Jumat, 14 Mei 2010

Kedengkian


Imam Al-Ghazali
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya dengki (hasad) itu memakan kebaikan sebagaimana api melahap kayu bakar.” Beliau juga bersabda, “Ada tiga perkara dimana tiada seorang pun yang dapat terlepas darinya, yaitu prasangka, rasa sial dan dengki. Dan aku akan memberikan jalan keluar bagimu dari semua itu, yaitu apabila timbul pada dirimu prasangka, janganlah dinyatakan, dan bila timbul di hatimu rasa kecewa, jangan cepat dienyahkan, dan bila timbul di hatimu rasa dengki, janganlah diperturutkan!”

Sabdanya pula, “Sesungguhnya telah mengalir kepada kalian penyakit ummat sebelum kalian, yaitu rasa dengki dan permusuhan. ; Sesungguhnya permusuhan itu dapat merusak segalanya.”

Di dalam Hadis Qudsi disebutkan, bahwa Nabi Zakariya as. berkata, “Sesungguhnya Allah swt. telah berfirman, ‘Orang yang dengki itu musuh nikmat-nikmat-Ku, tidak setuju kepada ketentuan-ketentuanKu dun tidak rela terhadap pembagian-pembagianku yang Kubagikan kepada semua hamba-Ku’.”

Kedengkian berarti menginginkan hilangnya karunia dan seseorang atau menginginkan turunnya musibah atas diri orang lain. Ini haram hukumnya. Tetapi, jika merasa iri dan ingin meniru seperti orang lain tanpa menginginkan hilangnya karunia dan diri orang tersebut atau turunnya musibah kepadanya, hal ini dinamakan persaingan sehat (munafasah). Dan hal seperti ini tidak dilarang oleh agama. Atau boleh saja mengharapkan hilangnya karunia dan seseorang, jika ternyata karunia tersebut dipergunakan hanya untuk berfoya-foya dan berbuat durhaka kepada Allah swt. Namun apabila kemaksiatan telah hilang, ia tidak menginginkan hilangnya kenikmatan dari orang tersebut.

Sebab-sebab timbulnya kedengkian, adakalanya merasa sombong bermusuhan dan karena dirinya memang kotor (khabatsun nafs), karena munculnya kikir diri, agar pihak lain tidak mendapat nikmat Allah, tanpa tujuan yang benar.

Terapi Kedengkian

Sungguh, hasud itu merupakan penyakit hati yang paling kronis, dan hanya dapat diobati dengan ilmu dan amal.
Dari segi ilmu kita harus menyadari bahwa kedengkian hanyalah akan merugikan diri sendiri, dan sedikit pun tidak akan merugikan orang yang kita benci, bahkan justru sebaliknya akan semakin menguntungkannya. Mengapa merugikan? Coba kita renungkan! Kebaikan kita terhapus dan kita dihadapkan kepada murka Allah oleh karena benci atas ketentuan-Nya dalam hal pembagian nikmat kepada hamba-Nya. Ini merupakan kerugian dan bahaya terhadap kehidupan agamanya. Sedang bahaya duniawi, setiap hari kita akan dirundung kegelisahan, karena seseorang yang kita anggap sebagai rival itu, yang kita inginkan kehancurannya, ternyata justru semakin jaya. Demikian pula musibah yang kita harapkan turun kepadanya, ternyata justru menimpa diri kita berikut sejumlah kesedihan dan kegelisahan.

Hal ini jelas menguntungkan pihak yang dihasud. Karena sesungguhnya karunia itu tidak akan musnah dengan rasa dengki kita, tetapi justru semakin dilipatgandakan kebaikan-kebaikannya. Sebab, setiap waktu kebaikan dari seorang pendengki itu akan dipindahkan pada catatan kebaikan orang yang didengkinya, sehingga akhirnya pendengki itu tidak mempunyai simpanan kebaikan sama sekali dan akhirnya merugi. Apalagi jika kedengkian itu disertai dengan cacian, jelas pihak yang didengki termasuk orang yang dizalimi, karena pendengki menginginkan agar pihak yang didengki kehilangan nikmat dunia, maka kelak di akhirat yang didengki justru mendapat nikmat akhirat dari perbuatan pendengki. Dalam kaitan ini pendengki jelas mendapatkan siksa dunia dan akhirat.

Orang yang dengki itu ibarat orang yang melempar batu pada musuh dan tidak mengenai sasaran, tetapi justru memantul mengenai rnatanya sendiri hingga buta. Perselingkuhan iblis semakin kokoh di sini. Karenanya, ia kehilangan nikmat dan ridha terhadap qadha’ Allah swt. Padahal jika ia ridha akan memperoleh pahala. Apalagi jika dengki itu sasarannya adalah ilmu dan wara’. Maka, bagi pecinta ilmu, Pahalanya semakin besar.

Adapun terapi amaliah, harus mengetahui dan menyadari hukum dengki serta kata-kata dan perilaku yang menjurus pada perbuatan itu, ia mengamalkan sebaliknya, bahwa yang didengki itu patut dipuji perlu ikut gembira jika kawannya itu mendapat nikmat. Sehingga yang didengki justru menjadi teman, rasa dengki jadi hilang, bahkan ia bersih dan dosa dengan kepedihannya.

Allah swt. berfirman:
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kamu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Q.s. Fushshilat: 34).

Barangkali Anda tidak berkenan menyamakan antara musuh dan teman Anda. Bahkan Anda benci bila teman dapat bencana, tapi tidak jika menimpa musuh. Anda juga senang jika nikmat mencurah pada teman, tidak pada musuh. Sebenarnya, Anda tidak dipaksa pada hal- hal yang Anda tidak mampu. Kalau Anda tidak mampu melakukan sikap sama antara musuh dan kawan, Anda bisa bebas dan dosa dengan dua cara:

1. Jangan menampakkan kedengkian terhadap musuh melalui ucapan, gerakan fisik, dan upaya-upaya bebas Anda. Kalau perlu perlakuan sebaliknya, dan tindakan semua itu.

2. Anda tidak menyukai pada diri Anda sendiri jika muncul rasa senang apabila nikmat Allah atas hamba-hamba-Nya musnah.

Manakala rasa tidak suka tidak diiringi motivasi agama, atas hilangnya nikmat pada diri orang lain, secara naluriah Anda tidak bisa lepas dan dosa. Anda pun tidak mampu mengubah watak tersebut. Ketidakmampuan itu terjadi dalam beberapa kondisi.
Tanda-tanda ketidaksukaan, apabila Anda mampu menghilangkan nikmat tersebut, Anda tidak disodori untuk menghilangkan, sementara Anda senang jika nikmat itu hilang. Tetapi jika mampu menolong agar nikmat itu langgeng atau bertambah, namun Anda melakukannya dengan perasaan enggan. Ini merupakan tanda ketidaksukaan.

Jika Anda seperti itu, Anda tidak berdosa terhadap hal-hal yang berkaitan dengan naluri Anda. Naluri itu berada dalam keadaan tunduk bagi yang lelap di hadapan Allah, yang tidak bisa lagi memandang dunia dan makhluk. Bahkan orang yang mendapat nikmat seandainya pun harus di neraka, nikmat itu tidak berarti. Jika di surga, maka kaitan mana suatu nikrnat bisa memasukkannya ke surga? Malah dia melihat semua makhluk adalah hamba Allah. Dia mencinti mereka karena mereka adalah hamba yang dicintai-Nya. Dia sangat senang bila pengaruh nikmat itu tampak pada hamba-Nya. Dan Situasi seperti ini sangat langka, karena tidak masuk
kategori taklif.

http://sufinews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=516:kedengkian&catid=85:artikel&Itemid=281

Tidak ada komentar:

Posting Komentar