Rabu, 26 Agustus 2015

Tentang Uang

Sejak tahun 1969, IMF memiliki mata uang khusus yang disebut ‘special drawing rights’ atau SDR, dimana IMF menyimpan asetnya dalam bentuk SDR, dan SDR ini hanya bisa ditukar/dikonversi ke empat mata uang paling penting di dunia, yakni US Dollar, Euro, British Pound Sterling, dan Japanese Yen. Karena itulah, nilai SDR juga ditentukan oleh empat mata uang tersebut. Pada review terakhir yang dilakukan tahun 2010, USD memberikan pengaruh sebesar 41.9% terhadap nilai SDR, Euro 37.4%, Pound Sterling 11.3%, dan Yen 9.4%.

Selain IMF, bank-bank sentral di negara-negara yang menjadi anggota IMF, termasuk Bank Indonesia atau BI, juga bisa menyimpan asetnya dalam bentuk SDR. Namun SDR ini tidak seperti mata uang biasa yang bisa dipegang/dimiliki oleh institusi swasta/pemerintah ataupun perorangan, melainkan hanya bisa dipegang oleh bank sentral. Ketika bank sentral hendak menyalurkan kredit ke bank-bank, maka SDR yang mereka miliki dikonversi dulu ke salah satu dari empat mata uang tadi, kemudian baru bisa digunakan.

Nah, IMF secara rutin me-review tentang mata uang mana saja yang bisa menjadi penentu nilai SDR, atau dengan kata lain menjadi world reserve currencysetiap lima tahun sekali. Ketika SDR diluncurkan untuk pertama kalinya pada tahun 1969, hanya ada satu mata uang yang menentukan nilai SDR yaitu USD, dimana nilai 1 SDR adalah setara dengan 1 USD. Lalu 15 tahun kemudian yakni tahun 1981, nilai SDR untuk pertama kalinya ditentukan oleh lima mata uang yang berbeda (tidak hanya USD), yakni USD, Deutsche Mark, French Franc, Yen, dan Pound Sterling. Lalu sejak tahun 1999 sampai sekarang, ‘komposisi’ SDR berubah lagi menjadi USD, Euro, Yen, dan Pound Sterling.

Dan inilah yang menarik: Pada review terakhirnya tahun 2010 lalu, IMF masih menetapkan USD, Euro, Yen, dan Pound Sterling sebagai mata uang yang bisa langsung dikonversi ke SDR. Namun ketika itu chairman Bank Sentral Tiongkok, Zhou Xiaouchuan, mengeluh bahwa Yuan sebagai mata uang Tiongkok seharusnya juga bisa menjadi salah satu mata uang yang menentukan nilai SDR, mengingat Tiongkok adalah juga salah satu negara dengan perekonomian terbesar di dunia, bahkan lebih besar dari Jepang dan Inggris.

Jadi ketika IMF akan kembali me-review komposisi SDR, Oktober nanti, maka isu-nya adalah bahwa Yuan akan diumumkan sebagai mata uang baru yang turut menentukan nilai SDR, dimana SDR akan bisa langsung dikonversi ke Yuan (tanpa perlu dikonversi terlebih dahulu ke USD, Euro, Yen, atau Pound Sterling).

Namun ini bukan berarti Yuan akan seketika itu juga menjadi ‘rival’ bagi USD, malah masih jauh dari itu, menginat posisi sebagai world reserve currency tidak hanya ditempati oleh USD, melainkan juga oleh Euro, Pound Sterling, dan Yen. Cukup jelas bahwa Yuan harus terlebih dahulu menggeser posisi Yen, Pound Sterling, dan juga Euro sebagai mata uang yang paling berpengaruh terhadap nilai SDR, sebelum baru kemudian bisa head to headdengan USD.

Hanya memang, jika nanti Yuan benar-benar diumumkan sebagai world reserve currencyyang baru, maka praktis institusi-institusi besar di seluruh dunia yang selama ini menyimpan asetnya dalam mata uang USD (atau Euro, Pound Sterling, dan Yen) akan mulai mengkonversinya ke dalam Yuan. Nilai Yuan akan terapresiasi signifikan, sementara nilai USD dan tiga mata uang lainnya mungkin akan turun.

Pertanyaannya, apakah IMF benar-benar akan melakukan itu? Dan jika iya, lalu bagaimana dampaknya terhadap Rupiah, perekonomian Indonesia, dan juga tentunya IHSG?

Ketika Yuan menjadi world reserve currency yang baru, maka berikut ini adalah hal-hal yang mungkin akan terjadi:

1.            Nilai USD mungkin akan turun, termasuk terhadap Rupiah, dimana itu akan berdampak negatif bagi investor/perusahaan yang menyimpan asetnya dalam mata uang USD, namun sebaliknya, akan berdampak positif bagi investor/perusahaan yang memiliki utang dalam mata uang USD.

2.            Naiknya ‘status’ Yuan akan mempermudah transaksi ekspor impor antara Tiongkok dengan Indonesia, dimana eksportir dari Indonesia tidak perlu lagi mengkonversi Rupiah ke USD (kemudian oleh importir dari Tiongkok dikonversi lagi ke Yuan), melainkan bisa langsung mengkonversinya ke Yuan, demikian sebaliknya. Saat ini Tiongkok masih merupakan mitra dagang/impor terbesar bagi Indonesia.

3.            Jika nilai USD beneran turun, maka harga-harga komoditas termasuk CPO dan batubara, yang selama ini selalu ditampilkan dalam mata uang USD, mungkin akan mulai merangkak naik.

         
Sementara terkait bagaimana dampaknya terhadap perekonomian Indonesia dan juga IHSG, maka berhubung ini peristiwa ini belum pernah terjadi sebelumnya (terakhir kali IMF mengubah komposisi world reserve currency, itu terjadi tahun 1999, dan ketika itu pergerakan IHSG masih lebih dipengaruhi oleh kondisi domestik pasca krisis moneter), maka terus terang penulis tidak punya bayangan apapun. Mungkin benar kata Mr. Theo bahwa akan terjadi perubahan radikal dimana ada orang-orang yang mendadak jadi miskin, dan sebaliknya, ada orang-orang yang mendadak jadi kaya, tapi bisa juga ternyata tidak terjadi apa-apa. Sejak tahun 2011 lalu kita sudah sering direcoki dengan cerita yang seram-seram kalau Yunani bangkrut. Tapi setelah Yunani barusan benar-benar bangkrut (bangkrut secara teknis, karena rakyat-nya menolak membayar utang ke IMF), nyatanya IHSG masih adem ayem saja tuh (IHSG memang turun, tapi itu lebih karena kondisi ekonomi dalam negeri yang memang nggak begitu baik).

Disisi lain, hal ini masih sebatas isu dimana IMF mungkin akan memutuskan bahwa Yuan akan menjadi anggota world reservce currency, tapi mungkin juga tidak. Jadi mungkin kita bahas nanti lagi sajalah, kalau isu-nya beneran kejadian. Namun jika anda lebih mengerti soal dinamika pasar uang, anda bisa menyampaikan opini/analisis anda terkait Yuan ini melalui kolom komentar dibawah.



http://www.teguhhidayat.com/2015/08/ketika-yuan-menggeser-dominasi-dollar.html


Pandangan Dari Masa Depan


Menurut Adam Smith, kisah tentang uang, kebanyakan adalah kisah tentang penipuan dan kecurangan yang dilakukan oleh penerbit uang (Shelton 1994, 165).Sistem moneter saat ini menggunakan uang artifisial untuk mengantikan uang asli . Hal itu adalah manifestasi penipuan dan kecurangan (fraud). Uang artifisial sangat berbeda dengan uang asli karena uang asli mempunyai nilai intrinsik, sedangkan uang artifisial tidak. Satu-satunya nilai dari uang artifisial diberikan kepadanya oleh kekuatan-kekuatan pasar. Nilai pasarnya akan bertahan sepanjang dan hingga ada kepercayaan publik dan permintaan terhadapnya di pasar. Permintaan itu sendiri berdasarkan kepercayaan, dan kepercayaan adalah sesuatu yang dengan mudah dapat dimanipulasi atau direkayasa (Judy 1994, 340). Indonesia mengetahui kenyataan ini dengan cara yang pahit ketika mengalami krisis moneter tahun 1997. Segala sesuatu yang secara serius menganggu kepercayaan publik akan menyebabkan gelombang spekulatif yang akan menyebabkan melelehnya uang artifisial (dalam bentuk kertas, plastik, dan uang elektronik). Soft currencies, seperti rupiah, akan bubar apabila hard currencies, seperti dollar, meleleh.

Selama ini AS terus mengulur waktu mencegah melelehnya dollar. Skenario ‘kiamat’ tersebut untuk sementara waktu dicegah dengan quantitative easing (QE). QE adalah penciptaan uang dengan cara injeksi likuiditas ke sistem perbankan yang terancam bangkrut karena praktek kejahatan perbankan yang ugal-ugalan (imprudent) (Mahathir 2011). Dengan berlakunya QE 1, 2, 3, dan 4 sejak 2008 hingga 2012 yang berjumlah total sekitar $7 triliun maka AS tidak perlu lagi mencetak uang kertas karena hal tersebut merupakan suatu proses yang rumit dan membutuhkan banyak biaya. 

Konsekuensi logis dari guyuran QE ini adalah hutang AS akan semakin menggunung. Pada tahun 2013, utang AS sudah mencapai $15,977 triliun (sekitar Rp 150 kuadriliun) dan menyebabkan penutupan pemerintahnya selama 16 hari. Dan Pemerintah AS sepakat untuk menaikkan pagu utangnya dari $14,300 triliun menjadi maksimal $16,700 triliun yang berarti uang baru dapat terus diciptakan hingga mencapai batas pagu untuk kemudian dibuat batas pagu yang baru lagi demikian dan seterusnya.

Apabila AS gagal membayar utang dan defisit anggarannya maka ia akan mengalami gagal bayar. Seperti yang ditulis oleh Ralph Benko (2011) dan Judy Shelton (2009) jika AS gagal bayar maka akan muncul katastrofa dunia keuangan global dan semakin membuat dollar AS meleleh (kehilangan nilainya). Dan sebagaimana diketahui bersama, daya beli dollar AS telah meleleh hingga 92% dalam kurun waktu 65 tahun (1944-2009).


Persiapan Dan Peringatan Masyarakat Umum

Dengan demikian besar kemungkinan, melelehnya dollar akan membawa keruntuhan kepada seluruh mata uang kertas di dunia karena saat ini lebih dari 60% dari seluruh cadangan mata uang asing dalam bentuk dollar. Apabila dollar mulai tidak berlaku (demonitized), makan sistem uang fiat akan bubar dan memunculkan sistem keuangan yang baru. Sistem keuangan yang baru adalah dalam bentuk uang elektronik, ketika uang tidak dapat dilihat dan tidak dapat dipegang. Faktanya, era tanpa uang tunai ini sudah muncul saat ini dengan variasi namanya. Uang elektronik kini ini sudah menguasai 70% sistem keuangan dunia dan digunakan terutama pada transaksi uang dalam jumlah besar sementara uang kertas tetap dipergunakan untuk transaksi skala kecil.

Sistem moneter elektronik ini tidak lagi membutuhkan alat cetak, tinta, dan kertas. Yang dibutuhkan ialah keahlian dalam mengetik data masuk dan data keluar. Dengan sistem ini, otoritas moneter mengetahui berapa banyak uang yang dimiliki oleh warga, darimana didapatkan, untuk apa digunakan, dan ke mana saja dipergunakan. Ini adalah bentuk sistem spionase keuangan yang sangat canggih dan terencana dengan hebat. Selain itu, uang jenis ini mempunyai bahaya yang lebih besar dibandingkan sistem moneter sebelumnya karena dasar transaksi hanya pada transfer dan nilai uang dapat dibuat dan diubah dari ketikan byte di komputer. Dan setiap saat otoritas moneter dapat menutup rekening warga yang tidak nyaman dengan sistem ini. Trend ini adalah ancaman bentuk kediktatoran moneter yang harus diantisipasi dan diwaspadai. (Sumber: Frassminggi Kamasa, Direktorat Jenderal Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Editor: Abbas Firman)

http://dinarfirst.org/bretton-woods-...ernasional-22/


Secara strategis dan politis serta politik ekonomi, sejak akhir WW II dulu (1945) lembaga keuangan Dunia saat ini, IMF dan World Bank, sesungguhnya adalah 'tangan-tangan' Amerika Serikat di dalam menguasai dan mengendalikan sistem moneter dan keuangan dunia hingga hari ini. Jadi mustahil akan lahir sebuah kebijakan dari 2 lembaga keuangan Dunia itu, yang akan merugikan kepentingan nasional AS. 

Tapi kalau akan lahir kebijakan sistem moneter dunia baru yang "tambah" menguntungkan posisi dan "bergainging position" pihak AS dalam perekonomian dan keuangan Dunia, sangat mungkin sekali. Apa contohnya? Misalnya AS melakukan SANERING, yaitu pemotongan nilai mata uang dollar sekarang hingga 50% sehingga US Dollar yang dicetak setelah kebijakan itu keluar, nilainya sama dengan 2 kali lipat dibanding dollar yang lama. 

Dunia memang akan kolaps karena dirugikan secara sepihak oleh kebijakan semacam itu. Dan yang paling besar menanggung kerugiannya, tentulah China, karena negara ini pemegang cadangan devisa US Dollar terbear di dunia. Tapi apa China akan tinggal diam? Yaa tidaklah. Jurus China akan menerapkan sistem standart emas untuk mata uangnya, dan berupaya menciptakan lembaga keuangan tandingan IMF dan Wolrd Bank dengan standart moneter baru itu, bisa saja terjadi seperti kecemasan media Barat diatas itu. Hadirnya bank investasi China, Asian Infrastructure Invesment Bank (AIIB) bisa saja menjadi saingan Internasional Monetary Fund (IMF) di masa depan. Sebuah kutipan dari Wikileaks tahun 2011 melaporkan bahwa China berupaya mengkonversi piutang-piutangnya dalam US Dollar ke dalam bentuk emas batangan sebagai upaya berjaga-jaga kalau nilai US Dollar di devaluasi atau di Sanering di masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar