Selasa, 27 Januari 2015

Wawancara Tonny Koeswoyo


Bernama lahir Koestono Koeswoyo. Lahir di Tuban, Jawa Timur, 19 Januari 1936. Anak keempat dari sembilan anak pasangan Koeswoyo dengan Atmini. Koeswoyo di kenal sebagai pemusik yang mahir memainkan gitar dan menyanyikan lagu-lagu Hawaiian. Walaupun demikian, ia tak ingin anak-anaknya mengikuti hobinya itu. Tony yang berusia empat tahun bisa berjam-jam menabuh ember dan baskom dengan pemukul lidi-lidi yang ujungnya ditancapkan bunga jambu yang masih kuncup.

Tahun 1952, keluarga Koeswoyo pindah ke Jakarta dan bermukim di Jalan Mendawai III/14, Kebayoran Baru. Beranjak remaja, naluri musiknya semakin menggebu-gebu dan ia minta dibelikan gitar, biola, dan buku-buku musik. Koeswoyo kemudian memenuhi permintaan itu untuk mengalihkan kegiatan anak-anaknya agar jangan ikut-ikutan berkelahi dan menjadi krosboi. Selanjutnya ia pun mulai mempelajari alat musik tersebut secara otodidak.

Duduk di bangku SMA naluri bermusiknya semakin menggelora, ia membentuk band di sekolahnya, yang diberi nama Gita Remaja. Bersama komikus Jan Mintaraga, membentuk band Teenage’s Voice dan Teruna Ria. Ia menjelma menjadi bintang pesta karena begitu mahir membawakan lagu-lagu Barat yang sedang populer waktu itu. Namun, Tony tetap berusaha memenuhi harapan orangtuanya untuk meneruskan sekolah hingga sampai ke bangku kuliah Sastra Inggris, IKIP (UNJ). Di tempat kuliah, ia rajin mengikuti berbagai kegiatan kesenian mahasiswa seperti GMNI dan HMI. Ia juga suka hadir di pesta-pesta dan ikut memainkan lagu-lagu yang sedang digandrungi anak-anak muda waktu itu. Untuk menambah pengetahuannya tentang lagu-lagu Indonesia dan Barat yang popular kala itu, ia rajin mendengarkan siaran acara musik dari RRI (Radio Republik Indonesia), ABC (Australia Broadcasting Corporation) maupun BBC (British Broadcasting Corporation).

Secara diam-diam ia juga mengajar kakaknya, Jon dan adik-adiknya (Nomo, Yon, dan Yok) bermain musik. Mereka berlatih dengan peralatan yang dibeli dari gaji Jon dan uang tabungan ibunya. Dengan adanya gitar, bas, drum dan amplifier mulai menumbuhkan semangat dan melahirkan keyakinan bahwa mereka juga bisa mendirikan band. Namun ayahnya Koeswoyo tidak menyetujui pilihannya tersebut. Dalam situasi yang demikian, Tony justru memberikan semangat kepada saudara-saudaranya bahwa kalau sudah sekali bermusik, jangan tanggung- tanggung, apalagi berhenti, sehingga dari rumahnya di Jalan Mendawai itu pun hampir setiap hari terdengar suara musik. Mereka menyanyikan lagu-lagu Barat yang sedang populer, terutama karya Kalin Twin dan Everly Brothers.

Tonny bersaudara kemudian membentuk band yang bernama Kus Bros. Sekitar tahun 1958 mereka malang-melintang dalam berbagai acara ulang tahun atau pesta pernikahan hingga sunatan. Bahkan demi mempunyai banyak waktu untuk mencipta lagu, Tony rela keluar dari tempatnya bekerja di Perkebunan Negara. Tahun 1962, Kus Bros mencoba untuk masuk dapur rekaman. Lewat perusahan PT Irama, milik Suyoso (Mas Yos). Mas Yos bersama Jack Lesmana, menantang Tony untuk menyiapkan lagu dalam dua minggu. Tony menerima tantangan itu dan kembali dua minggu kemudian. Melihat hasil lagu yang dibawakannya, mas Yos dan Jack kemudian mengontrak Kus Brothers s pada tahun 1962. Kala itu Formasi di Kus Bros yakni Tony (gitar melodi), Jon (bas), Nomo (drum), Jan Mintaraga (gitar) mengiringi duet vokal Yon dan Yok. Namun baru tiga lagu Jan Mintaraga mengundurkan diri, ia lebih memilih melanjutkan sekolahnya di Akademi Seni Rupa Indonesia di Yogyakarta. Posisi Jan pada gitar kemudian digantikan Jon dan bas kemudian dimainkan Yok.

Dengan formasi anggotanya yang hanya empat orang tersebut, Mas Yos kemudian menyarankan Kus Brothers untuk mengganti nama menjadi Kus Bersaudara. Dengan nama baru inilah album pertama Tony dan adik-adiknya diluncurkan (1963), bersamaan dengan tahun dilangsungkannya Ganefo (Games Of The New Emerging Forces).  Piringan Hitam (PH) yang berkode IML 150 tersebut berisikan 12 lagu ciptaan Tony yakni Dara Manisku, Jangan Bersedih, Hapuskan, Dewi Rindu, Bis Sekolah, Pagi Yang Indah, Si Kancil, Oh Kau Tahu, Telaga Sunyi, Angin Laut, Senja dan Selamat Tinggal. Selain itu tercipta pula beberapa PH single lainnya yang berisi beberapa lagu ciptaannya seperti PH single berkode IME-121 berisikan empat lagu: Dara Berpita, Untuk Ibu, Di Pantai Bali dan sebuah lagu karya Pak Dal, Bintang Kecil. Lalu PH single berkode IMC-1868 yang berisikan dua lagu, Kuduslah Cintaku dan Harapanku. Kus Bersaudara kemudian kembali berganti nama menjadi Koes Bersaudara.

Dua tahun setelah menerbitkan PH pertama, Koes Bersaudara menjadi grup musik papan atas. Namun, Tony dan adik-adiknya masih manggung secara berkala di gedung bioskop Megaria sebagai selingan pemutaran film atau di International Airport Restaurant Kemayoran dua kali seminggu. Yang hadir hampir selalu minta mereka membawakan lagu-lagu The Beatles. Padahal, pemerintah waktu itu memberlakukan Panpres Nomor 11 Tahun 1965 yang melarang musik ‘ngak- ngik-ngok’ yang berasal dari Inggris dan Amerika Serikat. Akan tetapi, Tony dan adik-adiknya sulit mengelak permintaan penggemarnya tersebut. Akibatnya ketika Koes Bersaudara pentas bersama Dara Puspita dan Quarta Nada, pada 25 Juni 1965 di sebuah pesta, mereka di demo massa. Setelah kejadian tersebut Koes Bersaudara pada 29 Juni 1965 ditangkap dan dijebloskan ke Penjara Glodok. Kurang lebih 100 hari keempat bersaudara itu mendekam di Penjara Glodok.

Pengalaman selama 100 hari dipenjara tersebut kemudian dituangkannya ke dalam dua album Koes Bersaudara, Jadikan Aku DombaMu dan To The So Called The Guilties yang diterbitkan Dimita Moulding Company dengan label Mesra. Kedua album itu berisi 20 lagu ciptaan Tony dan satu ciptaan Yon, antara lain lagu Untuk Ayah Ibu, Lonceng Yang Kecil, Rasa Hatiku (Yon), Jadikan Aku DombaMu, Aku Berjanji, Balada Kamar 15, Bidadari, Bilakah Kamu Tetap Di Sini, Mengapa Hari Telah Gelap, Untukmu, Bunga Rindu, Lagu Sendiri, Coorman, Hari Ini, Three Little Words, To The So Called The Guilties, Apa Saja, Di Dalam Bui Poor Clown dan Bintang Mars. Tony mengakui terus terang, musik dalam album-album ini banyak dipengaruhi The Beatles.

Perubahan politik dari Orde Lama ke Orde Baru membuka kesempatan lebih luas bagi Koes Bersaudara untuk berkembang sehingga mereka mendapat panggilan pentas di mana-mana. Tony dan adik-adiknya tampil sebagai lambang kebebasan atas penindasan dan kesewenang-wenangan politik pada waktu itu. Agustus 1966, Koes Bersaudara melakukan pertunjukan keliling Jawa dan Bali. Hasilnya, keluarga Koeswoyo bisa pindah rumah yang lebih luas, Jalan Sungai Pawan 21 Blok C, masih di Kebayoran. Tetapi, setelah itu kehidupan anggota grup ini tetap dalam kesulitan. Nomo, misalnya, meninggalkan posisinya sebagai penabuh drum dan memilih berusaha di luar bidang musik untuk menghidupi keluarganya.

Posisinya kemudian diisi Murry, mantan drummer Patas Band. Dari situ kemudian lahirlah Koes Plus di tahun 1969. Dalam era inilah Tony, Yon, dan Yok mendirikan Kompleks Koes Plus di Jalan Haji Nawi, Kebayoran Baru, setelah mereka menjadi grup papan atas setelah lagu Derita serta Manis Dan Sayang menawan hati para penonton yang hadir dalam acara Jambore Band di Istora Senayan akhir tahun 1969. Sementara itu, Nomo yang ternyata tetap tak bisa lepas dari musik, mencoba mengumpulkan anggota Koes Bersaudara kembali. Tony, Nomo, Yon, dan Yok memang berkumpul untuk menyelesaikan sejumlah lagu dalam album rekaman Kembali. Tetapi, usaha itu ternyata tidak mampu mengembalikan kejayaan Koes Bersaudara. Tony pun terus melangkah bersama Yon, Yok, dan Murry mengibarkan bendera Koes Plus.

Hingga era Koes Plus, lirik lagu, penyusunan nada dan aransemen Tony diakui banyak kalangan. Dengan berbekal bacaan filsafat yang bersumber dari Al Qur'an, Injil, Gitanjali, Bhagawad Gita, Vivekananda, dan lain sebagainya, menyebabkan lirik lagu yang dia ciptaan memiliki bobot. Mereka bahkan menjadi ‘pelumas’ roda industri musik Indonesia sampai saat ini. Jarang ada pencipta lagu yang bukan hanya menciptakan lagu pop berbahasa Indonesia, namun juga dalam bahasa Jawa, keroncong, kasidahan, Natal, anak-anak, pop Melayu dan bosanova. Ayahnya Koeswoyo yang tadinya menentang, ikut menciptakan lagu dan mendorong Tony mempopulerkan keroncong bagi anak-anak muda generasinya.

Tony Koeswoyo wafat di Jakarta, 27 Maret 1987, setelah dirawat selama dua bulan karena kanker usus. Meninggalkan dua istri, Astrid Tobing dan Karen, serta lima orang anak. Sebelum meninggal Tony bersama Koes Bersaudara sempat merilis album Dia Permata Hatiku dan tampil bersama Chicha dan Sari Koeswoyo di acara Selekta Pop Artis Safari TVRI.

(Dari Berbagai Sumber)



1 komentar:

  1. Suatu perjuangan yg baik,dan layak diapresiasi,bahkan hingga kini masih diteruskan hingga 3 generasi dan diterima ditengah masyarakat sebagai media hiburan.

    BalasHapus