“Saya kawatir,
Indonesia sebentar lagi akan mengundang IMF masuk.”
Itulah sepenggal
kalimat singkat yang dilontarkan Theo F. Toemion, kepada Megawati
Soekarnoputri, di suatu sore pada penghujung tahun 1997. Saat itu beberapa
petinggi PDIP sedang berkumpul di ruangan kerja Kwik Kian Gie, sambil menyeduh
teh sembari kongkow-kongkow tentang situasi terkini Indonesia saat itu.
Di samping si empunya
rumah –Kwik Kian Gie-, sang Ketua Umum Partai Moncong Putih, Megawati
Soekarnoputri, serta Theo F. Toemion, beberapa tamu lain yang hadir saat itu
adalah Sabam Sirait, Alex Litay, mendiang Sophan Sophian dan Dimyati Hartono.
Beberapa menit
sebelumnya, Theo telah memaparkan bagaimana situasi ekonomi Indonesia dan
gonjang ganjing pasar uang, sebelum datang pertanyaan pamungkas Megawati, “Lalu
apa yang akan terjadi?”
Kalimat pendek di awal
tulisan ini adalah jawaban singkat, sebelum Theo akhirnya pamit, karena terikat
jadwal wawancara dengan salah satu stasiun televisi swasta. Jam menunjukkan
pukul 5 sore ketika itu.
Pukul sembilan malam,
“nubuatan” Theo F. Toemion menjadi kenyataan. Berarti hanya berselang enam jam,
setelah ia menyampaikan hal tersebut kepada Megawati. Menteri Sekertaris Negara
saat itu, Moerdiono, menggelar konverensi pers dan mengumumkan bahwa Indonesia
secara resmi telah mengundang International Monetary Fund (IMF).
Petaka itu akhirnya
datang. Sayangnya tak seorangpun sanggup untuk mencegah “sang malaikat maut”
menghampiri bumi Indonesia. Tak butuh waktu lama, media mulai menyerang Theo
karena pendapatnya bahwa IMF adalah malaikat pencabut nyawa dan bukan malaikat
penolong, seperti pendapat kebanyakan orang saat itu. Sedikit –jika tidak ada-
yang mau percaya bahwa Indonesia berada di ujung belenggu “perbudakan”, karena
mengundang salah satu “binatang” neo liberalisme tersebut.
Ketika akhirnya
Michael Candemsus menyodorkan draft untuk ditandatangani mendiang Presiden
Soeharto, Mei 1998, mimpi buruk itu menjadi paripurna –terwujud dengan sangat
sempurna-. Indonesia resmi menjadi budak neo liberalisme.
“Sang Dewa Penyelamat”
menggelontorkan dana talangan untuk Indonesia yang terpuruk, menyandang status
negara terburuk akibat deraan krisis terkutuk, seiring murka politik carut
marut di Nusantara yang acak kadut.
Utang menumpuk, menggunung sampai menyentuh titik US$ 9,1 miliar atau setara dengan Rp 117 triliun.
Utang menumpuk, menggunung sampai menyentuh titik US$ 9,1 miliar atau setara dengan Rp 117 triliun.
Akhir April 2015 lalu,
terjadi perang pernyataan antara Presiden Jokowi dan mantan presiden, Susilo
Bambang Yudhoyono. Saat itu Jokowi berkata Indonesia masih berhutang pada IMF.
Selang sehari kemudian, SBY menampik pernyataan Jokowi sekaligus “meluruskan”
apa yang sudah terlanjur menjadi ramai.
Menurut Yudhoyono,
seluruh hutang ke IMF sudah lunas sejak 2006, empat tahun lebih awal dari
jadwal jatuh tempo. Yudhoyono sejak itu menegaskan bahwa, sejak lunasnya
hutang, Indonesia tidak lagi menjadi pasien IMF.
Terlepas dari “kelirunya” pernyataan Jokowi dan klarifikasi dari Yudhoyono, hutang ke IMF memang telah lunas. Urusan jika Jokowi masih ingin menghamba pada antek-antek neo liberalisme, itu urusan lain yang memang sangat pantas untuk disesali.
Terlepas dari “kelirunya” pernyataan Jokowi dan klarifikasi dari Yudhoyono, hutang ke IMF memang telah lunas. Urusan jika Jokowi masih ingin menghamba pada antek-antek neo liberalisme, itu urusan lain yang memang sangat pantas untuk disesali.
Pertanyaannya adalah,
apakah dengan lunasnya hutang terus Indonesia terbebas dari belenggu IMF?
Jawabannya adalah tidak. Letter of Intent mengikat Indonesia sampai hari ini
dan bahkan entah sampai kapan.
Soeharto tunduk kepada
kemauan IMF dan menandatangani Letter of Intent. Di butir-butir tersebut-lah Indonesia
kehilangan kedaulatan ekonominya sejak 15 Januari 1998. Contoh di bawah ini
adalah secuil kebijakan IMF di dalam sendi perbankan Indonesia:
Pemerintah diharuskan
membuat Undang-Undang Bank Indonesia yang otonom, dan akhirnya pemerintah
memang membuat undang-undang yang dimaksud. Maka lahirlah Undang-undang no 23
tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. Pertanyaannya adalah, seandainya Indonesia
masih berdaulat, mengapa untuk membuat Undang-Undang yang begitu penting harus
dipaksakan oleh pihak asing?
Kalau Undang-Undangnya
dipaksakan oleh pihak asing – yang diwakili oleh IMF waktu itu, terus untuk
kepentingan siapa Undang-Undang ini dibuat?
Dalam salah satu pasal Articles of
Agreement of the IMF (Arcticle V section 1) memang diatur bahwa IMF hanya mau berhubungan
dengan bank sentral dari negara anggota. Lahirnya Undang-Undang no 23 tersebut
tentu sejalan dengan kemauan IMF. Lantas hal ini menyisakan pertanyaan besar –
siapa yang mengendalikan uang di negeri ini? Dengan Undang-undang ini Bank
Indonesia memang akhirnya mendapatkan otonominya yang penuh, tidak ada siapapun
yang bisa mempengaruhinya (Pasal 4 ayat 2) termasuk Pemerintah Indonesia.
Tetapi ironisnya justru Bank Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh IMF
karena harus tunduk pada Articles of Agreement of the IMF seperti yang diatur antara lain dalam beberapa
contoh pasal-pasal berikut :
Article
V Section 1, menyatakan bahwa IMF
hanya berhubungan dengan bank sentral (atau institusi sejenis, tetapi bukan
pemerintah) dari negara anggota.
Article
IV Section 2, menyatakan bahwa
sebagai anggota IMF Indonesia harus mengikuti aturan IMF dalam hal nilai tukar
uangnya, termasuk didalamnya larangan menggunakan emas sebagai patokan nilai
tukar.
Article
IV Section 3.a., menyatakan bahwa
IMF memiliki hak untuk mengawasi kebijakan moneter yang ditempuh oleh anggota,
termasuk mengawasi kepatuhan negara anggota terhadap aturan IMF.
Article
VIII Section 5, menyatakan bahwa
sebagai anggota harus selalu melaporkan ke IMF untuk hal-hal yang menyangkut
cadangan emas, produksi emas, expor impor emas, neraca perdagangan
internasional dan hal-hal detil lainnya.
Pengaruh IMF terhadap
kebijakan-kebijakan Bank Indonesia tersebut tentu memiliki dampak yang sangat
luas terhadap Perbankan Indonesia karena seluruh perbankan di Indonesia
dikendalikan oleh Bank Indonesia. Dampak lebih jauh lagi karena perbankan juga
menjadi tulang punggung perekonomian, maka perekonomian Indonesiapun tidak bisa
lepas dari pengaruh kendali IMF. Butir-butir sesudah ini hanya menambah panjang
daftar bukti yang menunjukkan lepasnya kedaulatan ekononomi itu dari pemimpin
negeri ini.
1. Pemerintah harus
membuat perubahan Undang-Undang yang mencabut batasan kepemilikan asing pada
bank-bank yang sudah go public. Inipun sudah dilaksanakan, maka ramai-ramailah pihak asing
menguasai perbankan di Indonesia satu demi satu sampai sekarang.
2. Pemerintah harus
menambah saham yang dilepas ke publik dari Badan Usaha Milik Negara, minimal
hal ini harus dilakukan untuk perusahaan yang bergerak di telekomunikasi
domestik maupun internasional. Diawali kesepakatan dengan IMF inilah, dalam
waktu yang kurang dari lima tahun akhirnya kita benar-benar kehilangan
perusahaan telekomunikasi kita yang sangat vital yaitu Indosat.
Hal-hal tersebut
diatas, baru sebagian dari 50 butir kesepakatan pemerintah Indonesia dengan
IMF. Namun dari contoh-contoh ini, dengan gamblang kita bisa membaca begitu
kentalnya kepentingan korporasi asing besar, pemerintah asing dan institusi
asing (yang oleh John Perkins disebut sebagai korporatokrasi yang mendiktekan
kepentingan mereka, ketika kita dalam posisi yang sangat lemah, yang diawali oleh
kehancuran atau penghancuran nilai mata uang Rupiah.
Jadi, persoalan hari
ini bukan lagi masalah hutang yang lunas atau tidak lunas. Esensinya
lebih dahsyat dari sekedar masalah bayar hutang. Hal terbesar adalah hilangnya
kedaulatan Indonesia. Kebijakan-kebijakan IMF mengatur sendi-sendi berbangsa
dan bernegara republik ini. Tidak ada lagi kedaulatan, karena Indonesia
sepenuhnya dikendalikan oleh IMF dan tuan besar bernama neo liberalisme dan
kapitalisme.
Meski Kepala Kantor
Perwakilan IMF untuk Indonesia, Benedict Bingham menyatakan, saat ini Indonesia
tak memiliki kewajiban apapun kepada lembaga itu, kita kadung terjajah kembali.
Sewaktu-waktu Indonesia membangkang, maka IMF tak akan menunjukkan belas
kasihan atas Republik ini. “Cemeti” IMF senantiasa siap untuk memecut negara
mana saja yang “malas” untuk patuh kepada sang tuan. Taring-taring neo liberal
akan dengan buas memangsa negara manapun, yang coba untuk melepaskan diri dari
“kandang” tempat mereka dikurung.
Ironisnya, Indonesia
pun terlanjur berada di dalam kandang itu.
Ketika Madame
Allbright berkata akan mengirimkan orang-orang seperti George Soros, supaya
macan-maca Asia tumbang, hal itu bukan isapan jempol. Ancaman tidak akan lagi
lewat tank, rudal dan senjata, melainkan lewat ekonomi dan lebih khusus lagi:
mata uang!
Sekali saja para big boys –spekulan- bermain, habislah riwayat suatu
bangsa.
Ketika pidato Jokowi
yang “menohok” IMF, Bank Dunia dan PBB dilontarkan pada peringatan 60 tahun
Konferensi Asia Afrika di Bandung belum lama berselang, rakyat gembira. Tapi
apakah Jokowi telah bulat dalam pemikirannya menantang Neo Liberal? Ternyata
tidak juga. Beberapa hari setelah mengucapkan pidato, ia kembali menjilat
ludahnya sendiri. Kita masih takut. Indonesia masih berada di bawah
cengekeraman neo liberal. Nusantara tetap dikangkangi oleh kapitalisme. Ibu
Pertiwi masih dibelenggu oleh rantai Washington Concensus.
Tak berdaya dan tak
bisa melawan.
Akhirnya, ini bukan
persoalan bayar hutang atau belum. Masalahnya adalah belenggu itu tidak pernah
terlepas. Lantas apa gunanya berkoar-koar bahwa kita tak lagi memiliki hutang?
Sama sekali nol besar.
Geese
eggs after geese eggs !
Pada akhirnya,
pemerintahan kita tak lebih dari pemerintahan boneka. Lalu siapa master
puppetnya?
IMF.
Oleh Samuel Karwur
http://www.jokowinomics.com/2015/05/04/berita/ekonomi/jawaban-yang-benar-atas-pertanyaan-yang-salah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar