Kamis, 18 Februari 2010
Hakikat Waktu
Ketika Rasulullah saw dan para sahabat berhasil menaklukkan atau menguasai Makkah yang kemudian disebut dengan futuh Makkah dari penguasaan orang-orang kafir, maka beliau menyatakan “Tidak ada hijrah sesudah futuh”, ini berarti orang yang pindah dari Makkah ke Madinah atau sebaliknya tidak bisa disebut dengan hijrah seperti yang dahulu beliau lakukan dengan para sahabatnya berhijrah ke Madinah. Sesudah futuh, Makkah dan Madinah sama-sama dalam kawasan yang haq. Meskipun demikian, hijrah yang tidak secara fisik tetap dituntut untuk dilakukan oleh setiap muslim.
“ Sesungguhnya hijrah memiliki dua macam. Yang pertama engkau meninggalkan keburukan dan yang kedua engkau berhijrah menuju Allah dan Rasul-Nya. Hijrah tidak pernah terputus selama selama taubat masih diterima dan taubat masih diterima selama matahari belum terbit dari barat” (HR. Ahmad).
Dari hadits di atas, menjadi amat jelas bagi kita bahwa hijrah itu dikelompokkan menjadi dua dan keduanya harus kita laksanakan dalam hidup ini sampai kematian menjemput kita.
1. Meninggalkan Keburukan
Dalam kehidupan ini ada kebaikan dan ada keburukan, ada haq dan ada bathil, kebaikan dan kebenaran merupakan sesuatu yang harus kita laksanakan, sedangkan kebathilan atau keburukan merupakan sesuatu yang harus kita tinggalkan. Ini merupakan konsekuensi iman yang menuntut kepada kita untuk menjalani kehidupan dengan amal shaleh sehingga kehidupan kita yang singkat ini memberi manfaat kebaikan yang seolah-olah usia kita begitu panjang karena manfaatnya dirasakan oleh orang lain meskipun kita telah wafat dalam waktu yang lama. Namun sayang sekali, tidak sedikit manusia termasuk yang menyatakan dirinya beriman tidak bisa meninggalkan keburukan dan kebathilan. Para sahabat telah mencontohkan kepada kita bagaimana mereka meninggalkan keburukan yang telah ditegaskan oleh Allah swt seperti pengharaman minuman keras bahkan minuman keras itu akhirnya dibuang ke jalan-jalan hingga jalan-jalan di kota Madinah menjadi becek,
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Al Maidah [5]:90).
Dalam konteks meninggalkan keburukan atau kemunkaran itulah, maka di dalam Islam disamping ada amar ma’ruf (memerintahkan yang baik), ada pula nahi munkar (mencegah manusia dari melakukan yang buruk), hal ini karena meskipun manusia tidak suka pada keburukan, namun karena hawa nafsu syaitan telah menguasai dirinya membuatnya justeru melakukan keburukan itu, copet yang melakukan kemunkaran ternyata tidak suka bila ia yang menjadi sasaran pencopetan, seorang lelaki yang memperkosa seorang wanita juga tidak suka bila wanita yang menjadi anggota keluarganya diperkosa oleh lelaki lain, begitulah seterusnya.
Dengan demikian, untuk berlangsungnya kehidupan yang baik, tidak ada pilihan lain bagi kita bersama kecuali harus berhijrah dalam arti meninggalkan segala bentuk keburukan
“Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah atasnya” (HR.Bukhari dan Muslim).
Ketika keburukan dan hal-hal yang dilarang tetap dikerjakan oleh manusia, maka akibat negatif akan menimpa dirinya cepat atau lambat. Sebagai sebuah contoh, ketika zina dilakukan oleh manusia, maka harga dirinya menjadi rendah, bahkan penyakit yang membahayakan kelangsungan hidup manusia tidak bisa dielakkan seperti yang telah terjadi pada masa lalu dan masa sekarang, bahkan bisa jadi pada masa yang akan datang.
2. Menuju Allah dan Rasul-Nya
Dalam hidup ini begitu banyak manusia yang telah menjauh dari Allah s.w.t. dan Rasul-Nya, dosa demi dosa mereka lakukan, dari mulai yang kecil sampai yang besar, bahkan amat besar karena banyak dosa besar yang telah dilakukannya. “Keasyikan” hidup dengan dosa-dosa itu membuat manusia semakin sulit meninggalkannya apalagi bisa jadi telah begitu menguntungkan secara duniawi bagi dirinya meskipun sebenarnya merugikan begitu banyak orang. Semua ini mengakibatkan tertanam perasaan di dalam jiwanya kekhawatiran yang sangat besar bila harus meninggalkan kemaksiatan yang telah “menghidupinya” itu dan berhijrah menuju Allah. Mereka berusaha mencari pembenaran dengan dosa yang dilakukannya, bahkan bisa jadi menggunakan dalil-dalil atau istilah yang biasa digunakan dalam Islam, sebagai contoh: menyogok polisi dibilang sedekah, menyogok pejabat dibilang hadiah, merampas karya orang dibilang hak paten, perzinahan dibilang memang zamannya begitu, mencari uang dengan berzina dikatakan sebagai pekerja seks dan begitulah seterusnya sampai kemudian orang merasa tidak bisa memperoleh sesuatu bila mengedepankan kehalalan sampai kemudian mereka menganggap tidak ada jalan lain kecuali harus menempuh jalan yang tidak benar.
Meskipun demikian, ternyata kita dapati begitu banyak orang yang mau berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya dalam arti kembali ke jalan yang benar, inilah yang disebut dengan taubat yang sesungguh-sungguhnya, mereka yakin ada hari esok yang lebih baik, merekapun siap meninggalkan “kenikmatan duniawi” itu meskipun orang lain dan mungkin bisa jadi mereka sendiri membayangkan kesulitan hidup yang bakal dialami, tapi mereka masih memiliki keyakinan dan keyakinan itu semakin besar dan mantap bahwa Allah swt pencipta dan pemilik bumi dengan segala isinya, Dialah yang telah menyediakan rizki untuk hamba-hamba-Nya, apalagi bila mereka mau melangkah ke berbagai belahan bumi yang luas, karenanya setelah berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya dalam arti bertaubat, bisa jadi hijrah selanjutnya yang harus dilakukan adalah hijrah secara fisik dengan meninggalkan tempat tinggal atau lingkungan yang tidak mendukung bagi pengokohan iman.
"Barangsiapa yang berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS. An Nisaa [4]:100).
Bilal bin Rabah merupakan salah seorang sahabat yang membuktikan ayat di atas, dia adalah seorang budak yang hidupnya terkungkung di “ketiak” sang majikan. Namun dia mau berhijrah menuju Allah dan Rasul-Nya dan ternyata bumi ini tidak sesempit yang dibayangkannya, ia tidak hanya ditolong oleh sahabat Abu Bakar Ash Shiddik dengan dibebaskan dari status perbudakan tapi juga menjadi manusia terhormat dan tercatat dalam sejarah sehingga umat Islam sepanjang masa tidak akan pernah melupakannya.
Sahabat Abdurrahman bin Auf yang meninggalkan hartanya yang banyak di Makkah karena hijrah memperoleh lagi harta yang lebih banyak ketika sudah mengembangkan usaha di Madinah, beliau menjadi salah seorang sahabat yang sukses dalam bisnis dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai kebenaran. Masih banyak lagi sahabat-sahabat dan generasi sesudahnya hingga hari ini sampai kiamat nanti yang merasakan bahwa setelah berhijrah bumi Allah ini memang luas dan rizkinya terhampar dimana-mana.
Dengan demikian, hijrah merupakan tuntutan iman yang membuat seorang muslim terangkat derajatnya dihadapan Allah swt dan memperoleh rahmat-Nya di dunia dan akhirat.
Oleh : Drs. H. Ahmad Yani
http://www.khotbah-jumat.co.cc/2009/12/hakikat-waktu.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar