Rabu, 17 Februari 2010

SHIRAATH AL MUSTAQIIM

Sebagai Muslim, kita diwajibkan membaca do’a dalam shalat, sedikitnya 17 kali sehari; Ihdinash shiraath al mustaqiim [Ya Allah, Tunjukkanlah kami jalan yang lurus]. Shiraath al mustaqiim adalah jalannya orang-orang yang diberi kenikmatan oleh Allah SWT atas mereka (para nabi, para syuhada, dan shalihin), Shiraathth al ladzina anamta ‘alaihim ghairil maghdhubi ‘alaihim waladh dhaalin [bukannya jalan orang-orang yang dimurkai Allah (al maghdhub) dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat (adh dhalliin)]. Itulah yang dinamakan Shirath al mustaqim atau jalan lurus.

Orang-orang yang dimurkai Allah (al maghdhub) adalah mereka yang sudah tahu kebenaran, tetapi enggan menerima kebenaran. Bahkan, mereka kemudian menyembunyikan kebenaran, atau berusaha mengaburkan kebenaran, dengan berbagai cara, sehingga yang haq dilihat sebagai bathil dan yang bathil dilihat sebagai haq. Kaum al maghdhub ini juga bukannya tidak tahu tentang Al Qur’an. Bahkan, bisa jadi mereka sangat pandai berhujjah (berbicara / menafsirkan) tentang Al Qur’an.

Sayyidina Umar bin Khathab pernah menyatakan, bahwa yang paling beliau khawatirkan akan menimpa ummat Islam adalah ’tergelincirnya’ orang-orang yang ’alim dan ketika orang-orang munafik sudah berhujjah tentang Al Qur’an. Rasulullah SAW juga pernah menyampaikan, bahwa yang paling beliau khawatirkan menimpa ummat Islam adalah munculnya orang-orang munafik yang pandai berhujjah.
Jadi, golongan al maghdhub adalah siapa saja yang sudah mengetahui kebenaran, tetapi enggan mengikuti kebenaran dan bahkan mengubah-ubah dan menyembunyikan kebenaran. Karena itulah, kita diperintahkan untuk berdo’a, agar jangan sekali-kali kita termasuk ke dalam golongan seperti ini.

Begitu juga kita berdo’a semoga tidak termasuk ke dalam golongan ’adh dhalliin, golongan yang tersesat. Mereka tersesat karena tidak tahu dan tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Karena ketidaktahuan atau kebodohan inilah, golongan ini akan menyangka yang benar sebagai bathil dan yang bathil mereka sangka benar. Mereka adalah korban-korban dari tindakan golongan al maghdhub yang telah terlebih dahulu mengubah-ubah kebenaran.

Seperti halnya jalan-jalan di sekitar kita, di samping jalan lurus, ada pula jalan-jalan yang mengarah ke kanan dan ke kiri dari jalan lurus tersebut. Di jalan-jalan yang menyimpang itu kita ibaratkan ada syeitan-syeitan yang menyeru kepada orang-orang bodoh, yang tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Hendaknya kita tidak berbelok ke ‘jalan-jalan’ syeitan itu. Begitulah seharusnya kita memaknai shiraath al mustaqim itu.

Ummat Islam dihadapkan pada pilihan;
1. ikut jalan lurus (shiraath al mustaqiim),
2. ikut jalan orang-orang yang dimurkai Allah (al-maghdhub), atau
3. ikut jalannya orang-orang yang sesat (adh dhaalliin).
Pilihan bagi orang-orang bijak yang berilmu sudah sangat jelas; seharusnyalah ikut shiraath al mustaqiim. Tetapi, tentu saja, untuk mengetahui mana yang haq dan mana yang bathil, mana yang iman dan mana yang kufur, tidak cukup dengan berdoa saja. Namun harus disertai dengan menggunakan ilmu. Karena itu, kita diwajibkan untuk senantiasa mencari ilmu, sepanjang hidup. Dan ilmu yang terpenting adalah ilmu untuk memahami mana yang haq dan mana yang bathil, dan hal itu sudah diturunkan oleh Allah SWT melalui Rasul-Nya.

Di zaman modern ini, di mana berbagai gagasan yang merusak Islam sudah begitu menyebar bagai virus ganas, ummat Islam justru dihadapkan pada tantangan yang sangat berat dalam masalah keilmuan. Khususnya, ilmu untuk membedakan yang haq dan yang bathil. Sebab, pada zaman seperti ini, yang memperjuangkan kebathilan pun tidak jarang berhujjah tentang ayat-ayat Al Qur’an dan Hadis. Namun cara pemahaman mereka terhadap Al Qur’an tidak sesuai dengan yang dirumuskan oleh Rasulullah SAW dan pewaris beliau, para ulama yang shalih.

Bagi kita, ummat Islam, Al Qur’an yang merupakan wahyu Allah SWT adalah pedoman hidup yang utama. Cara memahami Al Qur’an pun sudah diajarkan oleh Nabi Muhammad Rasulullah SAW dan para sahabat Nabi.

Para ulama pewaris nabi kemudian merumuskan metodologi tafsir dengan sangat cermat dan teliti. Karena Al Qur’an adalah kitab yang terjaga lafaz dan maknanya, maka tafsir, bukan ilmu spekulasi. Termasuk ketika menafsirkan ayat-ayat tertentu dalam Al Qur’an yang memungkinkan terjadi-nya perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat itu pun ada landasannya. Tidak asal berbeda.

Berangkat dari kepastian sumber, kepastian metodologi, dan kepastian makna itulah, selama ratusan tahun ummat Islam berjaya mengarungi kehidupan di dunia untuk menjadi khalifah di muka bumi. Ummat Islam memiliki pedoman yang pasti, yaitu teks Al Qur’an dan Sunnah Nabi, yang mencakup segala aspek kehidupan. Ini berbeda dengan peradaban Barat yang tidak memiliki teks wahyu sebagai pedoman hidup mereka. Karena itu, mereka tidak membangun peradaban di atas dasar Bibel. Mereka membuat sistem politik, ekonomi, sosial, hukum dan sebagainya, bukan berdasarkan pada Bibel, tetapi pada spekulasi akal semata.

Meskipun demikian, di kalagan ummat Islam, menetapi jalan lurus bukanlah hal yang mudah, karena di kiri kanan kita senantiasa terbentang jalan-jalan yang menyimpang yang seringkali dipoles dengan sangat indah dan menawan. Pada tiap jalan yang menyimpang itu, ada syeitan yang mengajak manusia untuk mengikuti jalannya. Dengan berbagai tipu muslihat, syeitan mencoba memalingkan manusia dari cahaya ilmu, lalu membiarkannya tersesat dan kebingungan dalam gelapnya kebodohan. Dari situlah syeitan kemudian memasukkan hal-hal yang secara lahiriah adalah perbuatan baik/amal shalih ke dalam agama, namun sebenarnya ia tidak pernah dituntunkan Allah SWT dan Rasul-Nya. Muncullah berbagai keyakinan dan amalan yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Maka lahirlah i’tiqad dan perbuatan yang tak pernah dikenal oleh generasi terbaik ummat (yaitu generasi As Salafus shalih), yang dinamakan bid’ah. Yaitu segala perkara yang dibuat-buat dalam agama yang sama sekali tidak memiliki dasar dalam syari’ah. Barang siapa yang mencoba melakukan hal ini, maka ia akan dalam ancaman Rasulullah SAW sebagaimana sabdanya:
1.Barangsiapa yang membuat-buat hal baru dalam urusan (agama) kami, apa-apa yang tidak ada keterangan darinya maka dia itu tertolak. [HR Bukhari dan Muslim].
2.Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak dilandasi/tidak sesuai dengan keterangan kami, maka dia itu tertolak. [HR Muslim]

Hadis-hadis di atas merupakan pedoman yang harus digunakan untuk mengukur dan menilai sebuah amalan secara lahiriah, sehingga amalan apapun dikembalikan kepada pelakunya. Sehingga berdasarkan hadis ini pula perbuatan apa pun yang diada-adakan dalam Islam bila tidak diizinkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, maka tidaklah boleh dikerjakan, betapapun baik dan bergunanya menurut akal kita.

Meskipun demikian Islam juga memberikan kesempatan untuk melakukan pengembangan, sehingga para ulama, di antaranya Imam Syafi'i dan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah merumuskan bahwa hukum dasar dalam bidang muamalah adalah boleh (tidak ada larangan) hingga datangnya dalil yang melarang hal tertentu. Jadi kita mendapatkan kesempatan untuk melakukan inovasi selama belum ada larangan yang tegas terhadap apa yang akan kita lakukan.

Namun kita tetap harus bijaksana, karena pada dasarnya perilaku bid’ah dan segala perilaku yang mengarah pada penambahan terhadap ajaran Islam adalah tindakan kejahatan yang amat sangat nyata. Bila kejahatan bid’ah ini dilakukan maka ‘kejahatan-kejahatan’ lain akan muncul.

Perilaku bid’ah menunjukkan bahwa pelakunya telah berprasanga buruk (suudzon) terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya yang telah menetapkan risalah Islam, karena pelaku bid’ah menganggap bahwa agama ini belumlah sempurna, sehingga perlu diberikan ajaran-ajaran tambahan agar lebih sempurna. Dampak negatif lain dari perilaku bid’ah adalah bahwa hal ini akan mengotori dan menodai keindahan syari’ah Islam yang suci dan telah disempurnakan oleh Allah SWT. Perbuatan ini akan memberikan kesan bahwa Islam tidaklah pantas menjadi pedoman hidup karena ternyata belum sempurna.

Perbuatan bid’ah juga akan mengakibatkan terhapusnya dan hilangnya syi’ar-syi’ar Sunnah dalam kehidupan ummat Islam. Hal ini disebabkan tidak ada satupun bid’ah yang muncul dan menyebar melainkan sebuah sunnah akan mati bersamanya, sebab pada dasarnya bid’ah itu tidak akan muncul kecuali bila sunnah telah ditinggalkan. Sahabat Nabi yang mulia, Ibnu Abbas pernah menyinggung hal ini dengan mengatakan:
Tidaklah datang suatu tahun kepada ummat manusia kecuali mereka membuat-buat sebuah bid’ah di dalamnya dan mematikan sunnah, hingga hiduplah bid’ah dan matilah sunnah.
Tersebarnya bid’ah akan menghalangi kaum Muslimin memahami ajaran-ajaran agama yang shahih dan murni, karena ketika mereka melakukan bid’ah tersebut maka saat itu mereka tidak memandangnya sebagai sesuatu yang salah, mereka justru meyakininya sebagai sesuatu yang benar dan termasuk dalam ajaran Islam.

Hal itu menjelaskan bahwa pelaku maksiat bagaimanapun dia meyakini bahwa perbuatannya adalah dosa, sedangkan pelaku bid’ah melakukannya dengan keyakinan hal itu termasuk ajaran agama (bukan dosa).
Perlu kita perhatikan dengan seksama bahwa agama Islam sudah memberikan keterangan-keterangan yang lengkap, sehingga tidak perlu penambahan atau pengurangan. Jika ada perubahan, itu disebabkan karena perbedaan situasi dan kondisi, misalnya hal-hal yang menyangkut masalah politik, ekonomi, budaya, hukum, keamanan, dan sebagainya diterangkan secara global agar dapat mengikuti kepentingan manusia, pada setiap waktu dan tempat.

Hendaknya kita banyak membaca buku-buku, termasuk tentang hadis yang shahih, mutawatir, atau paling tidak hasan, yang menjelaskan tuntunan yang diajarkan Rasulullah SAW (mutaba’ah), agar tidak terjerumus ke dalam tata-cara beribadah yang bid’ah.

Menuntut ilmu itu tiada batasnya. Amal kebaikan kita merupakan buah dari ilmu, dan ilmu bermula dari hikmah, dan yang utama diperoleh dari membaca. Ingatlah bahwa wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW adalah perintah membaca.
Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan qalam (pena). Dialah yang mengajar manusia segala yang belum diketahui.
[QS Al ‘Alaq (96): 1-5]. []

Apa yang kami kemukakan menyangkut fikih pada tulisan perdana ini tidak akan kami rinci lebih lanjut, melainkan hanya sebagai penjelasan mengapa kita perlu mengikuti shiraath al mustaqiim. Dengan begitu hendaknya kaum Muslimin juga meluangkan waktu untuk membaca tulisan-tulisan yang akan kami tampilkan selanjutnya dalam blog kami ini. []

http://almustaqiim.blogspot.com/search/label/B.%20Shiraath%20al%20Mustaqiim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar