Sekecil apapun kadarnya, semua orang pernah merasakan
kedengkian. Hanya saja sikap yang diambil ketika dengki mulai tumbuh,
masing-masing orang berbeda. Ada yang segera memangkasnya, ada pula yang
membiarkannya tumbuh menjadi pohon hasad yang berbuah kezhaliman.
Dengki dalam bahasa kita adalah perasaan tidak suka pada orang tertentu yang meraih atau mendapat suatu karunia. Dengki sering digunakan untuk memaknai hasad. Tapi hasad, sebenarnya, bukan hanya perasaan tidak suka tapi juga disertai keinginan agar nikmat tersebut berpindah tangan atau hilang darinya. Sehingga tak mengherankan jika hasad sering menjadi biang kerok dari berbagai tindak kezhaliman sebagai bentuk pelampiasannya. Sampai-sampai, ada ayat khusus yang memerintahkan manusia berlindung dari ulah pendengki (QS. Falaq; 5).
Ada banyak hal yang bisa menyebabkan dengki; persaingan, dendam, sifat takabur, dan kebencian. Atau, dengki yang memang sudah mengurat akar menjadi karakter hati seseorang. Dimana hatinya senantiasa gelisah terhadap apapun yang didapatkan orang disekelilingnya dan ingin merampasnya.
Jika kita klasifikasikan menurut levelnya, dengki akan terbagi menjadi tiga level;
Pertama, perasaan tidak suka pada orang lain, tetangga atau saingan, atas nikmat yang diperoleh, namun perasaan ini segera diredakan. Rasa semacam ini muncul begitu saja dalam hati. Biasanya, hal itu disebabkan karena orang yang mendapat nikmat tersebut berada pada strata yang lebih rendah daripada dirinya dalam hal tertentu. Sehingga ketika dia mampu meraih atau mendapat sesuatu yang lebih, dengki pun muncul di hati. Akan tetapi karena segera diredakan – mungkin dengan instrospeksi diri bahwa setiap manusia memiliki nasibnya sendiri-sendiri misalnya-, kedengkian itu meredup dan padam. Maka, selamatlah ia.
Kedua, kedengkian yang dipendam dan dibiarkan membara dalam hati. Tidak segera diobati tapi juga tidak dilampiaskan. Memang, Ibnu Taimiyah pernah berkata bahwa asalkan tidak dilampiaskan, kedengkian tidak akan membahayakan. Namun seringnya, tidak dilampiaskannya dengki tersebut bukan karena tidak mau, tapi lebih karena tidak mampu. Kedengkian semacam ini, meski tidak memunculkan perbuatan buruk berupa kezhaliman tapi akan menyebabkan hati menjadi kotor. Ia seperti bom waktu yang meledak jika ada kesempatan. Intinya, rasa ini juga harus dihilangkan.
Ketiga, kedengkian yang dilampiaskan. Level pelampiasan dengki paling rendah
adalah dengan ucapan. Saat melihat yang didengki mendapat nikmat, kedengkian
mengontrol lidahnya untuk merajut kata-kata keji; fitnah, ghibah, komentar
miring dan berbagai ungkapan ketidaksukaan.
Level selanjutnya adalah
kezhaliman. Bermula dari rasa dengki, berlanjut menjadi perampasan, pencurangan
hingga pembunuhan. Ada banyak contoh dalam hal ini, mulai dari Kisah Adam-Iblis,
Habil Qabil, Yusuf dan saudaranya dan contoh lain di sekitar kita.
Antara
dengki dan persaingan
Dalam semua literatur, dengki selalu dimasukkan dalam kategori al akhlaq al madzmumah, atau akhlak yang tercela. Ketercelaan ini bisa kita lihat dari mana asal dengki ini tumbuh. Seperti yang sudah disebutkan, motivasi tumbuhnya kedengkian rata-rata adalah motivasi yang buruk. Bisa juga dari sisi pelampiasannya berupa berbagai tindak kedzaliman.
Namun, jika kita cermati, rasa dengki sebenarnya hanyalah salah satu kategori dari sifat manusia yang selalu ingin bersaing (kompetisi). Bedanya, hasad atau dengki memilih jalan kiri untuk meraih keinginan; cara-cara kotor dengan tujuan merampas atau menghilangkan nikmat dari yang didengki dan berbagai tindakan tercela. Sedang persaingan (munafasah) secara umum, adalah semacam rasa iri dan ketidakrelaan untuk disamai atau disaingi, yang kemudian memicu semangat untuk melakukan/meraih hal yang sama atau lebih. Sehingga, motivasi berupa rasa iri ini tidak semuanya buruk. Statusnya mubah jika dalam urusan mubah. Misalnya persaingan dalam hal bisnis, prestasi akademik dan lainnya. Tentu saja jika cara yang digunakan bersih. Tak hanya mubah, bahkan jika persaingan tersebut dalam hal kebaikan, bisa menjadi persaingan yang berpahala atau at tasabuq bil khairat saling berlomba dalam kebaikan. Rasa iri dalam kebaikan disebut ghibtah.
Rasulullah bersabda,
“Tidak ada hasad atau iri yang disukai kecuali pada dua perkara; (yaitu) seorang yang diberikan pemahaman Al-Qur`an lalu mengamalkannya di waktu-waktu malam dan siang; dan seorang yang Allah beri harta lalu menginfakkannya di waktu-waktu malam dan siang.” (HR. Muslim).
Nabi menamakan rasa itu sebagai hasad sebagai bentuk majaz karena secara motivasi ada kesamaan yaitu ingin memiliki apa yang dimiliki orang lain. Penjelasan panjang ini disarikan dari keterangan Ibnul Hajar dalam kitab Fathul Bari; 1/119 ketika menjelaskan maksud hadits di atas.
Tinggal
Pilih
Nah, dari dua kategori hasad ini, manakah yang sekarang tengah tumbuh dalam hati kita? Adakah kedengkian yang buruk yang hanya menyiksa dan memenjarakan hati dalam kegelisahan? Kita berlindung kepada Allah dari hasad ini. Ataukah hasad yang baik? Yang menjadi motivasi kuat bagi kita untuk berlomba dalam kebaikan?Atau jangan-jangan, kita tidak dengki pada siapapun, tapi juga tak pernah iri dan termotivasi dengan kebaikan dan prestasi orang lain? Semoga saja tidak, karena kondisi ini, bisa menjadi pertanda buruk bagi iman dan semangat keislaman kita. Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar