Tidak semua bangunan kuno di Jakarta bisa lestari hingga sekarang. Ada yang nasibnya tragis, runtuh tak kuat menahan arus zaman seperti Hotel des Indes. Hotel mewah itu pernah menjadi ikon Batavia tempo dulu.
Bahkan, di eranya, ketenaran Hotel des Indes dianggap melebihi hotel-hotel terkenal lainnya di Asia, termasuk Hotel Raffles yang dibangun oleh kolonial Inggris di Singapura. Menurut sejarawan JJ Rizal, kemegahannya sepuluh kali Hotel Raffles di Singapura. "Sayang jika bangunan Hotel des Indes sekarang sudah tidak ada," katanya kepada merdeka.com.
Hotel des Indes terletak di ujung selatan Molenvliet West, kini bernama Jl Gajah Mada, Jakarta Pusat. Hotel ini dibangun masa penjajahan Belanda, tepatnya tahun 1829. Saat itu, seorang warga negara Prancis, Antoine Surleon Chaulan membeli tanah tersebut dari pemerintah Belanda dalam kondisi sudah terbangun, yakni bangunan asrama pelajar putri Belanda.
Antoine kemudian membangun sebuah hotel di atas tanah itu. Hotel itu dinamakannya Hotel de Provence. Namun, pada lelang tahun 1845, Etienne Chaulan membeli hotel itu dari saudaranya dengan harga 25.000 gulden Belanda.
Di tangan Etienne, hotel ini mulai terkenal. Hotel ini pertama menjual berbagai jenis es krim gaya Eropa. Namun, hotel itu kembali berubah nama setelah dibeli oleh Cornelis Denning Hoff pada tahun 1851.
Cornelis menganti nama hotel menjadi Hotel Rotterdam. Cornelis tak lama memiliki memiliki hotel itu. Pada tahun 1852 dia menjual hotel itu kepada orang Swiss bernama Francois Auguste Emile Wijss. Atas usulan Douwes Dekker, Francois kemudian menganti nama hotel itu dengan nama Hotel des Indes pada 1 Mei 1856.
Pada tahun 1860, Hotel des Indes dijual Wijjs kepada orang Prancis bernama Louis George Cressonnier. Di masa kepemilikannya, Hotel des Indes gencar diiklankan. Alhasil, para wisatawan yang tiba di pelabuhan Batavia kala itu memilih Hotel des Indes sebagai tempat menginap.
"Hotel des Indes benar-benar nyaman. Setiap tamu disediakan ruang duduk dan kamar tidur yang menghadap ke beranda, di mana mereka bisa menikmati kopi di pagi hari dan teh di sore hari. Di tengah alun-alun ada beberapa kolam pemandian marmer yang selalu siap untuk digunakan. Sarapan disajikan secara prasmanan pada pukul sepuluh pagi, sementara makan malam dimulai pukul enam sore, semua kemewahan itu dapat dinikmati para tamu dengan harga yang pantas," demikian pengalaman ilmuwan Inggris, Alfred Russel Wallace, dalam buku 'The Malay Archipelago.'
Pihak keluarga Cresonnier kemudian menjual hotel itu kepada Theodoor Gallas, setelah sang pemilik meninggal dunia pada 1870. Namun, hotel itu kembali dijual pada 1886 kepada Yakub Lugt dengan harga 177.000 gulden Belanda.
Jacob Lugt kemudian memperluas hotel secara besar-besaran dengan cara membeli tanah di sekeliling hotel. Masalah keuangan membuat dia kemudian menjadikan hotel itu menjadi sebuah perseroan terbatas N.V. Hotel des Indes pada tahun 1897.
Hotel itu kemudian menjadi sangat terkenal dan sukses di Asia setelah dibeli Gantvoort pada 1903. Namun pada tahun 1942 Jepang merebut hotel itu. Saat itu salah seorang proklamator, Mohammad Hatta ditempatkan sementara di hotel itu oleh Jepang.
Setelah Jepang hengkang dari Indonesia, hotel itu kembali ke dunia bisnis pada Juni 1946. G.P.M. van Weel diangkat sebagai direktur, dengan penasehat co-direktur, A. dan FJ Zeilinga.
Hotel itu menjadi saksi sejarah perundingan Roem-Royen pada 7 Mei 1949 yang menghasilkan penyerahan kedaulatan Indonesia dari Belanda dan dilepaskannya Soekarno dan Mohammad Hatta.
Setelah Indonesia merdeka, hotel itu kemudian dianeksasi tanpa kompensasi pada tahun 1949. Hotel des Indes pun berubah nama menjadi Hotel Duta Indonesia. Namun, hotel itu terus mengalami penurunan pendapatan, terlebih pasca-tahun 1962.
Saat itu, Presiden Soekarno meresmikan berdirinya Hotel Indonesia yang menjadi saingan berat hotel tiga zaman itu. Hotel tua itu pun dihancurkan pada tahun 1971 untuk membuat jalan bagi pusat perbelanjaan Duta Merlin.
Meski telah tiada, nama Hotel des Indes tetap tercatat sebagai bagian sejarah Jakarta, bahkan Indonesia, yang tak akan hilang dihapus waktu.
Bahkan, di eranya, ketenaran Hotel des Indes dianggap melebihi hotel-hotel terkenal lainnya di Asia, termasuk Hotel Raffles yang dibangun oleh kolonial Inggris di Singapura. Menurut sejarawan JJ Rizal, kemegahannya sepuluh kali Hotel Raffles di Singapura. "Sayang jika bangunan Hotel des Indes sekarang sudah tidak ada," katanya kepada merdeka.com.
Hotel des Indes terletak di ujung selatan Molenvliet West, kini bernama Jl Gajah Mada, Jakarta Pusat. Hotel ini dibangun masa penjajahan Belanda, tepatnya tahun 1829. Saat itu, seorang warga negara Prancis, Antoine Surleon Chaulan membeli tanah tersebut dari pemerintah Belanda dalam kondisi sudah terbangun, yakni bangunan asrama pelajar putri Belanda.
Antoine kemudian membangun sebuah hotel di atas tanah itu. Hotel itu dinamakannya Hotel de Provence. Namun, pada lelang tahun 1845, Etienne Chaulan membeli hotel itu dari saudaranya dengan harga 25.000 gulden Belanda.
Di tangan Etienne, hotel ini mulai terkenal. Hotel ini pertama menjual berbagai jenis es krim gaya Eropa. Namun, hotel itu kembali berubah nama setelah dibeli oleh Cornelis Denning Hoff pada tahun 1851.
Cornelis menganti nama hotel menjadi Hotel Rotterdam. Cornelis tak lama memiliki memiliki hotel itu. Pada tahun 1852 dia menjual hotel itu kepada orang Swiss bernama Francois Auguste Emile Wijss. Atas usulan Douwes Dekker, Francois kemudian menganti nama hotel itu dengan nama Hotel des Indes pada 1 Mei 1856.
Pada tahun 1860, Hotel des Indes dijual Wijjs kepada orang Prancis bernama Louis George Cressonnier. Di masa kepemilikannya, Hotel des Indes gencar diiklankan. Alhasil, para wisatawan yang tiba di pelabuhan Batavia kala itu memilih Hotel des Indes sebagai tempat menginap.
"Hotel des Indes benar-benar nyaman. Setiap tamu disediakan ruang duduk dan kamar tidur yang menghadap ke beranda, di mana mereka bisa menikmati kopi di pagi hari dan teh di sore hari. Di tengah alun-alun ada beberapa kolam pemandian marmer yang selalu siap untuk digunakan. Sarapan disajikan secara prasmanan pada pukul sepuluh pagi, sementara makan malam dimulai pukul enam sore, semua kemewahan itu dapat dinikmati para tamu dengan harga yang pantas," demikian pengalaman ilmuwan Inggris, Alfred Russel Wallace, dalam buku 'The Malay Archipelago.'
Pihak keluarga Cresonnier kemudian menjual hotel itu kepada Theodoor Gallas, setelah sang pemilik meninggal dunia pada 1870. Namun, hotel itu kembali dijual pada 1886 kepada Yakub Lugt dengan harga 177.000 gulden Belanda.
Jacob Lugt kemudian memperluas hotel secara besar-besaran dengan cara membeli tanah di sekeliling hotel. Masalah keuangan membuat dia kemudian menjadikan hotel itu menjadi sebuah perseroan terbatas N.V. Hotel des Indes pada tahun 1897.
Hotel itu kemudian menjadi sangat terkenal dan sukses di Asia setelah dibeli Gantvoort pada 1903. Namun pada tahun 1942 Jepang merebut hotel itu. Saat itu salah seorang proklamator, Mohammad Hatta ditempatkan sementara di hotel itu oleh Jepang.
Setelah Jepang hengkang dari Indonesia, hotel itu kembali ke dunia bisnis pada Juni 1946. G.P.M. van Weel diangkat sebagai direktur, dengan penasehat co-direktur, A. dan FJ Zeilinga.
Hotel itu menjadi saksi sejarah perundingan Roem-Royen pada 7 Mei 1949 yang menghasilkan penyerahan kedaulatan Indonesia dari Belanda dan dilepaskannya Soekarno dan Mohammad Hatta.
Setelah Indonesia merdeka, hotel itu kemudian dianeksasi tanpa kompensasi pada tahun 1949. Hotel des Indes pun berubah nama menjadi Hotel Duta Indonesia. Namun, hotel itu terus mengalami penurunan pendapatan, terlebih pasca-tahun 1962.
Saat itu, Presiden Soekarno meresmikan berdirinya Hotel Indonesia yang menjadi saingan berat hotel tiga zaman itu. Hotel tua itu pun dihancurkan pada tahun 1971 untuk membuat jalan bagi pusat perbelanjaan Duta Merlin.
Meski telah tiada, nama Hotel des Indes tetap tercatat sebagai bagian sejarah Jakarta, bahkan Indonesia, yang tak akan hilang dihapus waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar