Senin, 15 Februari 2010

Zakat dan Tujuan Ekonomi Islam

Nilai dan etika Ekonomi Islam bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dalam masyarakat, merealisasikan kepedulian sosial, membangun solidaritas ekonomi, memerangi kemiskinan dan kebodohan.

Selain itu, Ekonomi Islam ingin menghilangkan strata sosial yang diakibatkan adanya perbedaan penghasilan, berusaha mengeliminasi bentuk eksploitasi ekonomi, serta mengupayakan terwujudnya tingkat kesejahteraan yang sama dalam masyarakat, namun demikian tetap mengakui adanya perbedaan kekayaan yang dimiliki oleh individu. Dalam masyarakat terdapat individu yang beragam penghasilan dan tingkat kehidupannya, akan tetapi Islam berusaha memenuhi tingkat kebutuhan dasar yang diperlukan oleh masyarakat, hal itu dijalankan dengan mengimplementasikan konsep zakat.

Zakat merupakan alat yang dapat digunakan untuk menstabilkan kehidupan ekonomi, dengan zakat, orang-orang miskin dan membutuhkan tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Zakat dan infaq yang dikeluarkan oleh para aghniya’ dapat menguatkan solidaritas ekonomi di antara anggota masyarakat, dan pada akhirnya akan tercipta stabilitas ekonomi. Dalam zakat, selain terdapat nilai-nilai ibadah, ia juga mengandung nilai sosio-ekonomi bagi kehidupan masyarakat. Sebuah nilai yang dapat dijadikian sebagai bekal untuk membentuk sebuah peradaban dalam kehidupan masyarakat. Zakat akan membersihkan harta dan hati bagi muzakki, karena ia telah memiliki kesadaran bahwa hidup ini tidak cukup hanya untuk mengejar materi. Konsep zakat yang dibawa oleh Islam ini, merupakan sebuah dobrakan bagi nilai-nilai ekonomi yang dianut oleh masyarakat arab saat itu. Dobrakan perubahan yang dibawa oleh Islam, menyentuh nilai-nilai dasar ekonomi yang dijalankan masyarakat pada zaman jahiliyyah.

Dalam buku “Revolusi Pemikiran Ekonomi Islam“, Dr Ahmad Syalbi menjelaskan beberapa nilai reformasi yang dibawa oleh Islam : Tradisi masyarakat arab jahiliyyah dalam mendapatkan harta dengan cara adu kekuatan dan kekuasaan, barang siapa memiliki kekuatan dan kekuasaan lebih, maka dialah yang akan menguasai perekonomian. Sejak Islam datang, diajarkan beberapa cara yang benar untuk mendapatkan harta, dan akan dijelaskan dalam bahasan berikutnya.

Islam menghapuskan sistem perpajakan yang telah dijalankan, pajak dikenakan kepada orang-orang fakir dan miskin, mereka dipaksa untuk menyerahkan hartanya. Jika mereka sudah tidak memiliki harta, maka mereka harus mengabdikan diri (menjadi budak) kepada para penguasa. Hasil jerih payah yang telah mereka lakukan harus diserahkan kepada penguasa sebagai pajak yang dibayarkan. Jika mereka sudah tidak mau untuk bekerja, maka darah mereka akan menjadi tebusannya.

Dalam masa jahiliyyah, pemimpin juga dianggap sebagai hakim untuk memutuskan segala persoalan. Siapa yang menjadi penguasa atas suatu kabilah, maka dialah yang berhak untuk memutuskan persoalan, dan merekalah yang mempunyai hak untuk menentukan kehidupan ekonomi dan politik. Sejak Islam datang, diputuskan hubungan antara kehidupan politik dan ekonomi, dalam arti kekayaan bukanlah merupakan alat yang tepat untuk menjadi seorang hakim. Karena dikhawatirkan, politik tersebut bisa dijadikan sebagai alat untuk mendapatkan kekayaan, atau bisa berlaku sebaliknya.

Sebelum kedatangan Islam, terdapat pemerintahan yang korup dan hanya mementingkan orang-orang dalam pemerintahan. Mereka mengenakan pajak dan pemaksaan pada masyarakat untuk membayar upeti, dan bagi yang membangkang akan diperangi. Berbeda dengan Islam, memang bagi orang yang membangkang dan tidak mau membayar zakat akan diperangi, sebagaimana pernak dilakukan oleh Abu Bakar. Namun, harta yang terkumpul dari zakat akan dikembalikan lagi untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk kepentingan individu pegawai pemerintah.

Dalam sistem kapitalis, orang-orang yang memiliki harta berpeluang untuk menjadi anggota parlemen, dan mereka mempunyai kekuatan untuk menunjuk seorang hakim, namun hakim tersebut tidak mempunyai kekuasaan apapun dan harus mengikuti kehendak parlemen. Biasanya mereka menginginkan kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik yang diharapkan dapat menguntungkan mereka. Pemilihan pemimpin dalam Islam bisa dilakukan atas kesepakatan anggota parlemen, namun tetap harus mendapat pengakuan dan kerelaan dari masyarakat. Hal ini pernah dilakukan Umar bin Abdul Aziz yang meminta kerelaan masyarakat bagi dirinya untuk menjadi pemimpin mereka.

http://baitul-maal.com/artikel/zakat-dan-tujuan-ekonomi-islam.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar