Manusia terdiri berbagai ras,
warna kulit, etnik, dan bangsa. Di seantero dunia, banyak sekali jenis-jenis
manusia ditinjau dari sisi fisiknya, dan itu pun tidak ada yang mirip.
Ada orang-orang yang berkulit
hitam yang umumnya datang dari Afrika, kecuali di sebagian utara dari Mesir
hingga Maroko. Mereka umumnya berkulit seperti orang-orang Timur Tengah
lainnya. Orang-orang Turki, Lebanon, Kurdi, dan lain-lain mirip sebagian orang
Eropa. Atau hampir mirip juga dengan orang-orang Asia Tengah seperti
Turkmenistan, Tajikistan, Uzbekistan, Kyrgistan, Iran.
Semakin ke jantung benua
Asia, ada lagi penduduk yang makin putih kulitnya dan dengan mata sipit,
seperti orang China, Jepang, Korea. Kalau ke Asia Selatan, warna kulitnya lebih
gelap seperti orang Pakistan, India, Bangladesh. Untuk Asia Tenggara, barangkali
berada di antara Asia Selatan dan Asia Timur. Orang-orangnya berkulit lebih
gelap dari orang Asia Timur tetapi lebih terang dibanding orang Asia Selatan.
Orang-orang beragam jenis ras
itu berada di sekeliling kita saat melakukan ibadah haji atau umrah ke Haramain
atau dua Tanah Haram, yaitu Mekkah Al Mukarramah dan Madinah Al Munawarah di
Arab Saudi.
Penduduk Muslim dari lima
benua pun berkumpul di Tanah Suci. Di dua kota itu, kita merasakan benar-benar
kosmopolitanisme, berada di antara penduduk dunia yang multiras atau
multibangsa. Jembatan komunikasi Perbedaan-perbedaan itu justru menjadi
jembatan komunikasi antarpenduduk dunia.
Itulah yang saya rasakan saat
beristirahat di Masjid Nabawi Madinah, selepas shalat ashar, Rabu pekan lalu.
Ada lima anak berusia kira-kira enam hingga sembilan tahun yang sedang belajar
mengaji mencandai saya.
"Dari Indonosa?"
kata seorang di antara mereka sambil cengar-cengir. Saya tertawa sambil
menganggukkan kepala seraya meralatnya, "Indonesia". Anak lainnya
menimpali, "Jawa?"
"Indonosa,
Sumatera," kata temannya yang berada di sebelahnya sambil memberi tahu
bahwa dirinya punya keturunan dari Sumatera.
Di Masjidil Haram di Mekkah,
ketika berbincang-bincang dengan orang Kashmir (India) dan Irak, Sabtu (24/3),
mereka sangat senang saat tahu saya dari Indonesia. Saya menangkap mereka kagum
pada Indonesia. Di mata mereka, nama Indonesia terdengar harum. Saya berharap
mereka hanya tahu yang baik-baik saja soal negeri kita.
Sebaliknya dari mereka saya
mendapatkan informasi menarik soal perjuangan melawan kekuasaan atau
penindasan. Irak memang terus membara sejak invasi Amerika Serikat. Kashmir
juga berulang kali memanas karena perlawanan warga Muslim.
Berbagai bangsa memang
tumpah-ruah di Mekkah dan Madinah. Menurut filsuf Perancis Ernest Renan (1882),
bangsa adalah jiwa yang dipengaruhi adanya kesamaan sejarah, nasib, untuk hidup
bersama (le desir de vivre
ensemble).
Di kalangan umat Islam,
menurut Prof Quraish Shihab, paham kebangsaan pertama kali diperkenalkan oleh
Napoleon saat melakukan ekspedisi ke Mesir. Pasca Revolusi 1789, Perancis
berupaya melebarkan hegemoninya. Kala itu Mesir dikuasai para Mamluk di bawah
kekhalifahan Utsmani. Meskipun penguasa-penguasa Mesir beragama Islam, tetapi
dibangun politik pemisahan bahwa mereka adalah keturunan Turki.
Napoleon menyatakan
orang-orang Mamluk adalah orang asing di Mesir. Napoleon pun memperkenalkan
istilah Al-Ummah Al-Mishriyah (kira-kira berarti bangsa Mesir), mereduksi
konsep yang lebih luas yaitu Al-Ummah Al-Islamiyah.
Ikatan kemanusiaan
Walaupun secara politis
terlingkari dengan negara bangsa (nation-state),
tetapi di Mekkah dan Madinah saya menyaksikan segala perbedaan itu justru
mempersatukan. Justru saling membantu, saling berbagi tempat shalat walau
berdesak-desakan, berbagi sajadah, dan sebagainya. Perbedaan benar-benar
rahmat.
Menurut Nur Syam (Tantangan
Multikulturalisme Indonesia, 2009) dengan konsep syu'uban
wa qabailan (bersuku-suku
dan berbangsa-bangsa), Islam sangat menghargai perbedaan. Ada perbedaan tetapi
memiliki kesamaan dalam tali ikatan kemanusiaan (hablum min al-nas). Seperti
teringat ungkapan filsuf Yunani Diogenes Laertius (412-323 SM) yang mengaku
sebagai warga dunia.
Perasaan seperti Diogenes
itulah yang saya rasakan waktu berada di Mekkah dan Madinah. Sangat kosmopolit,
sangat humanis!
Allah SWT jelas memiliki
tujuan menciptakan manusia dengan keragamannya itu. Di dalam Al-Quran surat
Al-Hujurat (49) ayat 13, Allah berfirman: "Wahai seluruh manusia,
sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang
perempuan, dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar
kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal".
Wallahu 'alam bissawab.
http://nasional.kompas.com/read/2012/03/25/15434512/mekkah-madinah.yang.kosmopolit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar