Rabu, 17 Februari 2010

AKHLAK, IMPLEMENTASI IMAN DALAM KEHIDUPAN


Akhlak menempati kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, baik menurut pandangan Allah maupun menurut pandangan masyarakat. Seseorang dihormati dan memperoleh penghargaan tinggi yang tulus apabila akhlaknya baik, sebaliknya orang dianggap rendah dan dilecehkan bila akhlaknya buruk. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan istilah tersebut? Ensiklopedi Islam mendefinisikan akhlak sebagai keadaan yang melekat di dalam jiwa sehingga dari padanya lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa melalui proses pemikiran, pertimbangan dan penelitian. Ensiklopedi Hukum Islam memaknai akhlak sebagai tingkah laku yang lahir dari manusia dengan sengaja, tidak dibuat-buat dan telah menjadi kebiasaan. Pengertian yang serupa kita dapatkan dari Ibnu Maskawaih, Al Ghazali dan ulama lain.

Dari beberapa telaahan tersebut kita memperoleh pemahaman bahwa suatu perbuatan disebut akhlak bila memenuhi dua persyaratan. Pertama, disengaja, bukan sebuah kebetulan dan bukan karena keterpaksaan. Bagi orang Mukmin, perbuatan itu dilakukannya ‘karena Allah’, dia senantiasa memenuhi perintah Al Qur’an untuk merealisasikan ikrarnya: “Sesungguhnya shalatku, amal ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Tuhan semesta alam”. [QS Al An’aam (6): 162]. Kedua, sudah menjadi kebiasaan sehingga untuk melakukannya orang tidak perlu berpikir panjang, tidak lagi mempertimbangkan baik dan buruknya, untung dan ruginya. Seseorang yang pada suatu ketika memberi sumbangan harta tetapi setelah berpikir panjang, atau hanya sekali-sekali, maka dia belum disebut berakhlak penderma atau dermawan. Dia baru dimasukkan oleh Allah atau masyarakat sebagai berakhlak penderma apabila perbuatan memberi itu sudah menjadi kebiasaannya.

Secara etimologis, perkataan akhlak merupakan bentuk jamak dari khuluq, sedangkan khuluq satu akar kata dengan Khaliq – Yang Maha Pencipta yaitu Allah, dan makhluq – ciptaan Allah, termasuk manusia. Dengan demikian akhlak bersangkutan erat dengan hubungan antara manusia dengan Allah, baik yang berkenaan dengan niat dan tujuan perbuatan, maupun dengan nilai-nilai (values) dan norma-norma (norms) yang menjadi acuan untuk menetapkan apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk, bermanfaat atau mengandung banyak mudharat.

Inilah yang membedakan antara akhlak dengan etika atau budi pekerti rekacipta manusia. Tetapi meskipun berbeda sumber, akhlak tidak mesti bertentangan dengan etika, karena tatkala mencipta manusia, Allah telah melengkapinya dengan kecenderungan kepada yang benar dan yang baik. Kecenderungan batin ini berpangkal kepada keyakinan asasi kepada Tuhan Yang Maha Esa. Secara metaforik Al Qur’an menuturkan bahwa tatkala janin manusia terbentuk, Allah SWT bertanya kepadanya; “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. Manusia dalam wujud yang sangat awal itu menjawab: “Benar, Engkau Tuhan kami; kami menjadi saksi mengenai hal itu”. [QS Al A’raaf (7): 172].

Berkenaan dengan keterangan Al Qur’an ini Rasulullah SAW menyatakan bahwa setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci dan cenderung kepada kesucian). Maka orangtuanya yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani atau Majusi. [HR Bukhari]. Meskipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa sebagian orang menjalani kehidupan yang melenceng dari fitrahnya. Keadaan itu disebabkan oleh dorongan nafsu yang tidak terkendali dengan semestinya.

Sebenarnya nafsu yang ada pada manusia itu bukan sesuatu yang buruk, tetapi justru menjadi pendorong untuk mengembangkan budayanya. Nafsu menjadikan orang bersemangat untuk berikhtiar mencapai keberhasilan dan menikmati setiap proses ikhtiarnya itu. Karena itu nafsu tidak boleh dikekang terlalu keras, karena hal itu berakibat matinya kreatifitas dan kegembiraan hidup di dunia. Tetapi nafsu cenderung berlebihan, dan kondisi yang demikian itu membawa orang melakukan berbagai keburukan. Maka orang harus berikhtiar dengan sungguh-sungguh untuk mengendalikan nafsunya, sehingga tidak terlalu kuat tetapi juga tidak terlampau lemah. [QS Al Israa’ (17): 29]. Nafsu yang terkendali dengan baik itulah yang mendapat kucuran rahmah Allah SWT. [QS Yusuf (12): 53]. Maka Allah menurunkan perintah kepada manusia: ”Makanlah dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan, karena Dia tidak suka kepada orang-orang yang berlebih-lebihan”. [QS Al A’raaf (7): 31].

Mengendalikan nafsu benar-benar bukan pekerjaan yang mudah. Syeitan selalu berusaha mengambil alih kemudi terhadap nafsu kemudian mengarahkannya untuk menerjang segala batas dan melebihi segala takaran yang diperuntukkan baginya. Iblis – pemimpin segala setan – telah membekali seluruh anak buahnya yang berupa jin maupun manusia [QS An Naas (114): 6], dengan semangat dan kecermatan untuk menggelincirkan setiap orang dari jalan lurus menuju jalan yang sesat. Yang demikian itu sudah diikrarkan iblis langsung ke Hadapan Allah SWT [QS Al A’raaf (7): 16-17]. Maka di antara manusia ada yang mampu melawan godaan dan bujuk rayu syeitan tersebut dan ada yang menyerah kalah. Karena itu ada orang yang memiliki akhlak mulia (Al akhlaqul karimah) atau akhlak terpuji (Al akhlaqul mahmudah), dan ada yang mempunyai akhlak buruk (Al akhlaqul qabihah) atau akhlak tercela (Al akhlaqul madzmumah).

Atribut berakhlak baik atau berakhlak buruk pada diri seseorang itu tidak bersifat tetap. Umar ibnu Khattab dan Khalid bin Walid dalam waktu yang cukup lama adalah pembenci kebenaran dan memusuhi Islam yang didakwahkan Rasulullah SAW. Tetapi dengan hidayah Allah mereka kemudian menikmati kehidupan yang sakinah – tenang tenteram, setelah beriman kepada Allah SWT dan menunaikan serta menegakkan syari’at-Nya, dan menjadikan Rasulullah SAW yang pernah mereka benci itu sebagai panutan hidupnya.

Tetapi sebaliknya banyak orang yang murtad – meninggalkan Islam dan berpaling kepada keyakinan lain. Tidak jarang pula kita jumpai orang-orang yang pada masa mudanya memegang teguh idealisme yang tinggi, berjuang dan berkorban untuk menegakkan keyakinannya yang baik itu, tetapi setelah menduduki jabatan tertentu dengan mapan, merubah haluannya dan mengkhianati idealismenya semula. Allah menyatakan di dalam Al Qur'an, bahwa Dia telah menunjukkan kepada manusia dua jalan yaitu jalan kebaikan dan jalan keburukan [QS Al Balad (90): 10]. Dia mengilhamkan kepada setiap jiwa itu kefasikan dan ketakwaan [QS Asy Syams (91): 8].

Petunjuk Allah yang berupa informasi tentang jalan yang baik dan yang buruk itu tidak dengan sendirinya membawa orang masuk ke jalan yang baik dan menjauh dari jalan yang buruk. Nafsu yang berada di dalam kendali syeitan justru lebih tertarik kepada keburukan dibanding kebaikan. Jangankan tawaran surga yang baru akan didapatkan di dalam kehidupan akhirat, lulus ujian atau kenaikan jabatan yang dekat, yang ditawarkan kepada orang yang mau bekerja keras, ditolak oleh orang yang lebih suka bermalas-malasan. Jangankan ancaman neraka yang banyak orang tidak segera dapat mencernanya, kesengsaraan berat bagi orang yang mengonsumsi narkoba, yang bukti-buktinya telah nampak jelas,acap kali tidak mampu mencegah orang untuk masuk ke jalan menuju neraka dunia itu. Maka sebagaimana telah dikemukakan di atas, upaya mengendalikan nafsu sungguh bukan pekerjaan yang mudah. Karena itu ketika pulang dari perang Badar yang dahsyat Rasulullah SAW bersabda: “Kita pulang dari jihad kecil untuk menuju jihad besar, yaitu jihad terhadap nafsu”.

Allah SWT yang Maha Pengasih menolong manusia di dalam usahanya itu dengan menurunkan agama, yang intinya adalah petunjuk untuk mengendalikan nafsu. Mengenai hal ini Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” [HR Imam Malik]. Sesuai dengan ucapannya itu beliau senantiasa membimi\bing dan mendidik ummatnya, secara individual maupun komunal, dengan ucapan maupun contoh perbuatan, agar melakukan dan membiasakan diri kepada akhlak yang baik. Menjawab pertanyaan beberapa sahabat, isteri Nabi Muhammad SAW ‘Aisyah RA menyatakan testimoninya: “Akhlak Rasulullah adalah Al Qur'an”.

Rasul sendiri menerangkan bahwa Allah SWT adalah sumber utama bagi pembinaan akhlak. Beliau bersabda: “Berakhlaklah kamu dengan akhlak Allah”. Dia menyayangi tanpa berharap mendapat balasan apapun dari yang disayanginya. Dia memberi tanpa batas. Dia berbuat baik kepada yang beriman maupun yang durhaka kepada-Nya. Sudah tentu tidak ada seorangpun yang mampu memiliki akhlak seperti Allah, tetapi upaya menuju kondisi demikian harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Ini berarti, orang dianggap berakhlak baik bila berproses menuju keadaan yang lebih baik.


Mengenai kepada siapa orang berakhlak baik, ulama membaginya ke dalam dua golongan besar. Pertama adalah akhlak yang baik kepada Al Khaliq, sang Pencipta segala sesuatu yaitu Allah SWT. Kedua, akhlak yang baik kepada makhluk, ciptaan Allah, khususnya makhluk yang manusia dapat berinteraksi dengan mereka, yaitu sesama manusia, fauna, flora dan benda-benda lain yang mengisi alam raya ini. Akhlak kepada Allah dan akhlak kepada ciptaan Allah bukan dua hal yang terpisah, tetapi berjalin secara harmonis; yang satu akan memengaruhi yang lain. Akhlak mulia kepada Allah membentuk akhlak baik kepada sesama makhluk, dan sebaliknya akhlak baik kepada segala ciptaan akan mendekatkan dia kepada Pencipta segala sesuatu, Allah SWT. [Sakib Machmud].

http://almustaqiim.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar