Sabtu, 16 Mei 2009

Keberanian Sejati

“Tidak semua orang memiliki keberanian sejati. Tahukah anda apakah keberanian sejati itu? Keberanian sejati adalah sikap bersedia dikoreksi bila salah dan siap menerima kebenaran meskipun dari orang yang memiliki kedudukan lebih rendah.”


Berkata memang mudah. Namun untuk mempraktekkan apa yang diucapkan butuh pengorbanan yang besar. Bahkan terkadang harus dengan taruhan nyawa. Orang yang berbicara dengan kata yang diolah demikian rupa dan disusun rapi dan indah sehingga mampu membuat orang terkesima, biasanya mudah diacungi jempol dan dianggap sebagai orang “hebat”. Walaupun dalam kesempatan lain dia melanggar dan menelan perkataannya sendiri.

Bila penilaian untuk menjadikan seseorang sebagai murabbi (pembimbing) cukup dengan perkataan yang membuat umat terkesima, maka sadarilah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah mengingatkan kepada Rasul-Nya agar berhati-hati dari orang demikian (artinya):
“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta.” (Al An’am: 116)

“Maka berpalinglah (wahai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan kami, dan tidak menginginkan melainkan kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka.” (An Najm: 29-30)


Engkau jangan merasa aman dan terlalu percaya diri, terlebih angkuh dan sombong. Telah berlalu suri tauladan yang buruk yang bisa kita jadikan pelajaran. Sebuah kejadian yang menimpa orang-orang yang memiliki ilmu bagaikan gunung menjulang setinggi langit, ibadah yang kuat, zuhud, qana’ah, dan sifat-sifat mulia yag lain yang menghiasi bajunya. Namun dia harus menanggalkan kemuliaannya itu di hadapan seorang wanita yang kurang dan lemah akalnya. Dialah ‘Imran bin Haththan (salah seorang tokoh Sunni, namun setelah menikah dengan puteri pamannya, seorang wanita Khawarij, justru dia menjadi tokoh Khawarij. Bahkan dia memuji Ibnu Muljim pembunuh Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu).
Oleh karena itu dengarlah bimbingan Allah subhanahu wa ta’ala kepada Rasul-Nya (artinya):
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan senja hari dengan mengharap wajah-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.”
(Al Kahfi: 28)


Semoga dengan peringatan ayat-ayat ini engkau terbangun dari tidur lalu bergegas menuju orang-orang yang menginginkan keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Duduk bersama mereka adalah bimbingan dan keselamatan. Dan keselamatan diri dan agama tidak bisa ditukar oleh apapun juga.


Setan Bersama Orang yang Menyendiri

Serigala akan berani menerkam apabila seekor kambing melepaskan diri dari kelompoknya dan berjalan penuh percaya diri tanpa peduli. Ingatlah, di hadapanmu ada yang lebih tinggi dari dirimu.

Ingatkah engkau ketika iblis dengan penuh kesabaran merayu bapak dan ibu kita Adam dan Hawa yang pada akhirnya keduanya harus menelan kepahitan hidup di atas ujian yang tadinya di atas kehidupan yang diliputi rahmat dan nikmat Allah subhanahu wa ta’ala. Engkau tidak akan bisa menyamai Nabi Adam Alaihissalam. Oleh karena itu, kembalilah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan berjalan bersama orang-orang yang mengejar ridha Allah subhanahu wa ta’ala dan mencari keselamatan dari-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan bahayanya menyendiri dalam bermalam dan berjalan ketika safar.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk menyendiri ketika bermalam dan menyendiri ketika safar.” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani di dalam Ash Shahihah)

“Pengendara seorang diri (adalah) pelaku maksiat, dua pengendara (adalah) dua pelaku maksiat, dan tiga pengendara itulah pengendara yang benar.” (HR. Malik, Abu Dawud, At Tirmidzi, dan lain-lain dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash).

Al Imam Ath Thabari mengatakan: “Peringatan ini merupakan adab dan bimbingan dikarenakan kengerian yang akan dialami ketika sendirian dan bukan haram hukumnya. Seseorang yang berjalan di padang sahara seorang diri atau orang yang bermalam seorang diri tidak akan aman dari kengerian, terlebih kalau dia memiliki pemikiran yang jelek atau memiliki hati yang lemah. Yang benar adalah, manusia dalam permasalahan ini berbeda-beda keadaannya.

Adanya larangan dan peringatan tersebut untuk menutup kemungkinan-kemungkinan di atas. Oleh karena itu, dibenci (makruh) melakukan safar seorang diri dengan tujuan menutup pintu-pintu (kejahatan tersebut). Dan dibencinya dua orang lebih ringan dibanding dengan menyendiri. (Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, 1/132)

Demikian hakikat perjalanan di dunia bila menyendiri, akan dihantui marabahaya yang tidak kecil bahkan akan mengancam keselamatan. Bagaimana lagi kalau melakukan perjalanan menuju Allah ta’ala, sebagai persinggahan akhir dan terakhir. Haruskah kita melepaskan diri dari jalan orang yang beriman (para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)? Berjalan seorang diri dengan penuh keberanian menantang dan melanggar pagar yang telah dibuat Allah Azza wa Jalla? Bukankah marabahaya yang mengancam (di akhirat) akan lebih besar dan dahsyat dibandingkan dengan bahaya yang mengancam di dunia? Bukankah kobaran api yang menyala dengan bahan bakar manusia dan batu itu lebih mengerikan?

Keberanian Menerima Kebenaran adalah Keberanian Yang Sejati

Guru teladan adalah guru yang siap menerima nasihat apabila salah dan siap kembali kepada kebenaran apabila tersesat tanpa menggugat kebenaran itu dan tanpa meremehkan siapa yang membawanya. Kebenaran adalah modal keselamatan, dan kebenaran itu lebih berharga daripada kita. Kebenaranlah yang menjadi akhir dari setiap usahanya. Dari itu ia menjunjung tinggi amanat Allah Azza wa Jalla ketika Dia mengatakan (artinya):
“Demi masa, seusungguhnya manusia dalam keadaan merugi. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran.” (Al ‘Ashr: 1-3)

Mengangkat nasehat dalam kebenaran menjadi tujuan yang meliputi lubuk hatinya. Kapan saja dia mendengar kebenaran dan dimana menemukannya, dia segera mengambil dan berpegang dengannya.

“Agama ini adalah nasihat.” Kami mengatakan: “bagi siapa?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bagi Allah Subhanahu wa ta’ala, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan orang awam mereka.” (HR. Muslim)

Dalam buku Qawa’id wa Fawaid (hal. 95) disebutkan:
“Cukup bagi seseorang berada dalam kemuliaan ketika dia melaksanakan apa yang telah dipukul oleh makhluk Allah ta’ala yang mulia dari kalangan para nabi dan rasul. Nasehat merupakan sebab yang membuat tinggi derajat para nabi. Maka barangsiapa yang menginginkan ketinggian dalam penilaian Rabb langit dan bumi, hendaklah dia melaksanakan tugas yang mulia ini.”

Pembimbing teladan adalah orang yang berusaha menjauhkan diri dari sifat:
“Menolak kebenaran dan mengentengkan orang lain.”
(HR. Muslim)

Keberanian dan sikap tegas dalam menerima kebenaran adalah keberanian yang terpuji dan sejati. Allah ta’ala mensifati kaum yang beriman dengan firman-Nya (artinya):
“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dengan keputusan yang kamu berikan dan mereka menerima sepenuhnya.” (An Nisa: 65)

“Sesungguhnya jawaban orang-orang yang beriman bila mereka dipanggil kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya agar Rasul menghukumi (mengadili) diantara mereka ialah ucapan: “Kami mendengar dan kami patuh.” Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An Nur: 51)

“Dan tetaplah memberi peringatan karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz Dzariyat: 55)

Ibnu Katsir mengatakan: “Sesungguhnya peringatan (nasihat) itu akan bermanfaat bagi hati yang beriman.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/238)

Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di mengatakan: “Allah subhanahu wa ta’ala memberitakan bahwa peringatan tersebut akan bermanfaat bagi orang yang beriman karena pada diri mereka ada keimanan, rasa takut, taubat dan mengikuti ridha Allah subhanahu wa ta’ala, yang semua itu mengharuskan peringatan tersebut bermanfaat baginya, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala (artinya):
“Oleh sebab itu berilah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat. Orang-orang yang takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala akan mendapat pelajaran, orang-orang yang kafir dan celaka akan menjauhinya.” (Al A’la: 9-11)

Adapun yang tidak memiliki iman dan tidak ada kesiapan untuk menerima peringatan, maka peringatan kepadanya tidak akan bermanfaat bagaikan tanah tandus yang hujan pun tidak akan bermanfaat baginya sedikitpun. Golongan ini apabila datang kepada mereka ayat Allah subhanahu wa ta’ala mereka tidak beriman dengannya sampai mereka melihat adzab yang pedih.” (Taisirul Karimirrahman, hal. 755)
Wallahu a’lam bishshowab.

Penulis: Al Ustadz Adurrahman Lombok

Referensi : Buletin Islam AL ILMU Edisi 53 / I / III / 1426
Dikutip dari Majalah As Syari’ah edisi Vol. I/No.07/1425 H/2004 oleh Al Ustadz Adurrahman Lombok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar