Sejumlah media menulis
kisah yang menggugah. Jika tekun menarik order, seorang tukang ojek di Gojek
bisa mendapatkan income hingga Rp 10 juta per bulan.
Sebuan pencapaian yang
sangat mengesankan. Terutama untuk profesi yang selama ini dianggap kelas
pinggiran.
Kisah tentang Gojek
adalah narasi tentang social innovation, keajaiban teknologi aplikasi, dan
kejeniusan ilmu supply chain management.
Mari kita bedah satu demi
satu dengan renyah di pagi hari ini.
Sejatinya GOJEK adalah
perusahaan penyedia jasa transportasi yang berbasis pada kekuatan magis
teknologi aplikasi. The power of Apps.
Salah satu sumber
inefisiensi layanan tukang ojek adalah masa ngetem yang terlalu lama. Idle time
kalau dalam bahasa supply chain management. Waktu kosong yang hilang sia-sia.
Gojek dengan kekuatan
aplikasinya yang real time mampu memotong masa tunggu itu (ngetem untuk dapat
order) dengan dramatis. Ribuan calon pelanggan yang telah mendownload aplikasi
Gojek yang user friendly – dibuat untuk mudah melakukan pemesanan order
pengiriman (entah jasa antar orang, dokumen atau barang).
Lantas ribuan order yang
terkumpul itu, di-distribusikan oleh Gojek ke ribuan armadanya, yang berada
pada titik paling dekat dengan yang memberi order, secara real time, seketika.
Proses ini berlangsung secara kontinyu, real time.
Dengan proses sperti
itulah, maka level produktivitas pengojek naik secara sangat signifikan. Dengan
kekuatan ajaib aplikasi yang bersifat real time, masa tunggu pengojek bisa ditekan
hingga nyaris titik nol.
Apa yang terjadi saat
produktivitas naik secara dramatis. Otomatis, income juga bisa melesat ke level
yang tak terbayangkan.
Just In Time
Inventory. Ini adalah prinsip
legendaris perusahan-perusahaan hebat Jepang seperti Toyota. Saat masa tunggu
inventory bisa dibuat menjadi zero.
Dan persis prinsip
seperti itulah yang diterapkan oleh Gojek dengan kekuatan aplikasinya. Hasilnya
adalah keajaiban : seorang tukang ojek bisa mendapat income 10 juta per bulan.
Gojek mungkin contoh
keindahan inovasi sosial berbasis teknologi : bagaimana kekuatan aplikasi
(digital apps) bisa dimanfaatkan untuk memberdayakan ekonomi kaum kelas
pinggiran (tukang ojek).
Ya, niatan untuk
mengentaskan kemiskinan memang tidak diperoleh dengan demo, spanduk, rapat di
gedung parlemen atau teriak-teriak di jalanan. Kekuatan sebuah aplikasi yang
jenius acap jauh lebih powerful dari itu semua. This is the beauty of digital
technology.
Namun inovasi sosial yang
jenius dari Gojek ini mendapatkan tantangan dari dua kekuatan. Dan keduanya
bisa menghancurkan bisnis Gojek.
Yang pertama adalah
resistensi dari para tukang ojek pangkalan. Ini adalah potret muram dari proses
inovasi teknologi : bagaimana kekuatan otak (kemudahan teknologi digital ) harus
berhadapan dengan kekuatan otot yang enggan menerima proses perubahan zaman.
Dan kita tahu,
pertempuran melawan kekuatan otot acap jauh lebih melelahkan dibanding harus
bertarung melawan kekuatan otak.
Proses inovasi teknologi
memang kadang justru gagal karena masyarakatnya sendiri secara sosiologis tidak
siap menerima perubahan. Fenomena yang juga lazim terjadi dalam berbagai kisah
perubahan korporat (corporate transformation process).
Status quo dan
comfort zone kadang menjadi dua algojo yang acap sukses menjegal potensi
kekuatan inovasi.
Kekuatan kedua yang juga
bisa merobohkan bisnis Gojak datang dari rival yang tak kalah menggetarkan.
Yakni Grab Bike. Perusahaan yang sama dengan Gojek, namun datang dari pengusaha
Malaysia. Dan dengan dukungan modal hingga 2.5 triliun.
Dengan dukungan dana
nyaris tak terbatas itu, Grab Bike langsung meletuskan amunisi peperangan.
Mereka segera meluncurkan “predatory pricing war” : tarif promosi ojek Grab
Bike hanya Rp 5 ribu kemana saja (tarif promosi Gojek 10 ribu, dan kini sudah
naik ke 15 ribu).
Grab Bike juga memberikan
upah ke pengojeknya 90% dari total order, sementara Gojek hanya 80%. Grab Bike
juga memberikan program berangkat umroh kepada pengojeknya yang berprestasi
(akhirnya tukang ojek juga bisa naik umroh. Bukan hanya tukang bubur).
Perlawanan keras dari
Grab Bike itu segera membuat Gojek agak gentar. Pricing war yang berkepanjangan
pada akhirnya bisa membuat keduanya malah bangkrut. Bisnis memang kadang brutal
dan tak kenal ampun.
Kita tidak tahu apakah
Gojek akan bisa mengatasi perlawanan dari dua dimensi yang berbeda itu dengan
sukses (resistensi dari ojek pangkalan dan rivalitas bisnis dengan Grab Bike).
Btw, pendiri Gojek
sendiri Nadiem Makarim bukan anak muda sembarangan. Pria muda Jakarta ini
alumnus Harvard Business School (sekolah bisnis terbaik di muka bumi).
Dengan mudah Nadiem
sebenarnya bisa melamar kerja di Wall Street dengan gaji puluhan ribu dollar
per bulan. Namun ia memilih pulang ke tanah airnya, demi membangun bisnis yang
memberdayakan kaum kelas pinggiran. Melalui kekuatan aplikasi digital.
Jajaran manajemen dan
pendiri Gojek lainnya juga diisi oleh para alumnus dari sekolah bisnis hebat
seperti University of Chicago. Dan rata-rata pernah bekerja di perusahaan kelas
dunia.
Dari sisi kualitas, SDM
yang menduduki peran kunci di Gojek sebenarnya setara dengan mutu SDM di
perusaahaan top seperti Google, Microsoft ataupun IBM. Mereka secara kolektif
adalah one of the best management brains di tanah air.
Saya sendiri berharap
Gojek bisa berhasil dalam misinya. Mereka bertekad untuk merekrut puluhan ribu
pengojek baru.
Mungkin Anda berminat
juga? Lumayan kan kalau dapat 10 juta per bulan Daripada kerja
lembur namun gaji hanya sekelas UMR
Jika bisnis Gojek
berhasil, dampak mereka dalam memberdayakan ekonomi kaum kelas pinggiran bisa
sangat mengesankan.
Sekali lagi, itulah
kekuatan social innovation yang berbasis pada kekuatan teknologi digital.
Welcome to Digital
Innovation. Everyone is Invited.
NOTE : - See more
at:
http://strategimanajemen.net/2015/08/24/kenapa-tukang-ojek-di-gojek-bisa-mendapatkan-income-hingga-rp-10-juta-per-bulan/#sthash.x0KudjbQ.dpuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar