Senin, 08 Maret 2010

Pemimpin Bijak



Islam menganjurkan kita untuk memilih pemimpin yang bijak dan cerdas. Sejarah mencatat bahwa raja-raja yang bijak dan cerdas selalu berhasil mengembangkan kerajaannya sehingga rakyatnya hidup aman dan makmur.

Sebaliknya, raja-raja yang lalim dan tidak cerdas selalu gagal mengembangkan kerajaannya. Raja atau pemimpin yang seperti ini hanya membawa kehancuran pada rakyat, bangsa, dan kerajaannya. Dinasti Umayyah dan Abbasiah mencapai masa keemasannya ketika dipimpin oleh pemimpin yang cerdas dan bijak. Tetapi, dengan cepat mengalami kemunduran ketika para pemimpinnya korup.

Dalam buku Turatsuna al Fikr, Syeikh Ghazali menerangkan bahwa kehancuran Dinasti Abbasiah di tangan bangsa Mongol lebih disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat moral daripada teknis. Dari segi jumlah pasukan dan perlengkapan, pasukan Abbasiah lebih banyak dan lengkap.Namun, dari segi kualitas hidup, kondisi mereka sangat memprihatinkan. Tentara Abbasiah hanya digaji beberapa dirham per bulan, namun pada saat yang sama, anggota keluarga khalifah menghabiskan ribuan dinar per hari untuk berpesta dan hidup mewah.

Ketika Abbasiah ditaklukkan, pasukan Mongol menemukan puluhan sumur yang penuh berisi emas permata. Dikatakan, nilai satu sumur saja cukup untuk membiayai pembangunan satu istana megah. Sangat kontras dengan kondisi pasukannya yang hidup prihatin sehingga kehilangan semangat untuk mempertahankan bangsa dan negara. Dari fakta sejarah ini, kita bisa melihat peran penting seorang pemimpin dalam membawa kemajuan atau kehancuran bangsanya.

Untuk konteks Indonesia, tak diragukan lagi bahwa kita sangat memerlukan pemimpin negara yang cerdas dan bijak. Jumlah penduduk yang begitu banyak di negeri ini tentu saja membawa permasalahan yang sangat kompleks. Ada banyak pertentangan karena perbedaan paham dan kepentingan. Kualifikasi seorang pemimpin yang bijak dan cerdas itu sering disebut sebagai seorang yang ahli. Sebagaimana yang telah diingatkan Nabi SAW, suatu bangsa atau kaum akan mengalami kehancuran jika mereka menyerahkan urusan dan amanahnya kepada orang yang bukan ahlinya.

Ahli dalam suatu urusan artinya mampu melaksanakan hak dan kewajibannya dengan baik. Kemampuan tersebut tidak hanya bergantung pada aspek intelektualitas, tapi juga moralitas. Sebab, banyak orang yang cerdas, namun lalai menunaikan kewajibannya karena kurangnya moral. Dalam konteks ini, kita bisa menyimpulkan bahwa keahlian harus didasarkan pada aspek intelektualitas dan moralitas. Dengan itulah, segala urusan kita insya Allah akan tertangani dengan baik.

http://www.republika.co.id/berita/105894/pemimpin-bijak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar