitar diciptakan dengan memunculkan rincian seluk beluk sebuah ruang operasi pada lantai, dinding, dan langit-langit dari sebuah ruangan. “Gambar” ini disempurnakan dengan memunculkan sebuah meja operasi, lengkap dengan pasien yang akan dioperasi di atasnya, di bagian tengah ruangan. Para calon ahli bedah memakai kacamata 3-Dimensi mereka dan mulai melakukan operasi “maya” mereka. Dan siapa pun yang melihat gambar-gambar yang dipantulkan pada kacamata 3-Dimensi tidak dapat membedakan antara ruangan operasi sungguhan dengan ruangan maya ini.
New Scientist adalah salah satu majalah paling terkenal. Bahasan utama edisi 27 Maret 2002 majalah tersebut ditulis oleh ilmuwan J.R. Minkel, dengan judul “Hollow Universe.” [Alam Semesta Kosong] “Why we all live in a hologram” [Mengapa kita semua hidup di dalam sebuah hologram], demikian bunyi judul utama sampul depan majalah itu. Ringkasnya, artikel tersebut menyatakan bahwa kita merasakan dunia ini sebagai sebuah paket cahaya. Oleh karena itu, adalah keliru jika menganggap materi sebagai wujud sesungguhnya yang memiliki keberadaan mutlak berdasarkan pemahaman yang kita dapatkan melalui panca indra. Minkel membuat pengakuan:
“Anda memegang sebuah majalah. [Majalah] itu terasa padat; memiliki semacam keberadaan mandiri dan terpisah di dalam ruang. Sama halnya dengan benda-benda di sekeliling Anda—misalnya secangkir kopi, sebuah komputer. Mereka semua tampak nyata dan ada di luar sana di suatu tempat. Tapi semua itu adalah penampakan maya.”
Artikel Minkel menyatakan bahwa sejumlah ilmuwan menamakan gagasan ini sebagai “teori segalanya,” dan para ilmuwan itu menganggap teori ini sebagai tahap pertama dalam menjelaskan sifat sesungguhnya dari alam semesta. Artikel majalah ini menjelaskan secara ilmiah bahwa kita merasakan keberadaan alam semesta sebagai sebuah bayangan atau penampakan di dalam otak kita dan karenanya kita tidak berhubungan langsung dengan materi itu sendiri.
Gangguan Sistem Pengindraan Dipulihkan dengan Sinyal Tiruan
Dalam edisi 11 Maret 2002, majalah Time menerbitkan sebuah tulisan berjudul “The Body Electric” [Listrik Tubuh], yang menyingkap perkembangan ilmiah penting. Artikel itu melaporkan, sejumlah ilmuwan menyatukan chip komputer dengan sistem saraf sejumlah pasien untuk memperbaiki kerusakan tetap pada indra mereka.
Dengan sistem baru yang mereka kembangkan, para peneliti di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang bertujuan memberikan alat penglihatan pada penderita kebutaan dan membantu sang pasien pulih kembali. Mereka telah mencapai separuh keberhasilan dengan sistem baru ini dengan mencangkokkan elektroda-elektroda di daerah terkait pada tubuh pasien, dan chip silikon digunakan untuk menghubungkan tangan dan kaki tiruan dengan jaringan hidup.
Akibat kecelakaan, seorang pasien asal Denmark bernama Brian Holgersen mengalami kelumpuhan dari leher ke bawah. Ia hanya dapat melakukan gerakan sangat terbatas pada kedua pundaknya, lengan kiri dan tangan kiri. Sebagaimana diketahui, kelumpuhan semacam ini disebabkan oleh kerusakan saraf tulang belakang pada leher dan punggung. Saraf-sarafnya mengalami kerusakan atau penyumbatan, sehingga menghentikan lalu lintas saraf antara otak dan otot, dan memutuskan komunikasi antara saraf-saraf yang meneruskan sinyal-sinyal yang mengalir bolak balik dari tubuh ke otak. Terhadap pasien ini, yang akan dilakukan adalah memulihkan bagian yang rusak pada saraf tulang belakang dengan pencangkokkan perangkat khusus, sehingga memungkinkan sinyal-sinyal dari otak mengembalikan sedikit kemampuan gerak pada lengan dan kaki.
Mereka menggunakan sebuah sistem yang dirancang untuk mengembalikan kemampuan gerak dasar tangan kiri, seperti menggenggam, memegang, dan melepaskan benda-benda. Dalam sebuah operasi, delapan elektroda lentur seukuran uang logam ditanam ke dalam otot-otot yang berperan dalam gerakan tersebut, yakni pada lengan kiri bagian atas, lengan bawah dan bahu pasien. Kemudian, kabel sangat halus menghubungkan elektroda-elektroda ini dengan sebuah stimulator [alat pembangkit rangsangan]—semacam pacemaker [alat pembangkit dan pengatur timbulnya rangsangan] untuk sistem saraf— yang ditanam pada dadanya. Alat pembangkit rangsangan ini kemudian dihubungkan dengan sebuah perangkat pengindra posisi yang direkatkan pada bahu kanan Holgersen—di mana ia masih dapat mengendalikan geraknya hingga batas tertentu.
Kini, ketika sang pasien ingin mengambil gelas, ia menggerakkan bahu kanannya ke atas. Gerakan ini mengirimkan sebuah sinyal listrik dari perangkat pengindra posisi, yang terpasang di bawah bajunya, ke alat pembangkit rangsangan di dalam dadanya, yang lallu memperkuat sinyal tersebut dan meneruskannya ke otot-otot terkait pada lengan dan tangannya. Sebagai tanggapan, otot-otot ini menegang, dan tangan kirinya pun menutup. Ketika ia hendak melepaskan gelas tersebut, ia menggerakkan bahu kanannya ke bawah, sehingga tangan kirinya membuka.
Universitas Louvain di Brussels menggunakan penerapan teknologi serupa terkait dengan penglihatan. Sel-sel batang dan kerucut seorang pasien mengalami kerusakan, sehingga menyebabkan retina menjadi tidak peka terhadap cahaya. Akibatnya, ia menjadi buta. Sebuah elektroda yang ditanam di sekeliling saraf matanya membantunya mendapatkan kembali sebagian kemampuan melihatnya.
Dalam kasus pasien ini, elektroda tersebut dihubungkan dengan alat pembangkit rangsangan yang ditempatkan di dalam sebuah rongga di dalam tempurung kepalanya. Sebuah kamera video, yang terpasang pada topi, meneruskan gambar yang diterimanya ke alat pembangkit rangsangan dalam bentuk sinyal-sinyal radio, tanpa melewati sel-sel batang dan kerucut yang rusak, dan mengirimkan sinyal-sinyal listrik langsung menuju ke saraf mata. Korteks visual pada otak menggabungkan kembali sinyal-sinyal ini untuk membentuk sebuah gambar. Apa yang dialami pasien dapat disamakan dengan melihat sebuah tiruan kecil papan iklan di gelanggang olah raga. Meskipun demikian mutu yang didapatkan sudah cukup untuk membuktikan bahwa sistem ini dapat diterapkan.
Sistem ini disebut “Microsystem-based Visual Prosthesis” [Organ Penglihatan Buatan Berdasarkan Sistem Mikro], sebuah perangkat yang ditanam untuk selamanya di dalam kepala pasien. Namun untuk menjadikan semuanya berfungsi, sang pasien harus pergi ke ruangan yang dirancang khusus di Universitas Louvain dan memakai sesuatu yang menyerupai topi renang yang rusak. Topi renang ini terbuat dari plastik dengan kamera video biasa yang dipasang di bagian depannya. Semakin besar ukuran pixel yang digunakan untuk membentuk sebuah gambar pada layar, maka semakin besar jumlah rangsangan listriknya; oleh karenanya, semakin baik pula mutu resolusi gambarnya.
Teknologi ini, jika ukurannya dapat diperkecil sehingga dapat ditempatkan di dalam tubuh, akan membuka jalan bagi perkembangan menyeluruh di bidang kedokteran. Perkembangan ini memperlihatkan satu kenyataan penting lain: Dunia luar adalah gambar salinan yang kita saksikan di dalam otak kita…
Artikel terbitan Time tersebut memperlihatkan contoh-contoh nyata tentang bagaimana kita dapat menciptakan pengalaman melihat atau menyentuh sesuatu dengan rangsangan-rangsangan buatan. Bukti paling nyata adalah orang buta yang mampu melihat. Meskipun mata sang pasien tidak berfungsi, ia dapat melihat melalui sinyal-sinyal tiruan yang dibangkitkan.
Dapatkah Dunia Maya dari Sejumlah Film Disalin ke Dunia Nyata?
Dalam sebuah artikel berjudul “Life is a sim and then you’re deleted” [Hidup adalah sebuah salinan dan kemudian Anda dihapus] yang diterbitkan majalah New Scientist edisi 27 Juli 2002, Michael Brooks menyatakan bahwa kita mungkin saja hidup di dunia maya yang tidak berbeda dengan yang ada dalam film Matrix: “Tidak perlu menunggu kemunculan Matrix 2. Anda bisa jadi sudah berada dalam simulasi komputer raksasa… Sudah pasti Anda berpendapat bahwa film The Matrix adalah khayalan. Tetapi itu hanya karena Anda dibuat untuk berpikiran seperti itu..”
Sang penulis, Brooks, mendukung pandangannya dengan menukil filsuf Nick Bostrom dari Universitas Yale, yang meyakini bahwa film-film Hollywood tersebut jauh lebih mendekati kenyataan daripada apa yang kita sadari. Ia pun melakukan perhitungan bahwa terdapat peluang kemungkinan bahwa kita sedang hidup dalam sebuah dunia tiruan atau maya sebagaimana yang ditayangkan oleh beberapa film.
Kenyataan ilmiah, yang dipahami jauh dengan baik dalam beberapa tahun belakangan, menunjukkan bahwa kita tidak berhubungan atau bersinggungan langsung dengan wujud materi itu sendiri. Hal ini telah menyebabkan manusia untuk merenung secara lebih mendalam. Perkembangan ini, yang seringkali menjadi ilham bagi sejumlah film, menunjukkan bahwa lingkungan maya menciptakan salinan kenyataan yang sedemikian nyata sehingga manusia mampu terkecoh dengan gambar atau bayangan yang tidak nyata ini.
Materialisme, Sebagaimana Filsafat Keliru Lainnya, Telah Runtuh
Filsafat materialisme telah ada sepanjang sejarah. Para penganutnya berpijak pada keberadaan materi yang dianggap mutlak sembari mengingkari keberadaan Tuhan, Yang menciptakan mereka dari ketiadaan dan juga menciptakan bagi mereka alam semesta yang mereka huni. Akan tetapi bukti yang jelas tersebut tidak lagi menyisakan ruang perdebatan. Dengan demikian, materi yang mereka jadikan landasan hidup, pemikiran, kebanggaan dan pengingkaran mereka, telah sirna. Anehnya, melalui penelitian mereka sendiri, para ilmuwan materialis menemukan bahwa segala sesuatu yang mereka saksikan bukanlah materi itu sendiri, melainkan salinan atau gambar yang terbentuk di dalam otak. Dan dengan demikian, mereka sendiri telah meruntuhkan keyakinan materialis mereka.
Abad kedua puluh adalah titik balik dalam sejarah, di mana kebenaran nyata ini akan menyebar di seluruh kalangan manusia, dan materialisme akan terhapuskan dari muka bumi. Sebagian orang, yang berada dalam pengaruh filsafat materialisme, yang meyakini bahwa materi adalah mutlak, kini telah menyadari bahwa mereka sendiri adalah wujud maya, satu-satunya keberadaan mutlak hanyalah Allah, Yang Keberadaan-Nya meliputi segala yang ada. Kenyataan ini dinyatakan dalam salah satu ayat Al Qur’an:
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Aali ‘Imraan, 3:18)
(Sumber : www.islam-online.com)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar