Minggu, 14 Maret 2010

Pluralisme Agama: How Liberal Can You Go?!


Membahas agama dan keberagamannya sangat penting, karena itu ada dua premis yang perlu disepakati dalam diskursus diskusi-diskusi keagamaan, pertama: bahwa setiap pemeluk agama secara fitrah adalah makhluk toleran, kedua: bahwa setiap pemeluk agama itu plural dan beragam. Jika dua hal diatas itu disepakati maka, pembahasan tentang keagamaan dan keberagaman agama bisa dimulai, karena bagaimana mungkin kita akan berdialog pada satu subjek sementara kita belum sepakati premis-premis pentingnya.

Karena dalam diskursus dialog keagamaan, disana akan didapati nilai-nilai persamaan dan perbedaan sekaligus, maka ada tiga poin penting yang perlu dikaji terlebih dahulu. 1. Apakah agama-agama itu semua benar dan pasti masuk surga para pengikutnya?; 2. Apa penyebab asli agama-gama itu berbeda?; 3. Lalu apa dan bagaimana sikap penganut agama-agama itu antar lainnya?.

Dalam tradisi filsafat, saat kita menyoal tentang benar dan salah, maka itu artinya kita sedang mengajukan pertanyaan epistemologis, dan saat menyoal tentang ada dan tiada maka, kita mengajukan pertanyaan yang memiliki konsekwensi filosofis. Walaupun pertanyaan pertama menyoal epistemologis, namun pada akhirnya bermuara pada kajian filosofis juga. Karena disaat kita meyakini kebenaran sebuah proposisi (epistemologis), kita terlebih dulu harus membuktikan keberadan proposisi tersebut. Adalah mustahil, kita meyakini kebenaran sesuatu sementara realitas dan keberadaannya belum kita buktikan. Yang kedua, menghindari wacana benar atau salahnya agama, tetapi mengkaji mengapa berbagai macam agama itu muncul. Bagaimana mungkin agama-agama (samawi) yang diturunkan dari dan oleh Dzat yang Sama, yakni Tuhan, sama-sama benar dan sama-sama salah atau salah satu benar dan salah. Jawaban pertanyaan pertama dengan sendirinya akan terbukti jika kita membahas persoalan mengapa agama-agama itu berbeda. Yakni kita kembali mengkaji sejarah munculnya agama-agama dengan berbagai karateristik, social, budaya dan politik masyarakat waktu itu.

Memang tidak ada korelasi antara jawaban pertanyaan kedua dengan jawaban pertanyaan pertama, namun bisa dipastikan akan saling mempengaruhi. Begitu pula, tidak ada korelasi antara jawaban pertanyaan ketiga dengan jawaban pertanyaan pertama. Kita bisa saja menjadi seorang ekslusif (menganggap agama kita sendiri yang paling benar) namun, pada saat yang sama kita bersikap toleran.

Bila saja pembahasan ini bergulir apa adanya dan ala kadarnya, tentu akan memantik kesadaran beragama antar umat. Sayangnya, dinamika demikian ini biasanya dikangkangi kepentingan-kepentingan politik.

Problem keagamaan dengan sekian kisah-kisah tragis didalamnya dapat dengan mudah kita temukan didalamnya. Mulai dari penyaliban Isa as, hingga kisah getir Maluku-Ambon, penghancuran peribadatan Ahmadiyah, pelemparan Ponpes YAPI Bangil, pembakaran Ponpes Al-Hadi Pekalongan menambah panjang kisah sedih itu. Lalu kaum agamawan dan para cendikiawan berkompetisi mengusulkan solusi-solusi teoritis, bahkan praktis, mulai dari liberalisme agama abad ke-15, Protestanisme liberal abad ke-19, hingga pluralisme agama abad ke-21. Jhon Hick, konseptor sejati isme ini, mengamati dampak kecemburuan agama yang terlihat lebih dahsyat di abadnya.

Disamping liberalisme modern yang diyakini John Hick sebagai ramuan mujarab untuk menuntaskan masalah fanatisme agama ini, secara moral-praktis, Hick melengkapi dalil-dalil teoritis pluralisme agama dengan mengembangkan fragmen-fragmen syair persia-nya Jalaluddin Rumi yang mengiaskan perspektivitas hakikat dengan gajah ditengah sekelompok manusia buta. Analogi ini pernah diriwayatkan oleh Abu Sulaiman dengan sanadnya yang berakhir pada Plato, filsuf Yunani abad 4 SM. Sayangnya, justru teori-teori dan metode-metode filosofis Plato sendiri tidak akan pernah bisa mendukung pesan analogi itu. Episteme, archea (apathon) atau fondasionalisme-nya.

Mungkin pandangan epistemologis Plato terhadap herata sedikit bisa menghibur Hick. Menurut Plato, pengetahuan sensual tentang alam itu tidak lebih dari doxa yang parsial dan berubah-ubah. Namun, nampaknya Hick layak kecewa lagi disaat Plato menyatakan bahwa doxa itu bisa dikatrol menjadi episteme (kebenaran mutlak) ketika manusia “berhubungan” dengan kebaikan mutlak hingga dapat merekolaksi ide-ide mutlak yang terlupakan.

Dalam theaetetus, Plato melandasi teori epistemologinya itu dengan pandangan filosofis Heraclitus bahwa segala sesuatu selalu bergerak dinamis, pandangan yang juga dimanfaatkan Protagoras untuk menggagas relativisme: manusia adalah standar segala sesuatu. Bagi Protagoras, apa yang menurut Anda benar, itulah kebenaran dan apa yang menurutku benar, juga kebenaran. Sampai disini, ternyata pluralisme agama berinduk pada pandangan si sophis Protagoras.

Bertrand Russell meloparkan betapa reinkarnasi fenomena sophestika itu telah bangkit di Amerika. Sejumlah pemikir digalang kedalam satu jajaran intelektual yang signifikan. Mereka aktif melakukan pembenaran atas kebijakan-kebijakan pemerintah disana. Demikian juga Michel Foucault. Ia mengeluhkan prilaku elit-elit bule yang mempolitisir fisika. Sementara itu, Michael Howard, sejarahwan modern dari universitas Oxford, membeberkan bahwa selama kurang lebih 200 tahun, dunia barat dan khususnya Amerika berusaha mengabadikan isu dan doktrin masa Aufklarung. Sebagaimana kita ketahui, liberalisme politik menempati deretan puncak isu-isu dan doktrin masa Aufklarung tersebut yang ditengarai ahli-ahli sejarah filsafat agama sebagai embrio pluralisme agama.

Berdasarkan studi komparatif Peter Donovan, kedua isu tersebut menyimpan kesamaan. Liberalisme politik dan pluralisme menyelundupkan pesan toleransi sekaligus penolakan terhadap agama.

Realitas diatas, secara tegas dan transparan menjelaskan bahwa dengan pluralisme agama, umat akan di bawa menuju “sekularisme dan relativisme”, walaupun mungkin saja pencetus ide ini memiliki maksud baik atau malah sebaliknya, (baca: Problems of Religious Pluralism, John Hick), disana akan didapati betapa kentalnya sisi politik dari pemikiran Hick. Selain itu, relativisme Hick tidak lebih menambah kejelasan betapa shopisnya Hick, (baca: Problems of religious pluralism: a Zen critique of John Hick's ontological monomorphism: Jung H. Lee dan kritikan Joseph Alois Ratzinger di wikipedia). Dan yang patut dicurigai lagi adalah, menjamurnya “LSM-LSM terbang” dengan segala hiruk pikuk dan karakternya menjajakan fasilitator dialog sekaligus tawaran solusi-solusi teoritis bahkan praktis.

Jurgen Moltmann bahkan menyebut, toleransi yang digagas oleh kaum pluralism itu tidak lebih sebagai pemberangusan. Ia menyetarakan pluralisme agama dengan konsumerisme masyarakat barat, satu gaya hidup pemujaan produk, sebagai berkah proyek admass dan imajinatisasi Amerika. Plularisme adalah sebuah fenomena ambisi ekonomi dan sosial. Maka naif sekali jika Samuel Huntington menyanjung negaranya sebagai kampiun kebebasan, demokrasi, dan pluralisme, karena umumnya Barat benar-benar tidak jujur.

Lebih menggelikan lagi, kebijakan-kebijakan politik luar negri Amerika terhadap beberapa negara muslim lebih dari sekedar permusuhan. Selama lebih dari tiga puluh satu tahun usia revolusi, Iran telah dan harus menanggung berbagai embargo politik dan ekonomi yang dipaksakan. Motif dari kebijakan Amerika itu adalah masalah keyakinan agama. Di belahan benua Eropa, Turki harus menahan sabar dengan penangguhan Uni Eropa. Dan lagi-lagi motif penangguhan itu, selain karena veto dari beberapa negara yang sedang bersengketa, juga karena mayoritas penduduk Turki adalah muslim. Belum lagi kasus-kasus pengharaman jilbab di sejumlah sekolah, universitas tempat umum di Prancis, negara yang mencekal beberapa buku Islam dan mendeportasi rohaniawannya.

Yang lebih memalukan adalah bebasnya Salman Rusdi dari jeretan hukum pengadilan Inggris, dengan dalih sederhana, penghinaan terhadap kesucian dan kehormatan nilai-nilai agama hanya berlaku dengan Kristen, tidak mencakup selainnya. Kecuali jika Anda menjadi seorang Luthfi Assaukanie. Sementara itu, Hick, hanya merasa cukup puas dengan menulis dan berteori Birmingham. Di sana ia mempertanyakan, “Bisakah perilaku sadis pembantaian masal ditengah disintegrasi India atau hukum potong tangan dalam Islam sebanding dengan penganiayaan berabad-abad–khususnya di abad ini-kaum kristen terhadap bangsa Yahudi?” Hick sampai merasa perlu menuliskan kata-kata “khususnya di abad ini”. Ini jelas merupakan hiburan bagi zionisme Israel; pembabtisan fiksi pogrom (gerakan anti Yahudi) perang dunia kedua didalam koridor diskusi-diskusi keagamaan; atau bahkan justifikasi atas keserakahan zionisme di tanah-tanah Kristen dan Muslim Palestina.

Sekali lagi, apa komentar Anda terhadap pengadilan konspiratif Roger Garaudy di Prancis dan rekan-rekannya di Jerman dan Austria hanya karena membongkar fakta sejarah dibalik genocida (pembasmian etnis)?. Ternyata, “Cuius regio, eius religio”, kekuasaan seseorang adalah agama bagi dirinya. Persis titah Noam Chomsky yang menganalogikan kemiripan rupa pemujaan penguasa kepada negara telah menjadi agama bumi. How Liberal Can You Go..?

Disarikan dari: Jurnal Makrifat, Edisi 2, Rabi’uts-Tsani-Jumadil-Awwal-Jumadis-Tsani/ 1422, Cetakan Qom; Ittihadiye-ye Anjumanha-ye Farhanggi-ye Tulab.


Gambar: Latuff

http://politikana.com/baca/2010/02/28/pluralisme-agama-how-liberal-can-you-go.html

1 komentar:

  1. Manusia itu beragama [termasuk agama yang dianut] yang berada dalam satu kesatuan. Dan memiliki tujuan yang sama, yaitu menuju keselamatan. Namun, mari kita menghargai metode-metode yang ditempuh setiap individu, niscaya perdamaian akan terwujud.

    BalasHapus