Selasa, 16 Februari 2010
Rambu-rambu Kemudahan
Oleh Abdullah Hakam Shah MA
Kemudahan, sebagai salah satu karakter utama agama Islam, ternyata bak pisau bermata dua. Di satu sisi, ia membuat ajaran agama ini bisa dengan mudah membumi dan bersenyawa dengan berbagai budaya, model masyarakat, dan zaman yang berbeda-beda.
Namun, di sisi lain, ia sering dipergunakan untuk melegitimasi sikap-sikap yang permisif, bahkan aliran-aliran sesat. Foto mesra prewedding, nikah sesama jenis, shalat dengan bahasa Indonesia, adalah segelintir contoh yang hendak dilegalkan oleh sebagian kalangan dengan dalih Islam itu mudah, Islam tidak kaku, dan seterusnya.
Oleh karena itu, demi menjaga karakter kemudahan ini tetap dalam koridor yang sahih, ada beberapa rambu yang penting untuk dicermati. Pertama, penerapan kemudahan tersebut harus memiliki referensi dari Alquran atau sunah Rasul SAW.
Salah satu contoh terbaiknya adalah apa yang dilakukan Abdullah bin Abbas RA, ketika menyuruh petugas azan mengganti Hayya ala ash-Shalah dengan Shallu fi buyutikum (shalatlah di rumah kalian masing-masing), karena saat itu turun hujan deras menjelang pelaksanaan shalat Jumat.
Mendengar azan 'gaya baru' tersebut, sontak beberapa Tabi'in memprotes, ''Apa-apaan ini, hai Ibnu Abbas?'' Ia pun menjawab, ''Saudara-saudaraku, kemudahan seperti ini bukan hasil buatanku. Inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.'' (HR Bukhari dan Muslim).
Kedua, setiap penerapan kemudahan seyogianya diselaraskan dengan tujuan-tujuan syariat dan kemaslahatan manusia. Syariat Islam memang tidak kaku, khususnya di ranah ibadah dan muamalah. Namun, memaksakan kemudahan secara kebablasan dengan mengabaikan tujuan-tujuan syariat, niscaya akan membuat yang bersangkutan semakin jauh dari Allah.
Keselarasan antara kemaslahatan individu dan tujuan syariat ini sering dicontohkan langsung oleh Nabi SAW. Misalnya, beliau pernah membebaskan seorang sahabat yang sudah tua dan lemah dari nazarnya untuk naik haji dengan berjalan kaki dari Madinah ke Makkah. Sebab, selain berpotensi membahayakan kesehatan yang bersangkutan, nazar tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan tujuan-tujuan disyariatkannya haji.
Sebaliknya, bila kemudahan tersebut sekadar meluluskan kepentingan tertentu dan bukan dalam situasi darurat, tidak ada alasan untuk melakukannya. Seperti, penduduk daerah Yaman yang meminta kepada Nabi SAW agar diperbolehkan memproduksi arak yang selama ini menjadi sumber penghasilan mereka. ''Tidak! Semua yang memabukkan adalah haram,'' kata beliau menegaskan. (HR Bukhari dan Muslim)
http://www.republika.co.id/berita/104033/rambu-rambu-kemudahan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar