Kamis, 22 Januari 2015

Pelankan Ritme Hidup



Mungkin suatu hari Anda pernah mengalami kejadian seperti ini: satu atau beberapa masalah membuat hidup Anda bagai di neraka selama berhari-hari. Semua mendesak untuk diselesaikan, sementara Anda belum juga menemukan jalan keluar. Buntu. Sampai pada suatu titik, karena tubuh dan pikiran sudah kelelahan, Anda memutuskan untuk melepaskan semua beban pikiran itu. “Que serra serra, bagaimana nantilah. Mendingan  aku  tidur saja!”
  
Begitu bangun tidur keesokan paginya, anehnya, semua kecemasan yang kemarin membuat hati dan pikiran Anda begitu galau, tahu-tahu lenyap begitu saja. Dan tiba-tiba muncul titik terang yang bisa dijadikan solusi untuk masalah Anda, yang selama ini tak pernah terpikirkan.

Mengapa bisa begitu, ya? 

Menurut Erbe Sentanu –akrab disapa Nunu–  transformation coach dari Katahati Institute, pada saat kita melepaskan semua beban pikiran itu, sebetulnya kita masuk ke tataran pasrah. Dalam kondisi pasrah –di mana otak berada di wilayah alfa (alam bawah sadar)— sesungguhnya kita menyerahkan diri sepenuhnya pada alam semesta, kepada Tuhan, sehingga hati kita pun menjadi tenang dan damai.
  
“Sesungguhnya alam sudah menyediakan solusi untuk setiap masalah. Tapi manusia kerap tidak peka 'menangkapnya', karena sehari-hari lebih sibuk berkutat di wilayah beta (rasio). Padahal, 'pesan' dari alam hanya bisa ditangkap bila kita mau keluar sejenak dari wilayah beta yang hiruk pikuk dan kemrungsung, dan masuk ke wilayah alfa dan teta (kondisi tidur). Oleh karena itu, ketika  berpasrah diri, biasanya kita justru menemukan jawaban untuk berbagai permasalahan yang selama ini terasa buntu,” Nunu menjelaskan.
  
Mungkin jalan keluar itu tidak seperti yang kita harapkan, tapi –seiring berjalannya waktu— kita akan menyadari bahwa itulah jalan keluar terbaik. Mengapa terbaik? Karena sesungguhnya sifat alam adalah mengutamakan keseimbangan, termasuk keseimbangan fisik dan mental manusia, untuk mencegah agar kita tidak stres berlebihan, terserang stroke, atau menjadi gila.
  
Yang menjadi masalah, banyak orang justru menganggap, jika segala sesuatu –uang, jabatan, ketenaran, dan sebagainya— tidak dikejar dengan bergegas, kita akan ketinggalan kereta dan tidak kebagian apa-apa, karena sudah keburu disambar orang lain. Kondisi itu makin didukung oleh kian canggihnya teknologi komunikasi, yang membuat kita bisa selalu 'terkoneksi'. Akibatnya, kita makin tidak bisa  melepaskan diri dari urusan pekerjaan. Karena, di mana pun kita berada, pukul berapa pun, kita tetap bisa dihubungi oleh bos, kolega, atau klien lewat telepon, SMS, BBM, dan sebagainya. Celakanya, kita pun tidak bisa begitu saja mematikannya atau tidak menjawabnya.
  
Dengan alasan kompetisi akan makin ketat dan keras di masa depan, maka anak-anak kita pun dipacu untuk menjadi yang terbaik. Mereka diwajibkan sekolah dari pagi sampai sore, ikut les ini-itu, mengerjakan PR di malam hari, dan sebagainya, hanya agar mereka kelak tidak terlempar ke luar dari arena kompetisi tersebut. Alhasil, belum lagi sempat menjalani hidup yang sebenarnya, anak-anak itu sudah terserang stres dan depresi, bahkan dari waktu ke waktu, angka bunuh diri di kalangan anak-anak dan remaja di seluruh dunia terus meningkat.

“Kita tidak boleh hidup bermalas-malasan. Semua harus dikejar, tak boleh lengah, tak boleh berlambat-lambat. Lebih cepat lebih baik. Kalau tidak, kita akan menjadi manusia yang biasa-biasa saja, medioker, tak pernah tercatat dalam sejarah.” Rasanya kita sering mendengar kalimat sejenis itu dalam berbagai pelatihan motivasi.
  
Tapi, benarkah mereka yang namanya tercatat dalam sejarah adalah orang-orang yang hidupnya selalu bergegas? Rasanya sih, justru sebaliknya. Seorang James Watt (1736-1819), misalnya. Penemu mesin uap itu justru mendapat inspirasi ketika asyik bermalas-malasan mengamati ketel air di dapur ibunya. Saat air menggelegak, tekanan uap air di dalam ketel menekan ke luar, sehingga mengangkat tutup ketel.
  
James Faraday
(1791-1867), penemu listrik, juga 'menemukan' aliran elektromagnetik saat sedang asyik mengamati petir yang sedang 'membelah' langit. Setelah melamun sekian lama, ia mengadakan eksperimen dengan sepotong kawat yang ternyata bisa mengalirkan listrik dari petir tersebut, yang bisa digunakan untuk menggerakkan benda-benda.
  
Nama Bung Karno (1901-1970) tercatat dengan indah dalam sejarah Indonesia bukan karena hidupnya yang grusa-grusu, melainkan karena kecintaannya yang mendalam dan cita-citanya yang tinggi dan tak pernah putus untuk tanah airnya. Demi cintanya itu, ia rela berkorban dengan dipenjara berkali-kali. Dan justru dalam pengasingannya yang sunyi dan terisolasi itu, ia menuliskan gagasan-gagasannya yang luar biasa untuk memperjuangkan kemerdekaan dan kemajuan Indonesia.
  
“Jadi, siapa bilang bahwa gagasan-gagasan besar dan penemuan-penemuan penting yang berguna bagi banyak orang lahir dari orang-orang yang hidupnya tergesa-gesa? Justru sebaliknya, hal-hal besar itu justru dihasilkan oleh orang orang-orang yang hidupnya tenang, sehingga mereka bisa fokus menekuni hal-hal yang mereka sukai dengan maksimal dan sepenuh hati,” tegas Erbe Sentanu –akrab disapa Nunu–  transformation coach dari Katahati Institute .
  
Ia menambahkan, sesungguhnya orang Jawa sudah sejak dulu memiliki falsafah hidup 'alon-alon waton kelakon', yang artinya 'pelan-pelan tapi terlaksana' (bukan diterjemahkan sebagai 'biar lambat asal selamat'). “Perjalanan jauh berasal dari langkah kecil, dan hal-hal besar dimulai dari hal-hal kecil yang sepintas lalu mungkin terlihat tidak berarti. Asal kita menekuninya dengan penuh cinta, perlahan-lahan, dan tak pernah bosan, hal yang kecil pun bisa menjelma menjadi sesuatu yang besar,” Nunu menjelaskan.  
  
Buktinya, meski berkarya jauh dari hiruk-pikuk kota besar, dan hanya mengurusi penderita penyakit kusta di pelosok India yang papa, nama Bunda Teresa bisa terkenal ke seluruh dunia, bahkan berhasil meraih Nobel Perdamaian. Dalam ritme hidupnya yang perlahan tapi penuh pengabdian, ia justru berhasil menjadi tokoh yang sangat powerful, khususnya dalam menggalang dana dari seluruh dunia untuk membantu karya kemanusiaannya.
  
Dan ada satu hal lagi yang tak kalah penting, kata Nunu. Yakinlah bahwa segala sesuatu akan kita dapatkan pada waktunya. Jadi percuma saja kita memaksa diri –atau memaksakan sesuatu— agar  lebih cepat mendapatkan hal yang kita inginkan kalau memang belum waktunya. Sayangnya, bagi kebanyakan orang, kesadaran seperti itu baru sebatas 'lip service', tapi belum meyakininya sampai ke hati. Tak heran kalau mereka masih lebih suka bergegas dalam mengejar sesuatu. “Tapi juga bukan berarti bahwa usaha atau bekerja keras jadi tidak penting lagi, lho. Terlalu lugu kalau kita lantas menerjemahkannya seperti itu.”    


Tina Savitri
http://www.pesona.co.id/refleksi/refleksi/pelankan.ritme.hidup.2/001/001/117

Tidak ada komentar:

Posting Komentar