Semua bermula di Hong Kong, kurang-lebih. Seorang teman yang telah menonton film baru sutradara Wong Jing mengingatkan: film I Corrupt All Cops (produksi 2009) menunjukkan bahwa bentrok antara komisi pemberantasan korupsi dan pejabat polisi bukan hanya cerita Indonesia.
Tentu saja I Corrupt All Cops bukan cukilan sejarah. Film ini menceritakan pergulatan beberapa petugas Independent Commission Against Corruption (ICAC) melawan sejumlah perwira polisi Hong Kong yang korup. Wong Jin berusaha untuk tak norak, kata teman itu, tapi filmnya akhirnya hanya menyajikan sepotong kisah yang disederhanakan.
Sejarah ICAC, yang didirikan pemerintah Hong Kong pada 1974, dan akhirnya jadi sebuah ikhtiar yang berhasil (dan dicontoh oleh Indonesia untuk membentuk KPK), memang bukan potongan-potongan cerita yang lurus.
ICAC mencatat prestasi ketika lembaga baru ini memenjarakan Peter Fitzroy Godber, perwira tinggi polisi yang tak bisa menjelaskan dari mana uang US$ 600 ribu ada di rekening banknya. Godber melarikan diri ke Inggris dengan bantuan rekan-rekannya. Dengan gigih, ICAC berhasil mengekstradisi sang buaya kembali ke Hong Kong. Ke dalam kurungan.
Tapi dengan segera HKPF, angkatan kepolisian kota itu, merasa terancam. Pada 28 Oktober 1977, beberapa puluh anggotanya menyerbu memasuki kantor ICAC. Ketegangan terjadi. Akhirnya kepala pemerintahan Hong Kong (dulu disebut ”Governor”) memutuskan untuk memberikan amnesti kepada hampir semua anggota polisi yang korup yang melakukan kejahatannya sebelum 1977. Wibawa ICAC pun merosot.
Tapi kemudian terbukti, kebijakan pemerintah berbuah. Sejak amnesti itu polisi Hong Kong memperbaiki diri. Bahkan HKPF membiarkan pembersihan besar-besaran dalam dirinya oleh ICAC pada 2008. Dari sini tampak, kekuasaan—apa pun asal-usulnya—tak pernah berada di sebuah ruang politik yang konstan.
Kekuasaan ICAC yang luas dan dijamin hukum tak dengan sendirinya lepas dari gugatan hukum. Wewenangnya untuk menyadap pembicaraan telepon tak selamanya direstui peradilan. April 2005, seorang hakim pengadilan distrik tak mau menganggap rekaman yang dihasilkan ICAC sebagai barang bukti. Alasan: tak ada prosedur yang legal yang mengatur penyadapan itu. Tiga bulan kemudian, seorang wakil hakim pengadilan distrik menganggap ICAC telah melanggar ”secara terang-terangan” hak empat terdakwa, dengan memberikan tugas kepada seorang bekas tertuduh merekam percakapan mereka.
ICAC, sebagaimana KPK, tentu bisa mengatakan, dirinya adalah tanda keadaan genting. Ia tak akan ada seandainya polisi, jaksa, dan pengadilan bekerja penuh, sesuai dengan tugas mereka, seandainya mereka membangun sebuah situasi yang disebut ”normal”.
Tapi di Hong Kong sebelum 1980-an, sebagaimana di Indonesia sampai sekarang, korupsi menyakiti tubuh masyarakat di tiap sudut. Ada korupsi model Godber, yang mempergunakan kekuasaannya yang tinggi; ada yang dilakukan pemadam kebakaran yang memungut uang sebelum bertugas mematikan api; ada pula para pelayan rumah sakit yang di tiap sudut, dari ruang ke ruang, meminta uang.
Dalam situasi itu, kejahatan terbesar korupsi adalah menghancurkan ”modal sosial”—sebuah sikap masyarakat yang percaya bahwa orang lain bukanlah buaya. Korupsi menyebabkan kepercayaan itu rusak. Ejekan yang memelesetkan singkatan ICAC (jadi ”I can accept cash”, atau ”I corrupt all cops”) adalah indikasi hancurnya ”modal sosial”. Negeri telah jadi sederet labirin yang membusuk.
Maka ICAC, terlebih lagi KPK, lahir dengan kekuasaan yang abnormal: ia mekanisme penyembuhan yang juga sebuah perkecualian. Kekuasaannya lain dari yang lain. Wewenang KPK bahkan lebih besar ketimbang ICAC. Di Hong Kong komisi itu tak punya wewenang menuntut. Di sini, KPK mempunyainya.
KPK juga tak hanya harus bebas penuh dari dikte kekuasaan mana pun. Di Hong Kong, ICAC bekerja secara independen namun bertanggung jawab kepada ”Chief Executive”, yang dulu disebut ”Governor”. Di Indonesia, KPK tak bertanggung jawab kepada Presiden.
Keluarbiasaan itu mungkin kini tak hendak dibicarakan. Tapi mungkin tak bisa dilupakan: keadaan yang melahirkan kekuasaan sebesar itu ibarat (untuk memakai kata-kata Agamben) ”daerah tak bertuan antara hukum publik dan fakta politik”. Dengan kata lain, kekuasaan itu lahir dari kehendak subyektif yang menegaskan kedaulatan.
Tapi pada akhirnya kedaulatan itu bertopang pada legitimasi yang contingent. Tak ada dasar yang a priori yang membuat kedaulatan itu, dan para pemegang kekuasaan istimewa itu, datang begitu saja.
Dengan kata lain, di ”daerah tak bertuan”, kekuasaan justru semakin perlu pembenaran. Apalagi kekuasaan yang diperoleh ICAC dan KPK bersifat derivatif: bukan datang dari pilihan rakyat—sumber mandat sebuah demokrasi—melainkan dari badan-badan yang dipilih rakyat. Ia terus-menerus butuh pihak di luar dirinya. Ia butuh sekutu, dengan segala risikonya. Bahwa tugas ICAC maupun KPK merupakan tugas luhur yang mengatasi kepentingan sepihak, tak berarti politik (”the political”) berhenti. Kekuasaan selalu ada bersama resistansi terhadap dirinya.
Maka konflik bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Sengketa bahkan bisa lebih panjang ketimbang sebuah cerita film Hong Kong. Adegannya mungkin kurang brutal dan dramatis, tapi akan ada korban manusia yang bersalah atau tak bersalah. Sebab, di ”daerah tak bertuan”, perjuangan melawan korupsi adalah perebutan tiap jengkal ruang strategis yang tersedia. Tiap benteng harus dikuasai, bukan dikosongkan. Tiap langkah adalah kesetiaan, dengan kegemasan, tapi juga dengan organisasi yang dipersiapkan untuk perang 100 tahun.
Goenawan Mohamad
Senin, 05 Oktober 2009
http://www.tempointeraktif.com/hg/caping/2009/10/05/mbm.20091005.CTP131593.id.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar