Pada suatu hari, para sahabat sedang duduk bersama Nabi SAW.
Tiba-tiba terdengar seperti bunyi lebah di sekitar wajah Nabi. Lalu Nabi
menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya, seraya berdoa, “Ya Allah,
tambahkan kami dan jangan Engkau kurangkan. Muliakan, jangan Engkau hinakan.
Berikan, jangan Engkau halangi. Prioritaskan, jangan Engkau abaikan.”
Para sahabat pun bertanya-tanya, apa gerangan yang telah menimpa Nabi SAW?
Para sahabat pun bertanya-tanya, apa gerangan yang telah menimpa Nabi SAW?
Rasulullah SAW menjelaskan bahwa baru saja turun wahyu kepada
beliau. “Siapa bisa menegakkannya, ia bakal masuk surga.” Lalu beliau membaca
ayat, “Qad aflaha al-Mu`minun” sampai ayat ke-11 surah al-Mu'minun. (HR
Tirmizi dan Ahmad dari Umar bin Khattab).
Dalam kisah ini, terlihat dengan jelas bahwa para sahabat sangat antusius menyimak dan mendengarkan wahyu Allah. Mereka siap siaga menerima perintah. Keadaan mereka, demikian komentar Sayyid Quthb, mirip prajurit yang setiap saat siap siaga menerima perintah sang komandan.
Menurut Nabi SAW, ayat-ayat dari surah al-Mu`minun itu merupakan kunci atau jalan keberuntungan (thariq al-falah). Dalam 11 ayat tersebut terkandung setidak-tidaknya empat prinsip nilai yang menjadi pangkal kebahagiaan.
Pertama, prinsip iman (akidah). Keberuntungan diberikan Allah SWT hanya kepada orang-orang yang beriman. Namun, iman di sini, seperti dikemukakan Sayyid Quthb, bukan hanya kata-kata (kalimatun tuqal), melainkan kebenaran (haqiqah) yang memiliki tugas-tugas (dzatu takalif). Komitmen yang kuat kepada kebenaran disertai tindakan nyata, inilah iman yang sebenarnya.
Kedua, prinsip ibadah dan amal saleh yang ditunjukkan melalui ibadah shalat dan zakat. Shalat dan zakat merupakan bentuk taklif dari iman. Shalat bersifat vertikal dan memperkuat hubungan dengan Allah. Zakat berdimensi sosial dan memperkuat hubungan dengan sesama manusia. Dalam konteks ini, shalat menjadi pembuka semua ibadah (ayat ke-2) dan menjadi penutupnya sekaligus (ayat ke-9).
Ketiga, prinsip moral dan akhlak karimah yang ditunjukkan dengan sikap tepat janji, memelihara kehormatan diri, dan menjaga amanah. Dalam Islam, moral (akhlak) menjadi bagian integral dari iman. Rasul bersabda, “Manusia yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling mulia akhlaknya (ahsanuhum khuluqan).” (HR Tirmizi).
Keempat, prinsip disiplin dalam bekerja, sehingga produktif dan kompetitif. Orang yang beruntung adalah orang yang mampu menghindarkan diri dari kesia-siaan (al-laghwu). Menurut pakar tafsir Zamachsyari, lagha berarti sesuatu yang tak bernilai (ma la ya`ni-ka) atau yang tak masuk hitungan (ma la yu`taddu bih) baik berupa kata (laghw al-kalam) atau perbuatan (laghw al-`amal).
Disiplin kerja dilakukan dengan memanfaatkan seluruh waktu untuk kebaikan dan amal saleh. Mereka tidak pernah menyia-nyiakan waktu, tetapi mengelolanya (time management), bahkan menguasai (time mastery) dengan sebaik-baiknya.
Inilah jalan keberuntungan yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya. “Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (QS al-Mu`minun [23]: 10-11). Wallahu a`lam.
Dalam kisah ini, terlihat dengan jelas bahwa para sahabat sangat antusius menyimak dan mendengarkan wahyu Allah. Mereka siap siaga menerima perintah. Keadaan mereka, demikian komentar Sayyid Quthb, mirip prajurit yang setiap saat siap siaga menerima perintah sang komandan.
Menurut Nabi SAW, ayat-ayat dari surah al-Mu`minun itu merupakan kunci atau jalan keberuntungan (thariq al-falah). Dalam 11 ayat tersebut terkandung setidak-tidaknya empat prinsip nilai yang menjadi pangkal kebahagiaan.
Pertama, prinsip iman (akidah). Keberuntungan diberikan Allah SWT hanya kepada orang-orang yang beriman. Namun, iman di sini, seperti dikemukakan Sayyid Quthb, bukan hanya kata-kata (kalimatun tuqal), melainkan kebenaran (haqiqah) yang memiliki tugas-tugas (dzatu takalif). Komitmen yang kuat kepada kebenaran disertai tindakan nyata, inilah iman yang sebenarnya.
Kedua, prinsip ibadah dan amal saleh yang ditunjukkan melalui ibadah shalat dan zakat. Shalat dan zakat merupakan bentuk taklif dari iman. Shalat bersifat vertikal dan memperkuat hubungan dengan Allah. Zakat berdimensi sosial dan memperkuat hubungan dengan sesama manusia. Dalam konteks ini, shalat menjadi pembuka semua ibadah (ayat ke-2) dan menjadi penutupnya sekaligus (ayat ke-9).
Ketiga, prinsip moral dan akhlak karimah yang ditunjukkan dengan sikap tepat janji, memelihara kehormatan diri, dan menjaga amanah. Dalam Islam, moral (akhlak) menjadi bagian integral dari iman. Rasul bersabda, “Manusia yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling mulia akhlaknya (ahsanuhum khuluqan).” (HR Tirmizi).
Keempat, prinsip disiplin dalam bekerja, sehingga produktif dan kompetitif. Orang yang beruntung adalah orang yang mampu menghindarkan diri dari kesia-siaan (al-laghwu). Menurut pakar tafsir Zamachsyari, lagha berarti sesuatu yang tak bernilai (ma la ya`ni-ka) atau yang tak masuk hitungan (ma la yu`taddu bih) baik berupa kata (laghw al-kalam) atau perbuatan (laghw al-`amal).
Disiplin kerja dilakukan dengan memanfaatkan seluruh waktu untuk kebaikan dan amal saleh. Mereka tidak pernah menyia-nyiakan waktu, tetapi mengelolanya (time management), bahkan menguasai (time mastery) dengan sebaik-baiknya.
Inilah jalan keberuntungan yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya. “Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (QS al-Mu`minun [23]: 10-11). Wallahu a`lam.
Oleh Dr A Ilyas Ismail
**********************************
Catatan :
“Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.” Huud:108
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” Thahaa:124
Ketika kita istiqomah dalam memegang ajaran agama Allah swt,
maka kita akan merasakan keamanan dan kenyamanan yang luar biasa. Bahkan surga
Allah swt. menanti di akhirat kelak. Rasa aman dan tentram dalam hidup adalah
tanda kebahagian seseorang.
Rasulullah saw. juga bersabda:
Dari Anas bin Malik berkata:
“Rasulullah saw. bersabda:
“Barang siapa yang menjadikan akhirat tujuannya maka Allah akan
menjadikan kekayaan dalam hatinya, memudahkan segala urusannya dan dunia akan
datang kepadanya dengan hina (tidak pernah menguasai hati, semakin kaya semakin
bersyukur-pen). Dan barang siapa yang menjadikan dunia tujuannya, maka Allah
akan meletakkan kefakirannya di antara kedua matanya, mencerai-beraikan segala
urusannya dan dunia tidak akan datang kecuali hanya sekedarnya.” (Imam At-tirmizi)
Imam Ibnu Qoyyim –
rahimahullah – mengklasifikasikan kebahagian yang mempengaruhi suasana jiwa
seseorang menjadi tiga.
Pertama : kebahagian yang berkaitan dengan eksternal. Yaitu bahagia dengan harta yang berada di luar diri manusia. Ia bahagaia ketika mendapatkan kekayaan. Inilah kebahagian yang disebut dengan “ladzdzah wahmiah khayaliah” (kebahagiaan semu). Dan ketika ia bahagia membelanjakan hartanya untuk memenuhi syahwatnya yang dilarang, maka inilah yang disebut “ladzdzah bahimiah” (kebahagiaan dan kenikmatan hewani).
Kedua : kebahagiaan yang berkaitan dengan nikmat badaniah. Bahagia dengan kesehatan yang prima, bahagia dengan kesempurnaan ciptaannnya, bahagia dengan kecantikan dan kemolekan tubuhnya dan nikmat badaniah yang lain. Ini juga termasuk kebahagiaan yang semu.
Alangkah indahnya ungkapan penyair Arab:
“Wahai pelayan jasad, berapa banyak kamu sengsara dalam melayani. Kamu hanya dengan ruh bukan dengan jasad, disebut manusia.”
Ketiga : adalah kebahagiaan yang sebenarnya. Kebahagian dunia akhirat. Kebahagiaan abadi dan hakiki. Kebahagiaan yang kita dambakan semua. Yaitu kebahagiaan yang bersumber dari nilai-nilai ketaatan kepada Allah swt.
Pertama : kebahagian yang berkaitan dengan eksternal. Yaitu bahagia dengan harta yang berada di luar diri manusia. Ia bahagaia ketika mendapatkan kekayaan. Inilah kebahagian yang disebut dengan “ladzdzah wahmiah khayaliah” (kebahagiaan semu). Dan ketika ia bahagia membelanjakan hartanya untuk memenuhi syahwatnya yang dilarang, maka inilah yang disebut “ladzdzah bahimiah” (kebahagiaan dan kenikmatan hewani).
Kedua : kebahagiaan yang berkaitan dengan nikmat badaniah. Bahagia dengan kesehatan yang prima, bahagia dengan kesempurnaan ciptaannnya, bahagia dengan kecantikan dan kemolekan tubuhnya dan nikmat badaniah yang lain. Ini juga termasuk kebahagiaan yang semu.
Alangkah indahnya ungkapan penyair Arab:
“Wahai pelayan jasad, berapa banyak kamu sengsara dalam melayani. Kamu hanya dengan ruh bukan dengan jasad, disebut manusia.”
Ketiga : adalah kebahagiaan yang sebenarnya. Kebahagian dunia akhirat. Kebahagiaan abadi dan hakiki. Kebahagiaan yang kita dambakan semua. Yaitu kebahagiaan yang bersumber dari nilai-nilai ketaatan kepada Allah swt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar