Selasa, 11 Mei 2010

ReviewReviewReviewReview Misteri Cahaya Ilahi

"Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya- Nya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada sebuah pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah
barat, yang minyaknya saja hampir2 menerangi walaupun tidak disentuh api.Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." Demikian bunyi firman Allah yang tertulis dalam Al Quran An Nur (24)ayat 35, cahaya yang ditulis itu merupakan teka-teki yang menantang untuk dicoba dibuka esensinya. Tak urang beberapa arifin/filsuf dari kalangan umat muslim mencoba membukanya untuk memberikan pencerahan.

Allah memberikan perumpamaan cahaya-Nya seperti lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Cahaya itu bersemayam di dalam hati orang yang terpilih dan dikehendakinya. Dengan cahaya itu Allah membimbing dan menuntun hatinya sehinga mampu memahami ayat-ayat dan nasehat-nasehat Allah. Allah yang telah mengantar jiwa kita melayang menemuinya, dan yang menunjukkan jalan rohani kita untuk melihat secara dengan cahayanya kita membedakan petunjuk dari setan atau dari Allah SWT.

Firman Allah dalam Al Anfaal,8 ayat 29:
“Wahai orang-orang yang beriman jika kamu bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberi kepadamu furqan (pembeda”.Yang dimaksud Furqan adalah cahaya yang dengannnya kita mampu membedakan yang hak dan yang bathil.

Mari kita telaah lebih lanjut pemahaman cahaya sebagai pencerahan dari para pendahulu kita yang mencoba menguak tabir iluminasi atau pencerahan :

Disini saya mencoba mengedit beberapa pendapat mereka, diantaranya Suhrawardi dan Mulla Shadra dengan filsafat iluminasinya, Al Ghazali dengan Misykat al Anwar, dan Said Nursi dengan Risalah Annurnya, dari buku sumber Filsafat Islam dibantu seorang kawan Sisca yang ikut andil menggalinya. Terimakasih atas waktu dan bantuannya.

Filsafat Iluminasi Suhrawardi

Filsafat iluminasi yang dalam bahasa Arab disebut dengan Hikmat al-Isyraq dapat kita ikuti jejaknya mulai dari al-Maqtul Syihab al-Din al-Suhrawardi. Dalam banyak risalah, al-Suhrawardi menyatakan bahwa pendapat-pendapatnya sesuai dengan metode peripatetik konvensional yang ia sebut sebagai metode diskursif yang baik. Namun metode tersebut tidak lagi memadai bagi mereka yang berusaha mencari Tuhan atau bagi yang ingin memadukan metode diskursif dengan pengalaman batin sekaligus. Menurut al-Suhrawardi, agar dapat melakukan tugas ini, seseorang dapat mengambil jalur filsafat iluminasi atau Hikmat al-Isyraq.

Syihab al-Din Suhrawardî, lewat mazhab Iluminasi (al-Isyraq) menciptakan prespektif baru yang didasarkan pada pengetahuan melalui iluminasi (pencerahan) dan upaya melatih pikiran rasional dan penyucian jiwa. Filsafat iluminasi lahir sebagai alternatif atas kelemahan-kelemahan yang ada pada filsafat sebelumnya, khususnya paripatetik Aristotelian. Dia mencoba memadukan antara tradisi mistis dan filsafat Paripatetik. Dia melihat pengetahuan sejati terjadi ketika kita diiluminasi oleh Sumber Cahaya dan Sumber Realitas itu. Filsafat iluminasi sanggup bergerak lebih jauh melebihi filsafat Paripatetik dengan menyodorkan pembuktian dan penerimaan pengetahuan secara lebih sempurna. Menurut Suhrawardi, tujuan yang ingin dicapai dalam epistemologi illuminasi adalah jenis pengetahuan yang diketahui melalui kepastian (yaqin), dengan menggabungkan antara pengetahuan dengan esensi semata dan pengetahuan dengan bentuk-bentuk abadi yang tidak berubah.

Inti dari ajaran hikmat al-Isyraq al-Suhrawardi adalah tentang sifat dan pembiasan cahaya. Cahaya ini, menurutnya, tidak dapat didefinisikan karena merupakan realitas yang paling nyata dan yang
menampakkan segala sesuatu. Cahaya ini juga merupakan substansi yang masuk ke dalam komposisi semua substansi yang lain. Segala sesuatu selain "Cahaya Murni" adalah zat yang membutuhkan penyangga atau sebagai substansi gelap. Objek-objek materil yang mampu menerima cahaya dan kegelapan sekaligus disebut barzakh.

Dalam hubungannya dengan objek-objek yang berada di bawahnya, cahaya memiliki dua bentuk, yakni cahaya yang terang pada dirinya dan cahaya yang menerangi yang lain. Cahaya yang terakhir ini merupakan penyebab tampaknya segala sesuatu yang tidak bisa tidak beremanasi darinya. Di puncak urutan wujud terdapat cahaya-cahaya murni yang membentuk anak tangga menaik. Pada bagian tertinggi dari urutan anak tangga ini disebut Cahaya di atas Cahaya yang menjadi sumber
eksistensi semua cahaya yang ada di bawahnya, baik yang bersifat murni maupun campuran. Oleh al-Suhrawardi cahaya ini juga disebut Cahaya Mandiri, Cahaya Suci atau Wajib al-Wujud.

Filsafat iluminasi, seperti yang tergambar dalam karya-karya suhrawardî, terdiri tiga tahap. Tahap pertama ditandai dengan persiapan pada diri filosof: ia harus "meninggalkan dunia" agar mudah menerima "pengalaman". Tahap kedua tahap Iluminasi (pencerahan), ketika filosof mencapai visi (melihat) "cahaya Ilahi" (al-nûr al-ilâhî). Tahap ketiga yaitu pengetahuan Iluminasionis (al-
`ilm al-isyrâqî) itu sendiri. Tahap keempat dan terakhir adalah pendokumentasian atau bentuk pengalaman visioner yang ditulis ulang.

Namun, Secara epistemologis ia tidak bisa menggapai realitas wujud.

Filsuf yang juga banyak diinspirasikan oleh Hikmat al-Isyraq al-Suhrawardi namun kemudian memodifikasinya ajaran tersebut sedemikian rupa sehinga menjadi ilm al-huduri (knowledge by presence) adalah Mulla Shadra.

Filsafat Iluminasi Mulla Shadra


Karya yang menjadi magnum opus Mulla Shadra adalah Hikmat al-Muta'aliyah (hikmat transendental) yang lebih dikenal dengan al-asfar al-arba'ah (empat perjalanan). Empat perjalanan yang dimaksud oleh Mulla Shadra dikemukakan dalam al-asfar al-arba'ah sebagai berikut: pertama perjalanan dari makhluk menuju Tuhan, kedua perjalanan menuju Tuhan melalui bimbingan Tuhan, ketiga perjalanan dari Tuhan menuju makhluk melalui bimbingan Tuhan, dan yang keempat adalah perjalanan di dalam makhluk melalui bimbingan Tuhan.

Mulla Shadra, figur mazhab Ishfihan, dengan pengalaman mistis-eksotatik nya, menganggap iluminasi dan wahyu sebagai sumber vital pengetahuan disamping penggunaan rasio. Menurut Mulla Shadra, secara umum, memperoleh ilmu pengetahuan melalui dua metode, yaitu metode Hushuli dan metode Hudhuri. Metode hushuli ialah metode memperoleh ilmu melalui upaya sengaja, sesuai alat yang digunakan manusia.

Metode ini dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu wahyu (naqly) dan akal (`aqly). Sedangkan metode hudhuri ialah metode memperoleh ilmu dengan cara perenungan dan penghayatan terhadap sebuah obyek, sehingga ia hadir dalam kesadaran seseorang tanpa abstraksi rasional. Metode ini adalah bagaimana hati (qalb) ditempelkan dengan obyek (ma'qul). Konsep hudhuri Mulla Shadra adalah kemampuan manusia menangkap totalitas wujud, baik materi maupun maknanya, yang diperoleh melalui mukasyafah dan musyahadah dengan kesadaran penuh manusia setelah memperoleh cahaya dari Tuhan. Mulla Shadra mensintesiskan kedua metode di atas.

Mishkat Al Anwar Al Ghazali
Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali atau Al-Ghazali, yang mempelopori internalisasi mistisisme ke dalam filsafat, tentang pencarian kebenaran sampai mencapai beatific vision tentang
pengalaman mistis `the vision of God' yang disebutnya Mishkat al- anwar (The Niche of the Lights)

Filsafat Iluminasi menawarkan gagasan perihal kesadaran empirik akan sensasi dan perasaan. Misalnya, seseorang melalui kehadiran, dan bukan konsepsional, merasa sakit. Jelas, jenis kesadaran semacam ini diistimewakan dengan nilai sense-certainty (rasa-kepastian) tertinggi bahwa saat ia sadar sedang merasa sakit, saat itu bukan berarti ia mengatakan bahwa ia ragu apakah ia sedang merasa sakit.
Ini adalah sebuah kepastian, meskipun kesadaran ini tidak menjelaskan sifat benar dan salahnya kesadaran tersebut. Hal ini semata-mata karena teori logika perihal kebenaran mesti diberikan
dengan cara tertentu, sehingga penilaian atau ekspresi itu, saat membuat rasa, secara alternatif mampu mencerap tingkat-tingkat kebenaran dan kesalahan. Mengapa pencabangan logika seperti ini kebenaran dan kesalahan tidak diterapkan dalam `ilm hudûrî (presence/kehadiran), adalah pertanyaan yang sangat disadari sepenuhnya oleh filosof iluminasi.

Gagasan perihal `al-hudûr' (presence/ kehadiran) sebenarnya merupakan transisi dari `knowing' (mengetahui) menuju `being' (wujud/eksis/mengada).

Suhrawardî cenderung menggagas terminologi `apparentness' sebagai konotasi negatifnya, yakni "negation of absent". Hal ini tampak jelas dari pernyataannya:

"it thus follows that in this awareness of your reality you need not have anything besides the very reality of yourself, which is `apparent' to yourself, or, if you wish, `not absent' from yourself."

Dengan demikian, bisa ditarik kesimpulan bahwa "not absent from
yourself" (tidak absen dari diri-anda) sama dengan "not being other than yourself" (tidak berwujud [baca: eksis menjadi] selain diri-anda).

Badiuzzaman Said Nursi

Badiuzzaman Said Nursi menyatakan bahwa seseorang harus mencapai keikhlasan untuk mendapatkan kebaikan dengan kebutuhannya. "Karena di dalam keikhlasan terdapat banyak kekuatan dan cahaya... kami tentu saja memaksa siapa pun untuk bekerja dengan segenap kekuatan untuk mencapai keikhlasan.

Kita perlu menanamkan keikhlasan di dalam diri kita. Jika tidak, apa yang kita capai selama ini dalam amal yang tersembunyi akan hilang sebagian dan tak akan kokoh; dan kita akan bertanggung jawab."

Salam,

http://ferrydjajaprana.multiply.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar