“Pass by, pass by,” someone says politely
to Time. But the cold
brings it to a halt, the city
shuts its doors.
Buildings still try to
declare their names
to the dark. But form Street 108 onwards
there is no more conversation
The moon ia as pale as margarine and
soundless.
The sky does not melt.
Traffic signs and lights
form
a hieroglyphic line,
and on Kilometer 6
there shines a final ray of light,
probably tossed
to the middle of strait:
a glow as slow as
a dancer mimicking a swan.
“Pas by, pass by,” someone says again
to Time.
But the ocean sucks it up and
minutes turn blue.
So rests eternity,
briefly, while the city
tunes in form a distance,
to the End’s footsteps,
like the horn of hunters….
Februari
Translator: Laskmi Pamuntjak
“Lewat, lewat,” seseorang berkata sopan
kepada Waktu. Tapi dingin
menyetopnya, kota
menutup pintu
Gedung-gedung masih mencoba
menyebutkan nama mereka
kepada gelap. Tapi sejak Jalan 108
tak ada lagi percakapan
Bulan sepucat margarin dan
tak bersuara.
Langit tak meleleh.
Rambu dan lampu
membentuk
deret huruf Mesir,
dan pada kilometer ke-enam
ada sinar terakhir,
mungkin terlontar
ke tengah selat:
cahaya yang sepelan
penari menirukan angsa
“Lewat, lewat,” seseorang berkata lagi
kepada Waktu.
Tapi laut menyedotnya dan
menit membiru.
Kekal pun singgah sebentar
dan kota
mendengarkan Ajal,
dari jauh,
seperti terompet pemburu
2004
—————————————————-
Dicuplik dari Selected Poems, Puisi Pilihan: Revised and Expanded [Kata Kita: 2004], hal. 210-212.
http://goenawanmohamad.com/2010/02
Tidak ada komentar:
Posting Komentar