Selasa, 30 Maret 2010

Pondasi Itu Bernama Keluarga


“Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar” (Al-Anfal: 28)

Kehidupan keluarga disamping menjadi salah satu dari sekian banyak tanda-tanda kebesaran Allah, juga merupakan nikmat yang patut disyukuri dan dijadikan sarana meraih kebaikan dan pahala yang besar di sisi Allah. Allah swt berfirman:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Ar-Rum: 21). 

Dalam ayat yang lain Allah berfirman:

“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”. (Al-Isra’: 72).

Untuk itu, harga mahal keberlangsungan sebuah rumah tangga mutlak dipertaruhkan karena memang dari sebuah institusi yang baik akan lahir alumni generasi yang baik pula. Allah berpesan untuk terlebih dahulu mempertahankan institusi ini:

“Dan bergaullah dengan mereka(istri-istri) secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak“. (An-Nisa’: 19)

Menurut Sayyid Quthb ayat ini merupakan sentuhan jiwa yang menenangkan hati dari gejolak amarah dan akan mampu memadamkan api kebencian sehingga mengembalikan kehidupan rumah tangga kepada ketenangan dan kedamaiannya semula seperti yang dicita-citakan oleh Islam. Ayat ini juga secara implisit mengisyaratkan bahwa merupakan hal yang lumrah terjadi suatu saat secara emosional perasaan benci dan sebagainya yang terkadang turut memperkeruh suasana rumah tangga, namun keutuhan sebuah rumah tangga merupakan kata kunci yang tidak bisa ditolerir untuk membangun kehidupan keluarga yang baik.

Mustahil akan lahir anggota keluarga yang baik dari institusi rumah tangga yang rusak dan tidak mampu mempertahankannya.

Dalam bahasa Ibnu Asyur, Keluarga selain bisa menjadi Asbabul Ujur (peluang dan sarana mendapatkan pahala), ia juga bisa menjadi Asbabul A’tsam (peluang dan sarana menerima dosa) jika terjadi pengabaian akan tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam kehidupan keluarga. Untuk itu, institusi ini termasuk yang mendapat perhatian besar Al-Qur’an.

Tercatat wanti-wanti Al-Qur’an tentang keberadaan keluarga, yaitu tentang anak dan istri yang bisa menjadi fitnah dalam arti ujian dan cobaan. Allah swt berfirman tentang kenyataan ini yang diawali oleh ayat di atas yang redaksinya mirip dengan surah At-Taghabun: 15 dan surah Al-Munafiqun: 9. Bahkan keberadaan mereka dalam keluarga bisa menjadi musuh yang menghalangi seseorang dari mentaati perintah Allah swt:

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya di antara Isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (At-Taghabun: 14)

Tentu agar keberadaan keluarga tersebut menjadi pundi kebaikan dan pahala dari Allah, maka ‘tarbiyah’ dalam arti yang luas merupakan pondasi dasar yang harus senantiasa ditingkatkan dan dipertahankan dalam keadaan bagaimanapun. Begitulah urgensi pesan Ya’qub terhadap keadaan keberagamaan keluarganya pasca ketiadaannya nanti:

“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia Berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan kami Hanya tunduk patuh kepada-Nya“. (Al-Baqarah: 133).

Justru kegundahan dan perhatian Ya’qub terhadap anak keturunannya adalah bagaimana sikap keberagamaan mereka pasca kewafatannya kelak. Kekhawatiran beliau tidak tentang kehidupan ekonomi mereka dan lain sebagainya -meskipun ini juga merupakan bagian dari isyarat pesan Allah dalam firman-Nya:

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak keturunan yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar“. (An-Nisa’: 9) 


Namun tentang suatu yang sangat vital dalam kehidupan manusia, yaitu tentang sikap dan pengamalan mereka akan ‘Ubudiyah’ kepada Allah dalam dimensinya yang luas yang tercermin dalam perjalanan tarbiyah atau pendidikan dalam kehidupan keluarga.

Dalam konteks ini, keluarga ‘tarbiyah’ harus punya perhatian yang serius tentang program penjagaan dan perawatan diri dan seluruh anggota keluarga dari jilatan api neraka.

Inilah program inti dan unggulan dari sebuah rumah tangga yang dibangun di atas dasar iman. Karena hanya keluarga yang beriman yang memiliki kepedulian tentang aspek ini seperti yang difahami dari mafhum khitab ayat:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan“. (At-Tahrim: 6).

Ibnu Mas’ud ra memahami ayat yang diawali dengan khitab khusus untuk orang yang beriman sebagai sebuah ujian akan komitmennya dengan segenap perintah dan larangan Allah swt. Beliau merumuskan satu kaidah yang bijak tentang ayat yang diawali dengan seruan ‘Hai orang-orang yang beriman’:

“Jika kalian membaca atau mendengar ayat Al-Qur’an yang diawali dengan ungkapan ‘Hai orang-orang yang beriman’ maka perhatikanlah betul-betul pesan Allah setelahnya. Karena tidak ada kalimat setelahnya melainkan sebuah kebaikan yang diperintahkan untuk kita melakukannya maupun sebuah keburukan yang Allah cegah kita darinya”.

Ayat ini jelas memerintahkan agar objek kepedulian itu diarahkan secara prioritas tentang keberagamaan dan tarbiyah dalam keluarga, tentang program yang mendekatkan mereka ke dalam syurga dan menjauhkannya dari neraka. Inilah keluarga ideal dan sukses pada kacamata surah At-Tahrim yang menurut Sayyid Quthb sarat dengan penjelasan tentang keadaan keluarga Rasulullah saw. sebagai teladan keluarga sepanjang zaman.

Demikianlah program unggulan keluarga Ya’qub as. seperti yang difahami dari pesan beliau kepada seluruh anak-anaknya: “Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya“. (Al-Baqarah: 133).

Juga perhatian Ibrahim terhadap keluarganya seperti yang tersebut dalam salah satu doanya yang diabadikan oleh Allah dalam firmanNya: “Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku“. (Ibrahim: 40).

Jelas nabi Ibrahim dan nabi Ya’qub sangat faham bahwa kebaikan individu dalam keluarga sangat ditentukan oleh peran seluruh anggotanya. Demikian juga anggota keluarga turut memberi pengaruh pada keburukan dan kesalahan yang dilakukan oleh salah seorang individu dari mereka.

Keteladanan Muhammad dalam hal ini jelas turut disuport dan didukung oleh keteladanan seluruh anggota keluarganya; dari istri-istrinya, mertua dan menantunya serta anak dan cucunya, bahkan sahabat yang menyertai kehidupan beliau, sehingga beliau layak tampil sebagai uswah hasanah (teladan yang paripurna) yang diabadikan oleh Al-Qur’an dalam seluruh dimensi kehidupan tanpa cacat dan cela sedikitpun, “Sungguh telah ada pada diri Rasulullah teladan yang paripurna bagi kamu sekalian“. (Al-Ahzab: 21)

Secara redaksional, ungkapan ‘peliharalah dirimu dan keluargamu’ mengindikasikan satu bentuk pencegahan sebelum terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan, seperti terumus dalam pepatah ‘Al-Wiqayatu Khairun Minal ‘Ilaj’ : ‘Mencegah itu jelas jauh lebih baik daripada mengobati’. Tarbiyah itulah bentuk ‘wiqayah’ yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan penyelewengan perilaku anggota keluarga. Pencegahan juga harus diawali dari orang tua yang menjadi cermin keluarga ‘peliharalah dirimu’, yang kemudian akan berlanjut pada pembinaan anggota keluarga yang menjadi tanggung jawab mereka.

Sungguh kita masih punya banyak waktu dan kesempatan di dalam rumah tangga kita untuk melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas pembinaan. Hanya dengan prinsip-prinsip tarbiyah Islamiyah itulah kita mampu membangun sebuah peradaban luhur dalam sebuah bangunan rumah tangga yang diidam-idamkan sebagai institusi terkecil yang akan turut mewarnai dan memberi pengaruh pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam skala yang lebih besar.

Mudah-mudahan setiap kita akan lebih menfokuskan diri pada pembinaan anggota keluarga secara lebih prioritas yang akan berdampak pada pembinaan masyarat dan umat nantinya. Amin. Allahu a’lam

http://www.dakwatuna.com/2008/pondasi-itu-bernama-keluarga/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar