Kamis, 04 Februari 2010
W A R
Para penumpang yang baru meninggalkan Roma dengan kereta api cepat malam harus berhenti dan menunggu sampai fajar di sebuah stasiun kecil di Fabriano untuk ganti kendaraan dengan menggunakan kereta tradisional kecil yang melewati jalur utama ke Sulmona.
Ketika fajar, dalam sebuah kereta kelas dua yang di dalamnya sudah ada lima orang penumpang yang telah menunggu sejak tadi malam, seorang wanita berbadan gemuk seperti buntelan tak berbentuk dibantu ditarik naik masuk ke dalam. Ia diiringi oleh suaminya, seorang laki‑laki kecil kurus dan lemah—wajahnya pucat pasi, kedua bola matanya kecil dan tajam serta nampak malu‑malu dan kikuk—yang berjalan terengah‑engah.
Akhirnya setelah mendapat tempat duduk dengan sopan ia berterima kasih kepada para penumpang yang telah menolong istrinya tadi serta bersedia meluangkan tempat duduk untuk wanita itu. Kemudian ia berpaling kepada istrinya dan menarik kerah mantelnya, lalu dengan halus bertanya:
“Engkau baik‑baik saja, Sayang?”
Istrinya bukannya menjawab tapi malah menarik lagi kerahnya sampai ke mata seakan ingin menyembunyikan wajahnya.
“Dunia yang parah,” keluhnya sambil tersenyum sedih.
Dan ia merasa menjadi tugasnya untuk menjelaskan kepada teman‑teman seperjalanannya bahwa wanita yang malang itu perlu dikasihani, karena perang telah merebut putra satu‑satunya, seo‑rang pemuda berusia dua puluh satu tahun yang mana kedua orangtuanya telah mencurahkan seluruh hidup mereka untuknya, bahkan sampai meninggalkan rumah mereka di Sulmona untuk mengikutinya ke Roma di mana ia harus melanjutkan studinya. Kemudian melepasnya untuk ikut wajib militer dengan jaminan bahwa paling tidak dalam waktu enam bulan ia tidak akan dikirim ke medan perang, tapi sekonyong‑konyong mereka menerima telegram yang memberitahukan bahwa pemuda itu akan dikirim dalam waktu tiga hari dan meminta mereka berdua supaya mengantar keberangkatannya.
Wanita bermantel besar itu meronta‑ronta kecil di tempat duduknya dan berkali‑kali menggeram seperti seekor binatang buas, dia merasa yakin bahwa segala penjelasan itu tidak akan menumbuhkan walau hanya sekedar simpati dari orang‑orang itu, yang sebagian besar sama‑sama bernasib malang seperti dirinya. Salah seorang di antara mereka itu yang mendengarkan dengan perhatian khusus berkata:
“Seharusnya kalian bersyukur karena putra kalian baru sekarang dikirim ke front. Putraku telah dikirim sejak hari pertama pertempuran. Ia sudah dua kali pulang dalam keadaan luka dan setelah sembuh dikirim kembali ke front.”
“Bagaimana denganku? Aku memiliki dua orang putra dan tiga orang kemenakan di medan perang,” sambung penumpang yang lain.
“Mungkin, tapi bagi kami ia adalah anak satu‑satunya,” jawab sang suami membela diri.
“Apa bedanya? Anda bisa saja memanjakan anak satu‑satunya itu dengan perhatian yang berlebihan, tapi anda tidak bisa mencintainya lebih daripada anak‑anak lainnya seandainya anda juga punya. Kasih sayang orangtua tidak sama seperti sepotong kue yang bisa diiris‑iris lalu dibagi rata kepada semua anak. Seorang ayah akan memberika semua kasih sayangnya kepada setiap anaknya tanpa perkecualian, tidak peduli apakah satu atau sepuluh anak. Dan kalau sekarang aku menderita karena dua orang putraku, bukan berarti aku menderita untuk masing‑masing mereka setengah, bahkan penderitaanku berganda….”
“Benar, benar…,” desah sang suami yang nampak malu itu, “tapi seandainya (tentu saja kita semua berharap anda tidak akan pernah mengalaminya) seorang ayah memiliki dua orang putra di garis depan, lalu ia kehilangan salah seorang di antara mereka, maka ia masih memiliki seorang lagi sebagai pelipur laranya, sementara….”
“Ya,” potong temannya, “masih ada seorang anak sebagai pelipur lara baginya. Tapi juga demi anak yang satu itu ia harus tetap mempertahankan hidupnya. Sementara dalam kasus seorang ayah yang memiliki anak tunggal, jika anak itu mati maka sang ayah pun bisa ikut mati dan kesedihannya akan berakhir. Mana di antara dua posisi ini yang lebih buruk? Tidakkah anda lihat bahwa keadaanku bisa lebih buruk daripada keadaan anda?”
“Nonsense!” interupsi seorang penumpang yang lain, seorang pria gemuk berwajah kemerahan dengan mata yang lelah.
Napasnya tersengal‑sengal. Dari kedua bola matanya yang menonjol keluar seolah‑olah akan menyemprotkan gejolak dahsyat dalam dirinya yang sudah tak terkendali dan hampir tidak kuat lagi ditanggung oleh tubuhnya yang lemah.
“Nonsense,” ulangnya sambil berusaha menutupi mulutnya dengan telapak tangan seakan untuk menyembunyikan dua gigi depannya yang sudah ompong. “Nonsense. Apakah kita memberi kehidupan bagi anak‑anak kita untuk kepentingan kita sendiri?”
Para penumpang yang lain memandangnya dengan bingung. Salah seorang yang tadi anaknya dikirim ke front sejak hari pertama peperangan mendesah, “Anda benar. Anak‑anak kita bukan milik kita, mereka adalah milik negara ….”
“Bosh,” potong laki‑laki gemuk tadi. “Apakah kita memikirkan negara saat kita memberi hidup kepada anak‑anak kita? Anak‑anak kita itu lahir … ya … karena mereka memang harus lahir. Dan ketika mereka memasuki kehidupan ini mereka membawa kehidupan kita ke dalam kehidupan mereka. Inilah yang sesungguhnya. Kita milik mereka tapi mereka tidak pernah jadi milik kita. Dan ketika mereka mencapai umur dua puluh, mereka pun sama seperti kita dulu waktu seusia mereka. Kita juga punya ayah dan ibu, namun di samping itu juga ada banyak lagi hal‑hal lainnya … gadis‑gadis, rokok, angan‑angan, dasi baru…dan negara, tentu saja, yang seruannya kita penuhi—ketika kita berumur dua puluh—bahkan walaupun ayah dan ibu tidak mengijinkan. Dalam usia kita yang sekarang ini, rasa cinta kepada tanah air masih tetap besar, tentu saja, tapi lebih kuat daripada itu adalah rasa cinta kepada anak‑anak kita sendiri. Apakah ada di antara kita di sini yang tidak dengan senang hati akan mengambil alih tempat anaknya di medan perang jika saja ia mampu?”
Sunyi. Masing‑masing mengangguk‑angguk seakan setuju.
“Mengapa kemudian,” lanjut laki‑laki gemuk tadi, “kita tidak memikirkan perasaan anak‑anak kita ketika mereka telah berumur dua puluh? Bukankah wajar saja dalam usianya yang sekarang ini mereka seharusnya mencintai negara mereka (tentu saja bagi seorang pemuda yang baik) lebih besar terhadap kecintaan mereka kepada kita? Bukankah wajar saja begitu, paling tidak mereka harus menganggap kita sebagai bocah‑bocah tua yang sudah tidak bisa apa‑apa lagi dan harus tinggal di rumah? Kalau negara ada, kalau negara adalah kebutuhan pokok seperti roti yang mana kita semua harus pergi dan membelanya. Dan putra‑putra kitapun pergi, ketika mereka telah berumur dua puluh. Mereka tidak membutuhkan air mata kita, karena kalau mereka gugur, mereka gugur dengan penuh semangat dan kebahagiaan (bagi seorang pemuda yang baik, tentu saja). Sekarang, jika seseorang mati muda dan bahagia, tanpa memiliki sisi gelap kehidupan, kemuakan terhadapnya, kepicikan, kekecewaan yang pahit … apa lagi yang bisa kita pintakan untuknya? Setiap orang harus berhenti menangis, setiap orang harus tertawa, seperti aku … atau paling tidak bersyukur kepada Tuhan, seperti aku ini. Karena putraku sebelum meninggalnya, mengirimkan pesan kepadaku yang mengatakan bahwa ia mati dalam keadaan puas karena hidupnya berakhir dengan cara terbaik yang dapat diharapkannya. Itulah sebabnya mengapa aku sekarang ini, seperti yang kalian saksikan, tidak bersedih ….”
Ia mengibaskan sebelah sisi belahan mantelnya seakan hendak memamerkannya. Bibir pucatnya yang menutupi gusinya yang ompong bergetar. Kedua bola matanya yang berkaca‑kaca menatap terpaku. Lalu ia mengakhiri kata‑katanya dengan sebuah tawa melengking yang terdengar seperti suara tangis yang terisak‑isak.
“Ya, ya,” yang lain menyetujui.
Sementara perempuan tadi, yang terbungkus dengan mantelnya di pojokan, duduk sambil menyimak penuh perhatian. Sudah selama tiga bulan terakhir ini ia berusaha mencari di antara kata‑kata suaminya dan kawan‑kawannya sendiri sepotong kalimat yang dapat menghiburnya untuk mengatasi kesedihan yang dalam ini. Sepotong kalimat yang dapat menunjukkan kepadanya bagaimana seorang ibu mesti bersedia mengikhlaskan hatinya untuk melepas putranya bukan hanya untuk kematian saja tapi bahkan untuk suatu kehidupan yang berbahaya. Dan dari sekian banyak ucapan‑ucapan itu ia belum menemukan sepatah katapun … dan kesedihannya semakin dalam setelah merasa—menurut dugaannya—tak seorangpun yang dapat berbagi perasaan dengannya.
Akan tetapi sekarang ucapan‑ucapan dari penumpang tadi itu mengejutkannya dan hampir membuatnya pingsan. Tiba‑tiba saja ia menyadari bahwa bukan hanya orang lain saja yang salah dan tidak dapat mengerti, tapi bahkan dia sendiri juga tidak bisa menempatkan dirinya pada tingkatan para ayah dan ibu yang sanggup merelakan, tanpa tangis, bukan hanya untuk kepergian putra mereka saja, namun bahkan untuk kematiannya.
Dia membungkuk di pojokan dan menengadahkan wajahnya sambil berusaha menyimak dengan teliti atas detil‑detil yang diceritakan oleh laki‑laki gemuk itu kepada teman‑teman seperjalanannya tentang bagaimana ketika putranya itu gugur sebagai seorang pahlawan untuk raja dan negerinya, dengan bahagia dan tanpa penyesalan.
Rasanya bagi perempuan itu dirinya telah tersesat ke suatu dunia yang tak pernah dibayangkannya, dunia yang begitu jauh tak dikenalnya dan dia begitu senang mendengar setiap orang bersama‑sama mengucapkan selamat kepada sang ayah yang tegar itu, yang dapat dengan begitu tabah menceritakan tentang kematian putranya.
Kemudian sekonyong‑konyong, seperti tidak pernah mendengar apa‑apa dari cerita yang baru saja diucapkan tadi dan hampir seperti terbangun dari mimpi, dia bertanya kepada laki‑laki tua itu:
“Lalu, apakah putra anda benar‑benar sudah mati?”
Semua orang kini memandangnya. Laki‑laki tua tadi juga berpaling ke arahnya. Kedua bola matanya yang besar menonjol dan berwarna abu‑abu muda dengan berkaca‑kaca menatap lekat‑lekat ke wajah si perempuan. Untuk beberapa saat ia mencoba menjawab, namun kata‑katanya tersekat di tenggorokan. Ia memandangi dan memandangi terus wanita itu, seakan baru sekarang—karena pertanyaan yang bodoh dan sembrono itu—tiba‑tiba ia menyadari bahwa pada akhirnya putranya memang sungguh‑sungguh telah mati. Anak itu telah pergi untuk selamanya, selamanya ….
Wajahnya berkerut, berubah mengerikan, kemudian dengan cepat ia merenggut sehelai sapu tangan dari tasnya dan membuat semua orang terkejut ketika tangisnya meledak di dalam sedu‑sedan yang pedih memilukan hati.
Oleh Luigi Pirandello
LUIGI PIRANDELLO (1867 ‑ 1936), meskipun kebanyakan masa hidupnya dihabiskan di Roma, namun ia lahir dan berasal dari Sisilia asli. Meski kehidupan rumah tangganya tidak bahagia dan ia tidak merasa cocok dengan karirnya sebagai guru, tapi ia memproduksi banyak karya hebat di bidang cerita pendek, novel dan drama. Penghargaan baru diperolehnya setelah memasuki usia lima puluh tahunan. Di antara karya‑karya besarnya adalah naskah drama yang berjudul Six Character in Search of An Autor dan As You Desire Me. Ia menerima Hadiah Nobel pada tahun 1934.
SUMBER: http://www.geocities.com/muna_qudah/pirandello.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar