Kamis, 20 September 2012

SAAT HIDAYAH MENYAPA




Dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau meriwayatkan dari Allah tabaraka wa ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “..Wahai hamba-hamba-Ku! Setiap kalian adalah tersesat kecuali yang Aku berikan petunjuk kepadanya. Maka mintalah hidayah kepada-Ku niscaya Aku akan memberikan hidayah kepada kalian…”  (HR. Muslim)

[1] Macam-Macam Hidayah

 Hidayah bisa dibagi menjadi hidayah ‘menuju jalan lurus’ dan hidayah ‘di atas jalan lurus’. Hidayah menuju jalan adalah hidayah untuk memeluk agama Islam dan meninggalkan agama-agama yang lain. Adapun hidayah di atas jalan adalah hidayah untuk bisa melaksanakan rincian-rincian ajaran di dalam agama Islam (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana dalam al-Majmu’ah al-Kamilah [1/36])

Hidayah juga bisa dibagi menjadi dua macam: Pertama; hidayah berupa penunjukan, arahan, dan keterangan (biasa disebut dengan hidayah irsyad wal bayan, ed.). Lawan dari hidayah ini adalah kesesatan (dholal). Kedua; hidayah berupa taufik, ilham, dan keistiqomahan. Lawan dari hidayah ini adalah penyimpangan (ghoyyu) (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 20).

Hidayah taufik adalah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (yang artinya), “Sesungguhnya kamu tidak bisa memberikan hidayah (taufik) kepada orang yang kamu cintai.” (QS. al-Qoshosh: 56). Adapun hidayah penunjukan adalah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (yang artinya), “Sesungguhnya kamu benar-benar memberikan hidayah (bimbingan) menuju jalan yang lurus.” (QS. asy-Syura: 52) (lihat at-Tas-hil li Ta’wil at-Tanzil [1/109]).

Hidayah juga bisa dibagi menjadi hidayah ilmu dan hidayah amal. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Dengan ucapan anda ‘Ihdinash shirathal mustaqim‘ itu artinya anda telah meminta kepada Allah ta’ala ilmu yang bermanfaat dan amal yang salih.” (lihat Tafsir Juz ‘Amma, hal. 12).

[2] Hidayah Taufik Hanya Di Tangan Allah

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya engkau -Muhammad- tidak bisa memberikan hidayah kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah lah yang kuasa memberikan hidayah kepada orang yang Allah kehendaki.” (QS. al-Qashash: 56).

Sa’id bin al-Musayyab meriwayatkan dari ayahnya, beliau menceritakan: Ketika kematian hendak menghampiri Abu Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang kepadanya. Di sana beliau mendapati Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah bin al-Mughirah telah berada di sisinya. Kemudian beliau berkata, “Wahai pamanku. Ucapkanlah laa ilaha illallah; sebuah kalimat yang aku akan bersaksi dengannya untuk membelamu kelak di sisi Allah.” Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah berkata, “Wahai Abu Thalib, apakah kamu membenci agama Abdul Muthallib?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus menawarkan syahadat kepadanya, sedangkan mereka berdua pun terus mengulangi ucapan itu. Sampai akhirnya ucapan terakhir Abu Thalib kepada mereka adalah dia tetap berada di atas agama Abdul Muthallib. Dia enggan mengucapkan laa ilaha illallah… (HR. Bukhari dan Muslim)

[3] Kita Sangat Butuh Hidayah

Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah berkata, “Kebutuhan seorang muslim terhadap hidayah menuju jalan yang lurus lebih besar daripada kebutuhannya kepada makanan dan minuman. Sebab makanan dan minuman adalah bekal untuknya dalam kehidupan dunia, sedangkan hidayah jalan yang lurus adalah bekalnya untuk negeri akherat. Oleh sebab itulah terdapat doa untuk memohon hidayah menuju jalan yang lurus ini di dalam surat al-Fatihah yang ia wajib untuk dibaca dalam setiap raka’at sholat; baik sholat wajib maupun sholat sunnah.” (lihat Qathfu al-Jana ad-Dani Syarh Muqoddimah Risalah Ibnu Abi Zaid al-Qairuwani, hal. 114)

 [4] Laksana Air Hujan Yang Menyirami Bumi 

 Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah utus aku untuk mendakwahkannya laksana hujan deras yang membasahi bumi. Di muka bumi itu ada tanah yang baik sehingga bisa menampung air dan menumbuhkan berbagai jenis pohon dan tanam-tanaman. Adapula jenis tanah yang tandus sehingga bisa menampung air saja dan orang-orang mendapatkan manfaat darinya. Mereka mengambil air minum untuk mereka sendiri, untuk ternak, dan untuk mengairi tanaman. Hujan itu juga menimpa  tanah yang licin, ia tidak bisa menahan air dan tidak pula menumbuhkan tanam-tanaman. Demikian itulah perumpamaan orang yang paham tentang agama Allah kemudian ajaran yang kusampaikan kepadanya memberi manfaat bagi dirinya. Dia mengetahui ilmu dan mengajarkannya. Dan perumpamaan orang yang tidak mau peduli dengan agama dan tidak mau menerima hidayah Allah yang aku sampaikan.” (HR. Bukhari)

Imam al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan segi keserupaan antara hujan dengan ilmu agama. Beliau berkata, “Sebagaimana hujan akan menghidupkan tanah yang mati (gersang), demikian pula ilmu-ilmu agama akan menghidupkan hati yang mati.” (lihat Fath al-Bari [1/215]).

Imam Ibnu Baththal rahimahullah menjelaskan, “Di dalam hadits ini juga terkandung pelajaran bahwa tidak akan bisa menerima petunjuk dan agama yang diturunkan Allah kecuali orang yang hatinya bersih dari syirik dan keragu-raguan.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari li Ibni Baththal [1/163])

[5] Nikmat Yang Paling Agung

 Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Hidayah adalah pengetahuan tentang kebenaran yang disertai keinginan untuk mengikutinya dan lebih mengutamakan kebenaran itu daripada selainnya. Orang yang mendapat hidayah adalah orang yang melaksanakan kebenaran dan benar-benar menginginkannya. Itulah nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada seorang hamba. Oleh sebab itu Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita untuk meminta kepada-Nya hidayah menuju jalan yang lurus setiap sehari semalam dalam sholat lima waktu yang kita lakukan. Karena sesungguhnya setiap hamba membutuhkan ilmu untuk bisa mengenal kebenaran yang diridhai Allah dalam setiap gerakan lahir maupun batin. Apabila dia telah mengetahuinya dia masih membutuhkan Dzat yang memberikan ilham kepadanya untuk mengikuti kebenaran itu supaya kemauan itu tertancap kuat di dalam hatinya. Setelah itu, dia juga masih membutuhkan Dzat yang membuatnya mampu melakukan hal itu. Padahal, sesuatu yang telah dimaklumi bahwasanya apa yang tidak diketahui oleh seorang hamba itu berlipat ganda jauh lebih banyak daripada apa yang sudah diketahuinya. Disamping itu, tidaklah semua kebenaran yang diketahuinya itu secara otomatis dikehendaki oleh jiwa (hawa nafsu)-nya. Seandainya menghendakinya, tetap saja dia tidak mampu untuk mewujudkan banyak hal di dalamnya.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [1/25-26])

[6] Jalan Menggapai Hidayah

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan [menuju keridhaan] Kami. Dan sesungguhnya Allah akan bersama dengan orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. al-’Ankabut: 69)

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Allah mengaitkan antara hidayah dengan jihad/kesungguh-sungguhan. Ini artinya, orang yang paling besar hidayahnya adalah yang paling besar jihadnya. Sedangkan jihad yang paling wajib adalah jihad menundukkan jiwa dan berjuang mengendalikan hawa nafsu, berjihad melawan syaitan, dan berjihad melawan [ambisi] dunia. Maka barangsiapa yang berjihad melawan keempat hal ini akan Allah tunjukkan kepadanya jalan-jalan keridhaan-Nya yang akan mengantarkan kepada surga-Nya. Dan barangsiapa yang meninggalkan jihad itu maka dia akan kehilangan sebagian petunjuk sekadar dengan jihad/perjuangan yang dia abaikan.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir [4/518], al-Fawa’id, hal. 58)

[7] Pokok Kebahagiaan

 Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Allah Yang Maha Suci telah memberikan karunia dua perkara agung kepada anak cucu Adam. Kedua hal itu merupakan pokok kebahagiaan. Pertama; Setiap bayi yang terlahir berada di atas fitrah (tauhid). Setiap jiwa apabila dibiarkan begitu saja niscaya ia akan mengakui bahwasanya Allah adalah ilah/sesembahan baginya. Ia akan mencintai-Nya dan akan menyembah-Nya tanpa mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Akan tetapi karena adanya bisikan setan dari kalangan jin dan manusia satu sama lain itulah yang menyebabkan kebatilan di mata mereka menjadi tampak indah dan menawan. Kedua; Allah ta’ala telah memberikan petunjuk kepada umat manusia dengan bimbingan yang bersifat umum. Sehingga di dalam diri mereka secara fitrah telah terpatri pengenalan -kepada kebenaran- dan sebab-sebab guna meraih ilmu. Di samping itu, Allah juga menurunkan kitab-kitab suci dan mengutus para rasul sebagai pembimbing bagi mereka.” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 35)

[8] Marilah Kita Bercermin

 Saudaraku, sesungguhnya petunjuk kepada Islam, Sunnah, dan ketaatan adalah anugerah terbesar bagi umat manusia. Tidak ada yang lebih berharga daripada itu semua. Inilah kunci kebahagiaan hidup yang akan membukakan pintu keselamatan. Meskipun demikian, ternyata tidak sedikit orang yang belum bisa merasakan kelezatan dan kenikmatan hidayah ini dalam hidupnya. Orang-orang yang tenggelam dalam kekafiran, kebid’ahan, dan kemaksiatan. Mereka telah merubah dunia menjadi pentas dosa. Mereka pergunakan nikmat Allah untuk durhaka kepada Allah dan rasul-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua umatku akan masuk surga kecuali orang yang enggan.” Para sahabat pun bertanya, “Siapakah orang yang enggan itu wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Barangsiapa yang menaatiku dia akan masuk surga, dan barangsiapa yang durhaka kepadaku maka dia lah orang yang enggan.” (HR. Bukhari). Wallahul musta’aan.


http://buletin.muslim.or.id/nasehat/saat-hidayah-menyapa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar