Jumat, 23 Januari 2015

Luasnya Makna Ibadah



Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat : 56)

Jangan Terlalu Sempit Memahami Ibadah

Sebagian orang bertanya dengan maksud meragukan penjelasan ayat di atas. Apa benar kita diciptakan untuk beribadah saja? Lalu apa kita harus sholat terus sepanjang hidup kita? Atau bersujud terus melewati hari-hari kita?

Allah Ta’ala tidak mungkin salah dalam berfirman. Begitu juga dengan penjelasan para ulama tentang ayat di atas bukanlah suatu penjelasan yang keliru. Hal yang harus diluruskan adalah pandangan dan pemahaman kita dalam memaknai kata “ibadah”. Ibadah bukan hanya sholat, zakat, puasa dan haji semata.

Ibnu Taimiyah rahimahullahu mendefinisikan makna ibadah dengan definisi yang sangat bagus. Kata beliau, ibadah adalah segala perkara yang dicintai oleh Allah Ta’ala, baik berupa perkataan ataupun perbuatan, yang nampak (dzahir) ataupun yang tidak nampak (bathin). (lihat Al ‘Ubudiyah, Ibnu Taimiyah)

Bekali diri dengan Ilmu

Bagaimana cara mengetahui bahwa perkara ini dicintai Allah Ta’ala atau tidak? Bagaimana membedakan bahwa perkara itu mendatangkan keridhaan-Nya atau justru mengundang murka-Nya? Inilah hikmah mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas memerintahkan umatnya untuk belajar, mencari ilmu, mempelajari tentang agamanya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menuntut ilmu agama adalah perkara yang wajib bagi setiap muslim” (HR. Ibnu Majah, shahih). 

Tujuan utamanya adalah agar seorang hamba bisa mengetahui mana perkara-perkara yang dicintai oleh Allah Ta’ala yang kemudian bisa dia amalkan, dan dia bisa mengetahui mana perkara yang dimurkai oleh Allah yang kemudian dia bisa meninggalkannya. (Lihat Tsamaratul Ilmi Al Amal, Syaikh Abdurrozzaq Al Badr)

Kaidah dalam Mendefinisikan Ibadah

Hukum suatu perbuatan di dalam agama Islam ada lima, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Secara asalnya, ibadah dalam agama islam hanya dengan dua bentuk pengamalan saja, yaitu :


1. Mengerjakan perkara yang wajib atau mengerjakan perkara yang sunnah, contohnya adalah seseorang mengerjakan sholat baik yang sholat wajib atau sunnah, berpuasa baik puasa yang wajib atau sunnah dll,

2. Meninggalkan perkara yang haram atau meninggalkan perkarayang makruh, contohnya adalah seseorang meninggalkan kesyirikan, menjauhi perbuatan zina, menjauhi minum khamr dll.


Adapun semata-mata perkara mubah pada dasarnya tidak bisa dijadikan sebagai ibadah. Perkara yang sifatnya mubah hukumnya relatif, mengikuti niat dan tujuan dari pelakunya.
1. Apabila dia niatkan untuk membantu mengerjakan perkara wajib/sunnah atau membantu meninggalkan perkara makruh/haram maka perkara mubah tersebut akan berpahala dan dinilai sebagai sebuah ibadah.
2. Apabila dia niatkan perkara mubah tersebut untuk membantu mengerjakan perkara haram atau membantu meninggalkan perkara wajib maka pelaku perkara mubah tersebut akan berhak mendapatkan dosa.
3. Apabila ketika mengerjakan perbuatan mubah seseorang tidak memiliki tujuan dan maksud apapun, melainkan hanya sebatas perbuatan mubah itu saja dan tidak ada tujuan dan maksud lainnya, maka pelaku perbuatan mubah tersebut tidak berhak mendapatkan pahala dan tidak pula mendapat dosa. (Penjelasan Syaikh Abdul Aziz Ar Rays hafizhahullah dalam rekaman kajian Al Muqaddimaat Fii Dirasatit Tauhid)


Hal ini akan lebih jelas jika disertai dengan contoh, misalnya adalah perbuatan makan. Makan adalah perkara yang mubah. Seseorang tatkala makan, jika dia berniat mengamalkan perintah Allah Ta’ala dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan makanlah dan minumlah kalian” (QS. Al A’raaf : 31). Dan dia berniat agar badannya sehat dan kuat untuk bisa mengerjakan sholat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya, maka perbutan makannya tadi bernilai ibadah. 

Sedangkan orang yang makan yang berniat untuk bisa memiliki badan yang kuat dan kemudian bisa mendzalimi (misal: memukuli) orang-orang di sekitarnya dengan kekuatannya, atau bisa kuat mencuri, atau bisa berzina maka perbuatan makannya tadi dihitung sebagai dosa.

Adapun orang yang makan berniat sebatas kebiasaan dan hanya untuk mengobati rasa laparnya semata, maka yang dia dapatkan adalah apa yang dia inginkan tersebut, yaitu rasa kenyang (tidak mendapatkan dosa dan tidak pula pahala). (Syarah Arba’in Nawawiyah Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dengan sedikit penambahan)

Penting !!! Ibadah : Aktifitas yang Harus Benar Niat dan Tata Caranya

Ibadah adalah perpaduan benarnya amalan dzahir dan benarnya amalan bathin. Amalan dzahir yang benar adalah amalan yang sesuai dengan perintah Allah Ta’ala dan mencocoki tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Amalan bathin yang benar adalah ikhlas semata-mata ibadah tersebut untuk Allah Ta’ala dan mengharapkan pahala dari Allah Ta’ala.


Perkara niat merupakan perkara yang teramat penting untuk dibahas. Inilah rahasia mengapa Islam sangat perhatian terhadap pembahasan niat, di atas pembahasan tentang perkara agama yang lainnya. Niat ada di dalam hati, tidak nampak secara dzahir, namun meskipun tidak nampak, niat sangat menentukan balasan yang akan diterima.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Setiap amalan manusia tergantung dengan niatnya, dan setiap manusia (akan mendapatkan balasan dari Allah) sesuai dengan apa yang dia niatkan…” (Muttafaqun ‘alaihi)

Ibadah itu luas, namun tetap perlu ditegaskan bahwa tata cara ibadah yang pokok yang bersifat ritual tidak boleh sembarangan, meskipun niatnya baik dan benar. Ternyata niat yang baik saja tidaklah cukup, harus disertai dengan amalan yang benar, yaitu sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, harus ada dalilnya dari Al Quran atau dari Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beramal (ibadah) dengan amalan yang tidak ada petunjuknya dari kami, maka amalan tersebut akan tertolak (tidak diterima sebagai ibadah)”(HR. Muslim) 

Contoh ibadah pokok yang tidak boleh sembarangan : Berzikir

Ketika seseorang mau berpergian, ia terbiasa membaca surat Al Fatihah sebanyak 3 kali. Berzikir pada dasarnya adalah sesuatu yang disyari’atkan. Akan tetapi, menentukan bacaan tertentu seperti di atas, yakni membaca Al Fatihah 3 kali setiap akan berpergian, membutuhkan dalil khusus dan tidak boleh sembarangan. Tidak boleh pula beralasan “yang penting niatnya baik”. Karena ibadah pokok yang bersifat ritual harus sesuai dengan apa yang Allah dan Rasul-Nya ajarkan.


Contoh perbuatan bernilai ibadah : Naik kendaraan

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, taatlah kalian kepada Rasul, dan kepada Ulil Amri (pemerintah) kalian” (QS An Nisa : 59)

Salah satu perintah Allah Ta’ala dalam ayat di atas adalah perintah kepada para hamba-Nya untuk taat kepada peraturan pemerintah. Misal : Seorang pengendara motor mentaati segala bentuk peraturan lalu lintas (misalnya dengan mengenakan helm, membawa SIM lengkap dengan STNK-nya, dan mentaati rambu dan lampu lalu lintas dan lain-lain) 
dengan niat tulus mengamalkan firman Allah ta’ala tersebut, yaitu mentaati peraturan pemerintah, maka ini akan dinilai oleh Allah ta’ala sebagai amalan ibadah dan upaya pendekatan diri kepada Allah ta’ala. 

Contoh lain : Bekerja Mencari Nafkah

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada istri dengan cara yang ma’ruf.” (QS. Al Baqarah : 233)

Salah satu perintah Islam kepada para suami adalah perintah bekerja mencari nafkah untuk istri dan anaknya. Seseorang suami yang bekerja membanting tulang dengan niat tulus ikhlas mengamalkan firman Allah ta’ala di atas, dengan maksud agar dirinya dan keluarganya bisa hidup dan bisa melaksanakan ibadah kepada Allah Ta’ala, maka perbuatannya itu bernilai ibadah kepada Allah ta’ala dan Allah menjajikan pahala baginya.

Contoh lain : Menyingkirkan Gangguan di Jalan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya iman terdiri dari tujuh puluh sekian cabang, cabang tertinggi adalah perkataan Laa ilaha illallahu, dan cabang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.”(HR. Muslim)

Salah satu perintah Islam kepada kaum muslimin adalah perintah untuk menyingkirkan gangguan dari jalan, boleh jadi berupa duri, atau kulit pisang, atau sampah atau gangguan lainnya. Seseorang yang menyingkirkan gangguan dari jalan dengan niat tulus ikhlas mengamalkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, dengan maksud agar tidak ada kaum muslimin yang terganggu atau mengalami kecelakaan, maka perbuatannya tersebut bernilai ibadah kepada Allah Ta’ala dan Allah menjanjikan pahala baginya.

Subhaanallah, terlalu banyak jika diuraikan jenis ibadah satu per satu di sini. Semoga Allah Ta’ala berkenan menganugerahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat, sehingga kita bisa memahami mana saja perkara ibadah yang Allah cintai, dan yang lebih penting lagi adalah agar kita bisa mengamalkannya di kehidupan kita sehari-hari, sehingga kita bisa menjadikan seluruh hidup kita ini bernilai ibadah di sisi Allah Ta’ala. 


Penulis : Hanif Nur Fauzi, S.T. // Alumni Ma’had Al-‘Ilmi Yogyakarta
Muroja’ah : Ust. Aris Munandar, M.PI


Tidak ada komentar:

Posting Komentar