Senin, 08 Februari 2010

Konsep Kebajikan dalam Al-Qur'an

Dalam Surat Al-Insal ayat 7-10, Al Qur’an bercerita tentang orang-orang baik (abrar) yang disifati sebagai sosok yang selalu menepati nadzarnya, dan senantiasa takut terhadap siksa Allah.

Orang-orang yang telah sampai pada maqam abrar (posisi orang-orang yang diberi predikat baik oleh Allah) adalah orang yang beriman kepada Allah, iman kepada hari akhir, serta takut terhadap siksa Allah di hari kiamat. Nilai-nilai ini akan berdampak pada sikap dan perilaku mereka dalam kehidupan, begitu juga terhadap kaum fakir miskin. Mereka akan mampu merasakan terhadap apa yang dirasakan oleh kaum fakir, turut serta dalam kesedihan dan beban hidup yang mereka tanggung dalam kehidupan. Mereka kaum abrar adalah orang yang senantiasa peduli dan perhatian terhadap kehidupan sesamanya, memiliki sifat solidaritas yang tinggi dan mau ikut menanggung beban penderitaan orang-orang yang membutuhkan. Apa yang mereka makan juga dirasakan oleh kaum fakir miskin, mereka akan gemar untuk bersedekah atas hartanya demi untuk memenuhi kebutuhan hidup orang-orang yang lebih membutuhkan, bahkan mereka merelakan apa yang dimiliki demi kehidupan kaum fakir, miskin, anak-anak yatim, ataupun orang-orang yang dalam pengungsian. Hasan Al Bashri berkata, suatu ketika datang kelompok pengungsi kepada Rasul, kemudian Rasul memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menanggung beban hidup mereka sampai berlangsung selama tiga hari.

Kaum Abrar lebih mengutamakan kepentingan orang-orang yang membutuhkan, walaupun diri dan keluarganya juga membutuhkan. Mereka rela untuk memberikan bahan pangan yang mereka miliki dan mengutamakan orang lain, walaupun keluarganya juga memiliki rasa lapar, “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridlaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih”, mereka rela untuk memberikan apa yang dimiliki tanpa mengharapkan balasan kecuali ridla Allah. Atas pemberian yang mereka curahkan, tidak diharapkan pujian, ataupun sanjungan dari manusia. Namun, mereka melakukan itu hanya untuk mengharapkan ridla Allah karena mereka yakin bahwa hari kiamat akan benar-benar datang, dan manusia akan dihisab atas segala amal perbuatannya, jika ia berbuat baik, maka akan mendapat balasan yang baik, dan sebaliknya. Perilaku kaum abrar merupakan cerminan sikap seorang muslim sejati, sikap yang penuh perhatian dan peduli terhadap kehidupan sesama muslim dalam masyarakat.

Dalam konteks perekonomian modern, masalah kecukupan bahan makanan pokok bagi masyarakat menjadi tanggung jawab penuh pemerintah. Pemerintah berkewajiban untuk menyediakannya dalam pasar, sehingga tercipta keamanan dan stabilitas bagi masyarakat. Dalam masyarakat muslim, hal ini merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat, mereka saling bekerjasama dan saling tolong menolong untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, baik dari segi pangan, sandang, ataupun papan, sebuah sikap yang tidak ditemukan dalam sistem perekonomian apapun.

Allah berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (Ali Imran:92).

Dalam ayat di atas, Al Qur’an menceritakan tentang maqam al abrar yang mungkin bisa dicapai oleh seorang muslim. Al Abrar bisa diraih dengan membentuk pribadi ataupun psikologi seorang muslim, yakni bisa disifati dengan pribadi yang memiliki sikap untuk peduli dan perhatian terhadap sesama dalam masyarakat. Ia merupakan pribadi muslim yang mau care terhadap kehidupan orang lain, memiliki wawasan bahwa harta dunia hanyalah fatamorgana dan akan mengalami kemusnahan, ia berkeyakinan bahwa apa yang akan diberikan oleh Allah adalah yang terbaik dan bersifat abadi. Al Abrar adalah orang yang memiliki pribadi untuk tidak mendewakan materi, dan tidak mudah tergoda terhadap banyak sedikitnya harta dunia. Ia adalah sosok yang lebih mengutamakan kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan oleh Tuhan daripada kesibukan dunia, tidak mengutamakan kepentingan pribadi yang bersifat duniawi, namun hanya mementingkan hal-hal yang berhubungan dengan Allah. Allah tidak memandang nominal infaq yang telah diberikan oleh hamba-Nya, hal itu bisa disesuaikan dengan kemampuan masing-masing, yang terpenting adalah ia mau berkorban demi sebuah kebaikan di jalan Allah, dan itulah yang akan dilihat oleh Allah.

Memberikan infaq di jalan Allah merupakan hal yang sangat berat untuk dilakukan manusia, karena seperti telah dijelaskan, manusia mempunyai sifat untuk cinta terhadap kekayaan dunia. Manusia diciptakan memiliki tabiat untuk cinta mengumpulkan dan menyimpan harta, suka untuk menumpuk dan mengembangkannya, serta membelanjakannya untuk memenuhi kepentingan pribadi yang bersifat duniawi. Kita manusia sangat sulit untuk mengingkari kenyataan ini, karena pada hakikatnya memang manusia akan tetap cinta terhadap dunia, bahkan dalam salah satu ayat Allah menjelaskan:”dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan”(Al Fajr:20). Manusia memiliki sifat tersebut, mungkin dikarenakan harta memiliki beberapa nilai keistimewaan bagi kehidupan manusia.

Dengan harta, manusia bisa menikmati hidup dengan penuh kemudahan, ia bisa meraih apa yang diinginkan, harta bisa mempermudah baginya untuk mendapatkan segala kenikmatan dunia, bisa membuat hidup bahagia, serta kemudahan dan kenikmatan lain yang bisa dirasakan. Dengan adanya keistimewaan ini, manusia akan sangat sulit untuk mengeluarkan hak orang lain untuk kepentingan umum dari harta yang dimiliki. Bagi muslim, setiap harta yang dimiliki, terdapat hak orang lain yang harus dikeluarkan, namun hal itu sangat berat untuk dilakukan dengan alasan yang beragam dari masing-masing individu.

Manusia lebih suka membelanjakan harta itu untuk memenuhi kepentingan pribadinya, daripada harus diberikan kepada orang lain, ia lebih suka mengumpulkan dan menyimpannya daripada dikeluarkan untuk kepentingan masyarakat, dan ini merupakan sifat dasar manusia. Manusia lebih suka untuk mengumpulkan harta dengan nominal yang tinggi, menjaga dan memeliharanya tanpa mau untuk diinfaqkan, dan bahkan ia sangat bersemangat untuk mengembangkannya dengan berbagai jalan. Untuk itu, bagi setiap muslim harus memiliki pemahaman bahwa setiap harta yang dimiliki, terdapat hak orang lain yang harus dikeluarkan, baik itu untuk memenuhi kebutuhan kaum fakir, miskin, orang-orang membutuhkan, ataupun untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Bagi muslim yang masuk dalam golongan Al Abrar, ia tidak memandang bahwa harta adalah segala-galanya, namun ia melihat harta hanyalah alat untuk mendekatkan diri dengan Allah. Ia memiliki kondisi psikis untuk tidak tergantung pada harta, karena ia bersifat sementara, dan ia akan menjadi abadi jika dibelanjakan di jalan Allah. Maka dari itu, ia tidak segan untuk mengeluarkan harta yang dimiliki demi kesejahteraan orang-orang yang membutuhkan dalam masyarakat. Pandangannya selalu jauh ke depan, ia yakin bahwa hari akhir itu akan datang dan bersifat abadi, maka ia tidak akan disibukkan dengan urusan harta dunia yang bersifat sementara. Mereka selalu berfikir dan berlandaskan dengan apa yang telah digariskan oleh Allah, ia lebih mementingkan kebutuhan orang lain yang lebih membutuhkan, dan ini merupakan bentuk ujian bagi kehidupannya, karena mengeluarkan sesuatu yang amat dicintainya adalah sebuah sikap yang amat berat untuk dijalankan, maka bisa dikatakan sebagai ujian. Jika seorang muslim mau untuk mengeluarkan harta yang dicintainya, maka secara tidak langsung ia telah berusaha untuk mensucikan harta dan hatinya dari sifat-sifat yang tercela. Dan secara tidak langsung, ia telah berusaha untuk mengentaskan problem sosial yang terdapat dalam masyarakat, dan hal ini akan sangat bernilai di hadapan Allah. Jika ia telah rela untuk melepaskan apa yang amat dicintainya demi memenuhi panggilan Allah, maka ia bisa dikategorikan dalam golongan Al Abrar.

Allah berfirman: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa” (Al Baqarah:177).

Kebajikan bukan hanya dengan mengerjakan shalat dan beribadah dengannya namun kebajikan yang bisa mengantarkan kita ke maqam al barar sangat beragam dan lebih dari itu. Al Abrar adalah orang-orang yang berpegang teguh terhadap iktikad-iktikad dasar dalam agama, hal ini meliputi iman kepada Allah, hari akhir serta hal-hal lain yang berkaitan dengan keduanya. Dengan adanya keimanan ini, maka seorang muslim akan selalu mengkaitkan antara kehidupan dunia dengan akhirat, apa yang dilakukan di dunia senantiasa dihubungkan dengan parameter akhirat. Selain itu, Al Abrar juga harus mengimani malaikat-malaikat Allah, iman terhadap kitab-kitab samawi yang telah diturunkan Allah, iman terhadap adanya nabi-nabi yang telah diutus Allah untuk menunjukkan dan mengarahkan kehidupan manusia. Al Abrar juga harus memahami kaidah-kaidah dasar ekonomi yang telah digariskan oleh agama, yakni berupa infaq dan sedekah atas harta yang dimiliki dan dicintai pada jalan ketaatan dan kemaslahatan masyarakat. Ia harus merelakan untuk membelanjakan hartanya demi kemaslahatan kerabatnya, anak-anak yatim yang telah ditinggalkan keluarganya dan orang-orang yang memeliharanya, orang yang dalam perjalanan dan kehabisan perbekalan, ataupun orang-orang yang membutuhkan dan mengalami kesulitan untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya, sehingga mereka semua dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Al Abrar juga harus menyisihkan sebagian hartanya untuk memenuhi kebutuhan orang-orang yang dalam pengungsian ketika terjadi perang, membelanjakan harta untuk memerdekakan orang yang menjadi tawanan ataupun dijadikan sebagai budak.

Al Abrar harus juga memahami nilai-nilai ibadah yang berhubungan dengan ekonomi, sebagaimana diketahui, shalat dan zakat disinyalir mempunyai pesan-pesan sosial ekonomi yang bisa dirasakan dalam masyarakat. Selain itu, ia juga harus memahami kaidah-kaidah perilaku yang harus dijalankan ketika melakukan hubungan muamalah dengan sesama, di antaranya memiliki sifat amanah, menepati janji ataupun menjalankan kesepakatan-kesepakatan. Al Abrar harus juga memiliki kepribadian yang tangguh, bersifat penyabar dan tabah dalam menghadapi segala ujian dan cobaan, baik di saat damai ataupun di masa peperangan. Dalam masa perang (krisis) biasanya nilai cobaan akan lebih besar daripada hari biasa, maka ia harus merelakan untuk berkorban lebih atas diri ataupun harta yang dimilikinya, dan yang penting harus memiliki kesabaran. Nilai kesabaran yang terdapat di masa perang dituntut lebih dari biasanya, karena ia akan mengorbankan pikiran, tenaga, harta, bahkan dirinya demi mewujudkan kemaslahatan masyarakat bersama.

Sifat-sifat sebagaimana telah dijelaskan, tidak akan muncul dan dimiliki kecuali oleh orang-orang yang mempunyai kesungguhan dalam keimanan yang mereka miliki, mereka telah mempunyai keyakinan yang sepenuhnya terhadap apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepada orang-orang yang bertakwa dan beriman. Al Abrar adalah orang-orang yang bertakwa dan menghibahkan dirinya untuk kemaslahatan masyarakat dalam kehidupan dunia, selain itu mereka juga aktif untuk menunaikan ibadah yang bisa menghantarkan mereka pada kenikmatan kehidupan akhirat. Mereka akan menuai keyakinan dan ketakwaan mereka di hari kiamat dengan tinggal dalam surga yang penuh dengan kenikmatan.

Konsep dasar yang ditetapkan Al Qur’an mengandung nilai-nilai edukasi dan konsen terhadap pribadi manusia, terutama mengajarkan kaidah dasar tentang pemikiran beragama. Al Qur’an mengajarkan cara berfikir yang tidak sekuler, pemahaman hidup yang tidak memisahkan antara kehidupan dunia dan akhirat, namun terdapat keterkaitan di antara keduanya. Al Qur’an mendorong setiap manusia untuk beriman kepada Allah dan menyakini bahwa segala kebajikan (termasuk di dalamnya harta) yang diterima oleh manusia merupakan anugrah dari Allah. Di samping itu, mereka harus meyakini bahwa dalam setiap harta yang dimiliki manusia terdapat bagian Allah yang harus dikeluarkan demi kemaslahatan masyarakat, perintah ini mengandung nilai-nilai untuk mengeratkan tali persaudaraan di antara anggota masyarakat, baik orang-orang fakir miskin ataupun orang kaya. Orang-orang yang mampu harus membantu orang-orang yang lemah dan tidak mempunyai kekuatan untuk memenuhi segala kebutuhannya, paling tidak orang fakir miskin tersebut bisa memenuhi kebutuhan dasarnya dalam kehidupan. Dengan adanya solidaritas sosial yang terbangun dalam masyarakat, akan terjadi distribusi kekayaan secara efektif dalam masyarakat, harta tidak dimiliki hanya sebagian golongan saja. Orang fakir dan miskin juga bisa ikut merasakannya, sehingga tidak memberatkan beban hidup mereka, ataupun menghilangkan sifat iri dengki. Di lain pihak, orang-orang yang memiliki kelebihan harta tidak akan bersikap untuk berlebih-lebihan, menghambur-hamburkan, dan bersikap royal dalam membelanjakan harta, harta akan digunakan sebagaimana fungsinya.

Dalam masyarakat terdapat orang kaya dan miskin, ada orang yang beruntung secara materi dan sebaliknya. Untuk itu, diperlukan adanya solidaritas sosial dan bekerjasama antara satu dan lainnya, sehingga akan tipis kesenjangan sosial yang ada. Orang fakir dan miskin berhak untuk mendapatkan uluran tangan dari orang kaya, sehingga tingkat kehidupannya tidak terlalu beda jauh dengan orang-orang kaya, mereka harus merelakan sebagian harta untuk membenahi tingkat kesejahteraan mereka. Orang kaya diperintahkan Al Qur’an untuk mengeluarkan zakat ataupun sedekah lainnya di jalan kebajikan bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat, sehingga pada akhirnya akan tercipta masyarakat yang dibangun atas nilai-nilai saling tolong menolong, saling bekerjasama, dan peduli satu sama lainnya, dan inilah merupakan modal dasar untuk mengembangkan dan mensejahterakan kehidupan masyarakat.

Nilai-nilai edukasi dan etika tidak bisa dipisahkan dari perekonomian, kehidupan ekonomi tidak bisa bebas nilai, namun ia harus berhubungan erat dalam membangun sebuah masyarakat. Al Abrar bukanlah orang yang parsial dalam memandang kehidupan, namun kehidupan saling terkait antara unsur satu dan lainnya, ia memiliki pemahaman hidup yang integral dan holistik. Ia berusaha untuk menumbuhkan sikap untuk peduli dan perhatian terhadap kehidupan orang lain, berusaha untuk membantu dan menolong orang lain, ataupun mengembangkan solidaritas sosial dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Untuk membangun masyarakat yang sejahtera dalam perekonomian modern, sudah saatnya kita membumikan sifat-sifat Al Abrar dalam kehidupan kita, terutama yang berkaitan dengan harta kekayaan. Harus ditumbuhkan kesadaran akan arti pentingnya zakat ataupun sedekah di jalan kebaikan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera.

Al Qur’an menceritakan, derajat Al Abrar tidak akan pernah bisa dicapai tanpa adanya ketulusan dan kerelaan seorang muslim untuk membelanjakan hartanya di jalan kebaikan, ia mau untuk menyisihkan sebagian kekayaannya demi kemaslahatan kehidupan manusia. Untuk meraih derajat Al Abrar terdapat beberapa syarat ataupun ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi, dan yang paling pokok adalah adanya keridlaan untuk mensedekahkan sebagian harta yang dimiliki. Derajat Al Abrar tidak bisa dicapai hanya dengan mengerjakan shalat, namun harus diikuti dengan social responsibility yang bertujuan untuk membangun solidaritas sosial dan stabilitas kehidupan ekonomi masyarakat. Barang siapa ingin menjadi Al Abrar di sisi Allah, maka seorang muslim harus menghiasi dirinya dengan dedikasi untuk mengorbankan sebagian harta yang dimiliki demi kepentingan publik. Dengan adanya konsep ini, sebenarnya Islam telah meletakkan prinsip dasar bagi kehidupan ekonomi, sedekah dan infaq merupakan kewajiban yang harus ditunaikan demi membangun stabilitas sebuah perekonomian, dan ia merupakan pondasi dasar bagi tegakknya perekonomian Islam. Dengan adanya ketentuan ini, harta kekayaan telah menjalankan fungsinya bagi kehidupan sosio-ekonomi masyarakat, harta tidak lagi menjadi dewa ataupun tujuan akhir bagi kehidupan manusia. Namun, harta telah terdistribusikan bagi orang-orang yang berhak dan membutuhkan, harta tidak difungsikan hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi tanpa mengindahkan kepentingan orang lain.

Konsep tersebut bukan berarti, agama melarang bagi seseorang untuk mendapatkan keuntungan dan mengumpulkan kekayaan. Agama tetap memberikan legitimasi atas hal tersebut, namun di sisi lain, harta juga harus ditunaikan fungsinya bagi kehidupan sosial masyarakat, karena memang Allah telah menetapkan bahwa dalam setiap harta yang dimiliki seorang muslim, terdapat hak orang lain yang harus dikeluarkan, terdapat bagian bagi kemaslahatan dan kesejahteraan kehidupan masyarakat. Seorang muslim sejati meyakini bahwa Allah-lah yang mempunyai kuasa untuk memberikan rizki, Dia-lah Dzat Maha Pemberi, Dzat yang menolak, yang melapangkan dan menyempitkan kehidupan manusia, yang mempermudah dan mempersulit persoalan rizki bagi kehidupan manusia. Dengan demikian, sifat bakhil dan khawatir akan kelangsungan hidup bagi seorang muslim akan terkikis oleh nilai-nilai keimanan yang dimilikinya. Ia akan mau untuk menunaikan harta yang dimiliki demi orang lain yang membutuhkan, dan ia yakin bahwa sedekah dan infaq yang telah dikeluarkan tidak akan membuat dirinya menjadi fakir dan miskin, namun sebaliknya malah akan bertambah nilainya, baik di dunia ataupun akhirat.

Orang yang memiliki kekhawatiran atas sedekah dan infaq sehingga ia tidak mau untuk melakukannya, malah akan menjadi sebab sempitnya rizki yang akan diterima. Ini hanyalah tipu daya setan yang menakuti manusia akan kemiskinan dan kesusahan di dunia, padahal, harta yang disedekahkan tidak akan pernah mengalami penyusutan. Rizki Allah akan diberikan kepada orang-orang yang mau untuk membelanjakannya di jalan kebaikan, Allah akan memberikan ganti atas nominal yang telah dikeluarkan. Barang siapa yang mau untuk membelanjakan hartanya di jalanAllah maka akan Allah berikan jalan lain bagi rizki orang tersebut. Dan begitu juga sebaliknya, orang-orang yang tidak mau untuk mengeluarkan hartanya di jalan Allah, maka akan Allah keluarkan lewat jalan lain, misalnya digunakan untuk berobat atas sakit yang diderita, mengganti barang-barang yang dicuri, dan lainnya. Seorang muslim harus memiliki keyakinan bahwa harta yang dimiliki merupakan titipan Allah, dan ia merupakan wakil Allah untuk memberdayakannya. Untuk itu ia harus yakin bahwa ia tidak akan pernah menderita kemiskinan sepanjang ia mau untuk menjalankan aturan Allah, karena Allah-lah yang menentukan rizki-Nya bagi umat manusia. Dengan demikian, ia akan menunaikan panggilan Allah untuk bersedekah dan berinfaq demi kemaslahatan hidup manusia, sebelum datang hari hisab dimana sudah tidak terdapat lagi perdagangan dan harta sudah tidak berarti lagi.

Keutamaan manusia dalam Islam tidak terletak pada kekayaan ataupun kefakiran yang dimiliki, kekayaan tidak bisa melahirkan hak-hak dan begitu juga kefakiran tidak bisa menghilangkan hak-hak manusia dalam kehidupan. Parameter yang ditentukan Al Qur’an atas kemuliaan manusia adalah rasa dan tingkat ketakwaan yang dimilikinya, sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa, bukan orang yang paling kaya dan memiliki kekuasaan dan keturunan. Kekayaan dan kefakiran haruslah dipandang sebagai hubungan simbiolis mutualisme yang saling menguntungkan satu dengan lainnya. Orang yang memilki harta bisa merubah kehidupan seseorang, terutama untuk memperbaiki taraf kehidupan orang-orang yang membutuhkan, di sisi lain, orang fakir dan miskin membutuhkan uluran tangan dari para aghniya’ untuk memperbaiki kehidupan mereka. Untuk itu, Islam telah meletakkan dasar hubungan yang jelas antara seorang yang kaya dengan kaum fakir miskin. Prinsip dasar hubungan ini bersifat konsisten dan mengandung nilai keadilan, sehingga tidak ditemukan kedzaliman atau kemaksiatan, terutama berkaitan dengan kesaksian atas suatu perkara. Seorang muslim harus berpegang teguh pada pendapat dan realitas yang ia ketahui, jangan sampai terbuai dengan melimpahnya harta. Jika yang terdakwa merupakan orang yang kaya, maka ia tidak memiliki keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya, dan begitu sebaliknya, jika terdakwa orang miskin ia akan membuat persaksian yang memberatkannya. Intinya, kita harus berbuat adil terhadap siapa-pun tanpa memandang harta kekayaan yang dimilikinya. Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk berbuat adil dalam segala kondisi, mau untuk memberikan persaksian dengan kebenaran dan tidak terpengaruh oleh gemerlapnya harta, manusia memiliki kedudukan sama di hadapan hukum dan tidak terdapat perlakuan istimewa hanya karena unsur kekayaan atau kefakiran. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penagak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”(An Nisaa’:135)

Allah adalah Dzat Pemberi rizki, sementara manusia merupakan khalifah Allah yang dijadikan wakil untuk membina hubungan baik manusia, baik hubungan dengan Tuhannya dalam akidah dan ibadah, ataupun hubungan dengan sesama manusia atas etika dalam muamalah yang dijalankan. Hubungan tersebut tidak akan terbina tanpa adanya kerelaan untuk mengeluarkan rizki yang telah diberikan Allah kepada manusia. Manusia harus memberdayakan apa yang telah diberikan Allah kepadanya demi kemaslahatan dan kesejahteraan kehidupan manusia, terutama taraf kehidupan masyarakat. Manusia harus mempu melakukan kreasi sebuah sistem perekonomian yang dapat meningkatkan taraf kehidupan manusia, begitu juga dengan tingkat hasil produksi dan penghasilan yang didapatkan. Allah berfirman: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”(Al A’raf:96), dalam ayat lain Allah berfirman: “maka aku katakan kepada mereka: “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.”(Nuh:10-12), selain itu, Allah juga berfirman: “Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rizkimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu”(Adz-Dzaariyat:22)

Ayat-ayat di atas menerangkan bahwa Allah akan mencukupkan segala kebutuhan yang diperlukan manusia dalam kehidupan sepanjang mereka mau untuk mematuhi aturan yang telah ditetapkan Allah. Allah akan memberikan pilar-pilar ekonomi yang dapat menegakkan kehidupan, baik yang berupa sumber daya alam ataupun tenaga-tenaga ahli, kesemuanya itu bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan manusia. Untuk itu, manusia harus mentaati prinsip-prinsip dasar yang telah diberikan Allah, sehingga janji-janji Allah itu akan diturunkan kepada manusia. Masyarakat Islami harus berpegang teguh pada nilai-nilai keimanan kepada Allah, serta mau untuk menegakkan segala aturan yang telah ditetapkan Allah. Sebuah masyarakat yang dibangun dengan nilai-nilai akidah, saling tolong menolong, dan memperkuat satu sama lain. Masyarakat yang memiliki hubungan transenden kuat dengan Tuhannya, dan selalu bercita-cita untuk mewujudkan kesejahteraan bersama dalam kehidupan. Masyarakat yang selalu bertawakal kepada Allah atas rizki yang diberikan, dan memiliki keyakinan bahwa kuatnya hubungan dengan Allah akan mampu untuk meningkatkan taraf kehidupan. Sebaliknya, jikia masyarakat tenggelam dalam kemaksiatan dan dosa dan jauh dari aturan Tuhan, maka Allah akan menurunkan banyak ujian dan cobaan, krisis ekonomi ataupun dekadensi moral manusia, dan yang lebih menyakitkan, mungkin mereka akan terjebak dalam hutang (debt-trap) yang berlipat ganda hanya untuk mencukupi kebutuhannya.

Kehidupan ekonomi yang harmonis dapat diwujudkan masyarakat dengan cara berpegang teguh pada nilai-nilai ataupun aturan yang telah ditentukan Allah. Masyarakat mau mengikuti segala perintah ataupun larangan yang ada dalam kehidupan ekonomi, dan mereka mau menjadikan aturan Al Qur’an sebagai dasar ataupun undang-undang dalam pelaksanaannya. Menerapkan aturan Tuhan dalam perekonomian bukanlah usaha yang ringan, namun diperlukan upaya yang maksimal dan kesungguhan dalam pelaksanaannya, dan dengan demikian Allah akan memberikan hasil yang memuaskan. Allah berfirman: “Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”(At Taubah:105).

http://baitul-maal.com/artikel/konsep-kebajikan-dalam-al-quran.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar