Dari
Abu Dzar radhiyallahu’anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau meriwayatkan dari Allah tabaraka wa ta’ala. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “..Wahai hamba-hamba-Ku! Setiap kalian adalah
tersesat kecuali yang Aku berikan petunjuk kepadanya. Maka mintalah hidayah
kepada-Ku niscaya Aku akan memberikan hidayah kepada kalian…” (HR. Muslim)
[1]
Macam-Macam Hidayah
Hidayah bisa dibagi
menjadi hidayah ‘menuju jalan lurus’ dan hidayah ‘di atas jalan lurus’. Hidayah
menuju jalan adalah hidayah untuk memeluk agama Islam dan meninggalkan
agama-agama yang lain. Adapun hidayah di atas jalan adalah hidayah untuk bisa
melaksanakan rincian-rincian ajaran di dalam agama Islam (lihat Taisir
al-Karim ar-Rahman, sebagaimana dalam al-Majmu’ah al-Kamilah [1/36])
Hidayah
juga bisa dibagi menjadi dua macam: Pertama; hidayah berupa penunjukan, arahan,
dan keterangan (biasa disebut dengan hidayah irsyad wal bayan, ed.).
Lawan dari hidayah ini adalah kesesatan (dholal). Kedua; hidayah berupa
taufik, ilham, dan keistiqomahan. Lawan dari hidayah ini adalah penyimpangan (ghoyyu)
(lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 20).
Hidayah
taufik adalah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (yang artinya), “Sesungguhnya
kamu tidak bisa memberikan hidayah (taufik) kepada orang yang kamu cintai.”
(QS. al-Qoshosh: 56). Adapun hidayah penunjukan adalah sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat (yang artinya), “Sesungguhnya kamu benar-benar
memberikan hidayah (bimbingan) menuju jalan yang lurus.” (QS. asy-Syura:
52) (lihat at-Tas-hil li Ta’wil at-Tanzil [1/109]).
Hidayah
juga bisa dibagi menjadi hidayah ilmu dan hidayah amal. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
berkata, “Dengan ucapan anda ‘Ihdinash shirathal mustaqim‘ itu artinya
anda telah meminta kepada Allah ta’ala ilmu yang bermanfaat dan amal
yang salih.” (lihat Tafsir Juz ‘Amma, hal. 12).
[2]
Hidayah Taufik Hanya Di Tangan Allah
Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya engkau -Muhammad-
tidak bisa memberikan hidayah kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi
Allah lah yang kuasa memberikan hidayah kepada orang yang Allah kehendaki.”
(QS. al-Qashash: 56).
Sa’id
bin al-Musayyab meriwayatkan dari ayahnya, beliau menceritakan: Ketika kematian
hendak menghampiri Abu Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun datang kepadanya. Di sana beliau mendapati Abu Jahal dan Abdullah bin
Umayyah bin al-Mughirah telah berada di sisinya. Kemudian beliau berkata, “Wahai
pamanku. Ucapkanlah laa ilaha illallah; sebuah kalimat yang aku akan bersaksi
dengannya untuk membelamu kelak di sisi Allah.” Abu Jahal dan Abdullah bin
Umayyah berkata, “Wahai Abu Thalib, apakah kamu membenci agama Abdul
Muthallib?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus
menawarkan syahadat kepadanya, sedangkan mereka berdua pun terus mengulangi
ucapan itu. Sampai akhirnya ucapan terakhir Abu Thalib kepada mereka adalah dia
tetap berada di atas agama Abdul Muthallib. Dia enggan mengucapkan laa ilaha
illallah… (HR. Bukhari dan Muslim)
[3]
Kita Sangat Butuh Hidayah
Syaikh
Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah berkata, “Kebutuhan seorang muslim
terhadap hidayah menuju jalan yang lurus lebih besar daripada kebutuhannya
kepada makanan dan minuman. Sebab makanan dan minuman adalah bekal untuknya
dalam kehidupan dunia, sedangkan hidayah jalan yang lurus adalah bekalnya untuk
negeri akherat. Oleh sebab itulah terdapat doa untuk memohon hidayah menuju
jalan yang lurus ini di dalam surat al-Fatihah yang ia wajib untuk dibaca dalam
setiap raka’at sholat; baik sholat wajib maupun sholat sunnah.” (lihat Qathfu
al-Jana ad-Dani Syarh Muqoddimah Risalah Ibnu Abi Zaid al-Qairuwani, hal.
114)
[4] Laksana Air Hujan
Yang Menyirami Bumi
Dari Abu Musa
al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah utus aku untuk
mendakwahkannya laksana hujan deras yang membasahi bumi. Di muka bumi itu ada
tanah yang baik sehingga bisa menampung air dan menumbuhkan berbagai jenis
pohon dan tanam-tanaman. Adapula jenis tanah yang tandus sehingga bisa
menampung air saja dan orang-orang mendapatkan manfaat darinya. Mereka
mengambil air minum untuk mereka sendiri, untuk ternak, dan untuk mengairi
tanaman. Hujan itu juga menimpa tanah yang licin, ia tidak bisa menahan
air dan tidak pula menumbuhkan tanam-tanaman. Demikian itulah perumpamaan orang
yang paham tentang agama Allah kemudian ajaran yang kusampaikan kepadanya
memberi manfaat bagi dirinya. Dia mengetahui ilmu dan mengajarkannya. Dan
perumpamaan orang yang tidak mau peduli dengan agama dan tidak mau menerima
hidayah Allah yang aku sampaikan.” (HR. Bukhari)
Imam
al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan segi keserupaan antara hujan dengan
ilmu agama. Beliau berkata, “Sebagaimana hujan akan menghidupkan tanah yang
mati (gersang), demikian pula ilmu-ilmu agama akan menghidupkan hati yang
mati.” (lihat Fath al-Bari [1/215]).
Imam
Ibnu Baththal rahimahullah menjelaskan, “Di dalam hadits ini juga
terkandung pelajaran bahwa tidak akan bisa menerima petunjuk dan agama yang
diturunkan Allah kecuali orang yang hatinya bersih dari syirik dan
keragu-raguan.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari li Ibni Baththal [1/163])
[5]
Nikmat Yang Paling Agung
Ibnul Qoyyim rahimahullah
berkata, “Hidayah adalah pengetahuan tentang kebenaran yang disertai keinginan
untuk mengikutinya dan lebih mengutamakan kebenaran itu daripada selainnya.
Orang yang mendapat hidayah adalah orang yang melaksanakan kebenaran dan
benar-benar menginginkannya. Itulah nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah
kepada seorang hamba. Oleh sebab itu Allah subhanahu wa ta’ala
memerintahkan kita untuk meminta kepada-Nya hidayah menuju jalan yang lurus
setiap sehari semalam dalam sholat lima waktu yang kita lakukan. Karena
sesungguhnya setiap hamba membutuhkan ilmu untuk bisa mengenal kebenaran yang
diridhai Allah dalam setiap gerakan lahir maupun batin. Apabila dia telah
mengetahuinya dia masih membutuhkan Dzat yang memberikan ilham kepadanya untuk
mengikuti kebenaran itu supaya kemauan itu tertancap kuat di dalam hatinya.
Setelah itu, dia juga masih membutuhkan Dzat yang membuatnya mampu melakukan
hal itu. Padahal, sesuatu yang telah dimaklumi bahwasanya apa yang tidak
diketahui oleh seorang hamba itu berlipat ganda jauh lebih banyak daripada apa
yang sudah diketahuinya. Disamping itu, tidaklah semua kebenaran yang
diketahuinya itu secara otomatis dikehendaki oleh jiwa (hawa nafsu)-nya.
Seandainya menghendakinya, tetap saja dia tidak mampu untuk mewujudkan banyak
hal di dalamnya.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [1/25-26])
[6]
Jalan Menggapai Hidayah
Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang
bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan [menuju keridhaan] Kami. Dan sesungguhnya Allah akan bersama dengan
orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. al-’Ankabut: 69)
Imam
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Allah mengaitkan antara hidayah
dengan jihad/kesungguh-sungguhan. Ini artinya, orang yang paling besar
hidayahnya adalah yang paling besar jihadnya. Sedangkan jihad yang paling wajib
adalah jihad menundukkan jiwa dan berjuang mengendalikan hawa nafsu, berjihad
melawan syaitan, dan berjihad melawan [ambisi] dunia. Maka barangsiapa yang
berjihad melawan keempat hal ini akan Allah tunjukkan kepadanya jalan-jalan
keridhaan-Nya yang akan mengantarkan kepada surga-Nya. Dan barangsiapa yang
meninggalkan jihad itu maka dia akan kehilangan sebagian petunjuk sekadar
dengan jihad/perjuangan yang dia abaikan.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir
[4/518], al-Fawa’id, hal. 58)
[7]
Pokok Kebahagiaan
Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengatakan, “Allah Yang Maha Suci telah memberikan karunia dua perkara
agung kepada anak cucu Adam. Kedua hal itu merupakan pokok kebahagiaan. Pertama;
Setiap bayi yang terlahir berada di atas fitrah (tauhid). Setiap jiwa apabila
dibiarkan begitu saja niscaya ia akan mengakui bahwasanya Allah adalah
ilah/sesembahan baginya. Ia akan mencintai-Nya dan akan menyembah-Nya tanpa
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Akan tetapi karena adanya bisikan
setan dari kalangan jin dan manusia satu sama lain itulah yang menyebabkan
kebatilan di mata mereka menjadi tampak indah dan menawan. Kedua; Allah ta’ala
telah memberikan petunjuk kepada umat manusia dengan bimbingan yang bersifat
umum. Sehingga di dalam diri mereka secara fitrah telah terpatri pengenalan
-kepada kebenaran- dan sebab-sebab guna meraih ilmu. Di samping itu, Allah juga
menurunkan kitab-kitab suci dan mengutus para rasul sebagai pembimbing bagi
mereka.” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 35)
[8]
Marilah Kita Bercermin
Saudaraku,
sesungguhnya petunjuk kepada Islam, Sunnah, dan ketaatan adalah anugerah
terbesar bagi umat manusia. Tidak ada yang lebih berharga daripada itu semua.
Inilah kunci kebahagiaan hidup yang akan membukakan pintu keselamatan. Meskipun
demikian, ternyata tidak sedikit orang yang belum bisa merasakan kelezatan dan
kenikmatan hidayah ini dalam hidupnya. Orang-orang yang tenggelam dalam
kekafiran, kebid’ahan, dan kemaksiatan. Mereka telah merubah dunia menjadi
pentas dosa. Mereka pergunakan nikmat Allah untuk durhaka kepada Allah dan
rasul-Nya.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua umatku akan masuk
surga kecuali orang yang enggan.” Para sahabat pun bertanya, “Siapakah
orang yang enggan itu wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Barangsiapa
yang menaatiku dia akan masuk surga, dan barangsiapa yang durhaka kepadaku maka
dia lah orang yang enggan.” (HR. Bukhari). Wallahul musta’aan.
http://buletin.muslim.or.id/nasehat/saat-hidayah-menyapa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar