Jumat, 08 Mei 2009

Laksamana Cheng Ho Penjelajah Muslim Hebat dari Tiongkok


Sekitar tahun 1930-an, sejarah kehebatan seorang laksamana laut asal Tiongkok pada abad ke-15 mulai terkuak. Adalah batu prasasti di sebuah kota di Provinsi Fujian, Cina yang bersaksi dan mengisahkan jejak perjalanan dan petualangan seorang pelaut andal dan tangguh bernama Cheng Ho atau Zheng He.

Catatan perjalanan dan penjelajahan yang luar biasa hebatnya itu tak hanya memiliki arti penting bagi bangsa Cina. Jejak hidup Laksamana Cheng Ho juga begitu berarti bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. Seperti halnya, petualang hebat dari Maroko, Ibnu Battuta, Cheng Ho pernah singgah di Nusantara dalam ekspedisinya.

Matt Rosenberg, seorang ahli geografi terkemuka dunia mengungkapkan, ekspedisi laut yang dipimpin Cheng Ho telah dilakukan 87 tahun sebelum penjelajah kebanggaan Barat, Christopher Columbus, mengarungi luasnya samudera biru. Tak hanya itu, ekspedisi arung samudera yang dilakukan Cheng Ho juga jauh lebih awal dari penjelajah asal Portugis, Vasco da Gama dan petualang asal Spanyol, Ferdinand Magellan.

Petualangan antarbenua yang dipimpin Cheng Ho selama 28 tahun (1405 M -1433 M) itu berlangsung dalam tujuh kali pelayaran. Menurut Rosenberg, tak kurang dari 30 negara di benua Asia dan Afrika disinggahi Cheng Ho. Jarak tempuh ekspedisi yang dipimpin Cheng Ho beserta pengikutnya mencapai 35 ribu mil.

Dalam batu prasasti yang ditemukan di Provinsi Fujian itu, Cheng Ho mengatakan bahwa dirinya diperintahkan kaisar Dinasti Ming untuk berlayar mengarungi samudera menuju negara-negara di luar horizon. Dalam ekspedisinya mengelilingi benua Afrika dan Asia itu, Cheng Ho mengerahkan armada raksasa dengan puluhan kapal besar dan kapal kecil serta puluhan ribu awak.

Pada ekspedisi pertama, ia mengerahkan 62 kapal besar dan belasan kapal kecil yang digerakkan 27.800 ribu awak. Pada pelayaran ketiga, Cheng Ho menurunkan kapal besar sebanyak 48 buah dengan 27 ribu awak. Sedangkan pada pelayaran ketujuh, tak kurang dari 61 kapal besar dikerahkan dengan awaknya mencapai 27.550 orang. Padahal, ekspedisi yang dilakukan Columbus saat menemukan benua Amerika hanya mengerahkan tiga kapal dengan awak mencapai 88 orang.

Sebuah ekspedisi yang benar-benar dahsyat. Dalam setiap ekspedisi itu, secara khusus Cheng Ho menumpangi 'kapal pusaka'. Sebuah kapal terbesar pada abad ke-15 M. Betapa tidak, panjangnya saja mencapai 138 meter dan lebarnya sekitar 56 meter. Ukuran kapal yang digunakan Cheng Ho untuk menjelajah samudera itu lima kali lebih besar dibanding kapal Columbus.

Menurut sejarawan, JV Mills kapasitas `kapal pusaka' itu mencapai 2.500 ton. Pencapaian gemilang Cheng Ho melalui ekspedisi lautnya pada abad ke-15 M menunjukkan betapa peradaban Cina telah memiliki kapal-kapal besar serta kemampuan navigasi untuk menjelajahi dunia. Anehnya, keberhasilan yang dicapai Cheng Ho itu tak diikuti dengan ekspedisi berikutnya.

''Cheng Ho terlahir sekitar tahun 1371 M di Provinsi Yunan sebelah baratdaya Cina," ungkap Rosenberg. Nama kecilnya adalan Ma Ho. Dia tumbuh dan dibesarkan dalam sebuah keluarga Muslim. Apalagi, sang ayah pernah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci, Makkah. Menurut Rosenberg, nama keluarga Ma digunakan oleh keluarga Muslim di Tiongkok merujuk pada Muhammad.

Ketika berusia 10 tahun (1381 M), Ma Ho kecil dan anak-anak yang lain ditangkap tentara Cina yang menginvasi wilayah Yunan. Pada usia 13 tahun, dia dan tahanan muda lainnya dijadikan pelayan rumah tangga Pangeran Zhu Di - anak keempat kaisar Cina. Namun, Ma Ho menjadi pelayan khusus Pangeran Zhu Di.

Pergaulannya dengan pangeran, membuat Ma Ho menjadi pemuda yang tangguh. Dia jago berdiplomasi serta menguasai seni berperang. Tak heran, bila dia kemudian diangkat menjadi pegawai khusus pangeran. Nama Ma Ho juga diganti oleh Pangeran Zhu Di menjadi Cheng Ho. Alasannya, kuda-kuda milik abdi (kasim) kaisar terbunuh dalam pertempuran di luar Istana yang dinamakan Zhenglunba.

"Cheng Ho juga dikenal sebagai San Bao yang berarti `tiga mutiara','' papar Rosenberg. Cheng Ho yang memiliki tinggi badan sekitar tujuh kaki, posisinya kian menguat ketika Zhu Di diangkat menjadi kaisar pada 1402. Cheng Ho pun lalu didaulat menjadi laksamana dan diperintahkan untuk melakukan ekspedisi. Cheng Ho, merupakan abdi istana pertama yang memiliki pososi yang tinggi dalam militer Cina.

Ekspedisi pertama Cheng Ho dilakukan pada tahun 1405 M - 1407 M. Sebelum memulai ekspedisinya, rombongan besar itu menunaikan shalat terlebih dulu di sebuah masjid tua di kota Quanzhou (Provinsi Fujian). Pelayaran pertama ini mampu mencapai Caliut, barat daya India dan sampai di wilayah Asia Tenggara: Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Vietnam, Srilangka. Di setiap persinggahan armada itu melakukan transaksi dengan cara barter.

Tahun 1407 M - 1409 M ekspedisi kedua kembali dilakukan, namun Cheng Ho tak ikut memimpin ekspedisi ini, dia tetap di Cina merenovasi masjid di kampung halamannya. Ekspedisi ketiga digelar pada 1409 M - 1411 M menjangkau India dan Srilanka. Tahun 1413 M - 1415 M kembali melaksanakan ekspedisi, kali ini mencapai Aden, Teluk Persia, dan Mogadishu (Afrika Timur). Jalur ini diulang kembali pada ekspedisi kelima (1417M - 1419 M) dan keenam (1421 M - 1422 M). Ekspedisi terakhir (1431 M- 1433 M) berhasil mencapai Laut Merah.

Ekspedisi luar biasa itu tercatat dan terekam dalam buku Zheng He's Navigation Map yang mampu mengubah peta navigasi dunia sampai abad ke-15. Dalam buku ini terdapat 24 peta navigasi mengenai arah pelayaran, jarak di lautan, dan berbagai pelabuhan. Jalur perdagangan Cina berubah, tidak sekadar bertumpu pada 'Jalur Sutera' antara Beijing-Bukhara.

Tak ada penaklukan dalam ekspedisi itu. Sejarawan Jeanette Mirsky menyatakan, ekspedisi bertujuan untuk memperkenalkan dan mengangkat nama besar Dinasti Ming ke seluruh dunia. Kaisar Zhu Di berharap dengan ekspedisi itu, negara-negara lain mengakui kebesaran Kaisar Cina sebagai The Son of Heaven (Putra Dewata. Tindakan militer hanya diterapkan ketika armada yang dipimpinnya menghadapi para perompak di laut. Cheng Ho tutup usia di Caliut, India ketika hendak pulang dari ekspedisi ketujuh pada 1433 M. Namun, ada pula yang menyatakan dia meninggal setelah sampai di Cina pada 1435. Setiap tahun ekspedisinya selalu dikenang.


Laksamana Muslim yang Taat

Sebagai seorang Muslim taat, Ramadhan adalah bulan yang dinanti-natikan kedatangnya oleh Ceng Ho. Dalam sebuah catatan, pada 7 Desember 1411 M sesudah melakukan pelayarannya yang ketiga, Ceng Ho sempat mudik ke kampungnya, Kunyang untuk berziarah ke makam ayahnya. Saat Ramadhan tiba, Cheng Ho memilih berpuasa di kampungnya yang senantiasa semarak.

Dia pun tenggelam dalam kegiatan keagamaan sampai Idul Fitri tiba. Dalam kurun waktu 1405-1433, Cheng Ho memang sempat terdampar di kepulauan Nusantara selama tujuh kali. Ketika berkunjung ke Samudera Pasai, dia menghadiahi lonceng raksasa Cakradonya kepada Sultan Aceh.

Ia juga sempat mampir di Pelabuhan Bintang Mas kini Tanjung Priok. Tahun 1415 M mendarat di Muara Jati (Cirebon). Beberapa cindera mata khas Tiongkok dipersembahkan kepada Sultan Cirebon. Sebuah piring bertuliskan Ayat Kursi saat ini masih tersimpan baik di Kraton Kasepuhan Cirebon.

Ketika menyusuri Laut Jawa, Wang Jinghong (orang kedua dalam armada itu), sakit keras. Sauh segera dilempar di pantai Simongan, Semarang. Mereka tinggal di sebuah goa, sebagian lagi membuat pondokan. Wang yang kini dikenal dengan sebutan Kiai Jurumudi Dampo Awang, akhirnya menetap dan menjadi cikal bakal keberadaan warga Tionghoa di sana.

Wang juga mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung (disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong), serta membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu. Perjalanan dilanjutkan ke Tuban (Jawa Timur). Kepada warga pribumi, Cheng Ho mengajarkan tatacara pertanian, peternakan, pertukangan, dan perikanan. Hal yang sama juga dilakukan sewaktu singgah di Gresik.

Lawatan dilanjutkan ke Surabaya. Tepat di hari Jumat, dan Cheng Ho mendapat kehormatan menyampaikan khotbah di hadapan warga Surabaya yang jumlahnya mencapai ratusan orang. Kunjungan dilanjutkan ke Mojokerto yang saat itu menjadi pusat Kerajaan Majapahit. Di kraton, Raja Majapahit, Wikramawardhana, berkenan mengadakan audiensi dengan rombongan bahariwan Tiongkok ini.

Beberapa sejarawan meyakini bahwa petualang sejati ini sudah menunaikan ibadah haji. Memang tak ada catatan sejarah yang membuktikan itu, tapi pelaksanaan haji kemungkinan dilakukan saat ekspedisi terakhir (1431 M -1433 M). Saat itu rombongannya memang singgah di Jeddah. Menunaikan ibadah haji merupakan impian dan obsesinya. Sampai-sampai ia mengutus Ma Huan pergi ke Mekah agar melukiskan Ka'bah untuknya.


Prof Susanto Zuhdi, Sejarawan: Cheng Ho, Pahlawan Budaya

Ekspedisi yang dilakukan Laksamana Cheng Ho pada abad ke-15 M dilakukan dengan dua misi, yakni perdagangan dan penyebaran Islam. Saya tak melihat adanya misi penaklukkan dalam ekspedisi yang dilakukan Ceng Ho sebanyak tujuh kali itu. Sebab, sampai sekarang belum ditemukan adanya bekas-bekas kekuasaan Ceng Ho.

Ekspedisi yang dilakukan Ceng Ho ke wilayah Nusantara, khususnya Jawa memang sungguh menarik. Ceng Ho melakukan pendekatan kultural setiap kali mendatangi wilayah yang ditujunya. Sehingga, kedatangannya selalu diterima dengan tangan terbuka oleh penduduk lokal.

Yang menarik, justru kebudayaan yang dibawa melalui misi ekspedisi Ceng Ho itu diadaptasi masyarakat lokal. Setelah itu, masyarakat mewarnai kebudayaan yang dibawa Ceng Ho itu dengan budaya lokal yang lebih kental. Misalnya saja, di Semarang, sosok laksamana itu menjadi Sam Po Kong. Tak heran, jika kemudian dia dianggap masyarakat lokal sebagai pahlawan.

Menurut saya, Ceng Ho itu semacam pahlawan kebudayaan. Sebab, melalui ekspedisi yang dilakukannya, dia telah membawa semacam semangat persaudaraan antarbangsa. Melalui ekspedisi yang dilakukannya telah terjadi semacam pertemuan budaya. Perjalanan Ceng Ho itu membawa semangat keterbukaan, meski berbeda etnis namun kehediarannya dapat diterima.

Ceng Ho adalah sosok laksamana yang memiliki kepemimpinan yang luar biasa. Dalam setiap ekspedisi yang dipimpinnya, dia bisa memimpin ribuan orang dengan sukses. Kemampuan dalam mengelola dan memimpin ekspedisi besar itu memang sungguh luar biasa.

Ceng Ho bukanlah orang Cina pertama yang datang ke Nusantara. Sebab, pada abad ke-9 M, sudah ada orang-orang Cina yang belajar mengenai agama Budha di Kerajaan Sriwijaya, Palembang. Meski begitu, ada semacam pesan penting yang diambil dari ekspedisi Ceng Ho yang salah satunya datang ke wilayah Nusantara itu.

Pesan penting yang dibawa Ceng Ho bagi bangsa Indonesia adalah semangat kemaritiman. Ekspedisi Ceng Ho mestinya menjadi modal bagi bangsa ini untuk kembali membangkitkan nilai-nilai kemaritiman. Saya melihat ada semacam kejumudan dalam nilai-nilai kemaritiman pada bangsa ini. Semangat kemaritiman tampaknya kini sudah nyaris terlupakan. Padahal, nenek moyang bangsa Indonesia adalah para pelaut dan penjelajah yang tak kalah hebat, jauh sebelum Cheng Ho berekspedisi. Sayangnya, memang perjalanan para pelaut Nusantara tak terlacak, karena tak tercatat. Ekspedisi Ceng Ho ini mestinya membangkitkan kembali semangat kemaritiman bangsa.

By Republika Newsroom
Sabtu, 28 Februari 2009 pukul 19:26:00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar