Meski menjadi acuan nilai
tukar mata uang seluruh negara di dunia, dollar AS ditengarai tak mampu
memberikan stabilitas ekonomi dunia. Menurut mantan Menteri Keuangan era Orde
Baru, Fuad Bawazier, setidaknya dibutuhkan dua mata uang lagi untuk mendampingi
dollar AS sebagai acuan utama.
“Untuk
kestabilan, saya punya keyakinan sekurang-kurangnya perlu tiga mata uang. Kalau
mau stabil, dunia itu perlu punya tiga mata uang internasional. Jangan hanya
dollar AS,” kata Fuad ditemui usai diskusi di Jakarta, pada Rabu malam
(26/8/2015).
Lantas
mata uang negara manakah yang layak dampingi dollar AS? Fuad mengatakan,
setidaknya negara tersebut memiliki produk domestik bruto (PDB) yang besar
seperti negeri Abang Sam (AS).
“Kelebihan
dollar AS itu karena dia satu negara dengan PDB di atas 20 persen PDB dunia.
Yang seperti ini lagi adalah RRC,” ucap Fuad.
Memang
belakangan isu Renminbi (RMB atau yuan)
menjadi mata uang internasional santer mengemuka. Salah satu alasan kuatnya,
sambung Fuad, RRC sebagaimana AS telah menjadi negara adidaya yang memberikan
pengaruh besar terhadap perekonomian global.
Satu
mata uang lagi, yang menurut Fuad potensial mendampingi dollar AS adalah Euro.
Namun, untuk yang satu ini dia memberikan catatan, syaratnya adalah ekonomi di
zona Eropa harus stabil terlebih dahulu.
Fuad
menuturkan, mata uang Euro sebagai alat tukar yang diterima internasional
pernah dicoba. Namun, upaya itu gagal karena masalah internal di zona tersebut.
“Jadi
jangan cuma dollar AS. Berat untuk AS-nya dan berat untuk kita semua. Syukur
Euro bisa stabil. Jadi ada tiga mata uang dunia, dollar AS, Renminbi, dan
Euro,” tutur Fuad.
Jika
dunia memiliki tiga mata uang internasional, keuntungan yang bisa dirasakan
Indonesia adalah minimal ada diversifikasi cadangan devisa. “Cadangan devisa
kita tidak hanya satu mata uang,” ucapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar