Uang NKRI dengan denominasi 100,000 Rupiah emisi tahun 2014
telah sukses diterbitkan pada 17 Agustus 2014 kemarin, menandai periode baru
dalam sejarah mata uang Rupiah. Sesuai dengan amanah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang, Rupiah kini dikelola
bersama antara Bank Indonesia dengan Kementrian Keuangan sebagai representasi
Pemerintah. Dalam memperingati event bersejarah ini, kami ingin menengok
kebelakang, mengenang kembali sejarah Rupiah sebagai mata uang yang resmi
berlaku di Indonesia.
Sejarah Rupiah Sebelum Kemerdekaan RI
Mata uang Rupiah bukanlah satu-satunya mata uang yang pernah
berlaku di Indonesia. Kerajaan-kerajaan Mataram Lama, Sriwijaya, dan Majapahit
telah mengenal dan menggunakan berbagai tipe "uang" yang umumnya
berupa logam. Setelah kedatangan penjajah di Indonesia pun, Indonesia telah
mengenal berbagai macam mata uang, termasuk Sen dan Gulden yang diterbitkan
oleh De Javasche Bank khusus untuk dipergunakan di Hindia Belanda (Indonesia
saat itu).
Uang 10 Gulden Hindia Belanda Yang
Diterbitkan De Javasche Bank tahun 1938
Gambar dua lembar uang kertas diatas termasuk beberapa uang
yang pernah beredar di Indonesia saat masa penjajahan Belanda yang pertama.
Setelah tentara Jepang mengambil alih menduduki Indonesia tahun 1942,
pemerintah Jepang di Indonesia berusaha menarik mata uang terbitan Belanda
tersebut dari peredaran dan menyusun bank Nanpo Kaihatsu Ginko yang mencetak uang
mereka sendiri, walaupun masih dalam bahasa Belanda, yang disebut "Gulden
Hindia Belanda".
Uang Satu Gulden Hindia
Belanda Yang Diterbitkan De Javasche Bank
Menjelang akhir pendudukan Jepang, sebagai bagian dari upaya
menarik hati masyarakat Indonesia, Jepang mencetak lagi uang baru berbahasa
Indonesia yang dinamakan "Rupiah Hindia Belanda". Namun karena
situasi ekonomi dan politik saat itu yang kacau, maka baik uang Gulden terbitan
pemerintah Hindia Belanda, Gulden terbitan Jepang, maupun Rupiah Hindia
Belanda, semuanya masih digunakan oleh masyarakat setelah proklamasi
kemerdekaan Indonesia.
Kondisi semakin parah setelah tentara Sekutu mendarat di Indonesia dan berusaha menduduki Indonesia kembali. Tentara Sekutu yang juga dikenal sebagai Netherlands Indies Civil Administration (NICA) menarik Gulden Hindia Belanda yang dicetak sebelum pendudukan Jepang dan mulai menerbitkan uangnya sendiri di Indonesia Timur yang banyak disebut sebagai "Gulden NICA" atau uang NICA.
Uang NICA 5 Rupiah
Terbitan Tahun 1943, Tampak Depan dan Belakang
Perhatikan bahwa Uang NICA terbitan tahun 1943 tersebut
menampilkan gambar Ratu Wilhelmina, (Kepala Negara Belanda saat itu), lambang
kerajaannya, serta dicetak dalam bahasa Belanda. Karena karakter uang yang
demikian, maka para pejuang kemerdekaan menolak uang tersebut. Ketika uang NICA
itu mulai masuk ke wilayah pulau Jawa, Bung Karno segera mendeklarasikan bahwa
uang NICA itu ilegal. Uang terbitan Jepang pun saat itu masih jadi pilihan alat
pembayaran untuk digunakan di Jawa dan Sumatera.
Akibat Uang NICA tersebut, pemerintah Indonesia yang baru lahir berkat proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 mulai mengambil langkah-langkah untuk menerbitkan uang sendiri. Masalahnya, sumber daya yang dibutuhkan untuk mencetak uang tidaklah kecil. Selain itu, tentara Sekutu berusaha menyerang pabrik percetakannya guna mencegah penerbitan uang tersebut.
Akibat Uang NICA tersebut, pemerintah Indonesia yang baru lahir berkat proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 mulai mengambil langkah-langkah untuk menerbitkan uang sendiri. Masalahnya, sumber daya yang dibutuhkan untuk mencetak uang tidaklah kecil. Selain itu, tentara Sekutu berusaha menyerang pabrik percetakannya guna mencegah penerbitan uang tersebut.
Oeang Republik Indonesia
Setelah melampaui perjuangan berat, pemerintah Indonesia
akhirnya berhasil merilis uang pertamanya pada 3 Oktober 1946, dikenal juga
sebagai "Oeang Republik Indonesia", atau ORI. Saat itu dideklarasikan
bahwa semua uang terbitan Jepang harus ditukar dengan ORI hingga tanggal 30
Oktober di tahun yang sama. Standar nilai tukarnya ditetapkan dengan patokan 50
Rupiah Hindia Belanda = 1 ORI. Pemerintah juga menyatakan bahwa satu ORI
memiliki nilai setara dengan 0.5 gram Emas. Rupiah Hindia Belanda yang masih
beredar setelah bulan Oktober dinyatakan tidak berlaku lagi.
Satu Rupiah ORI
Bergambar Bung Karno dan Gunung Meletus, Tampak Depan dan Belakang
Setelah penerbitan ORI, maka mata uang yang resmi menjadi
alat pembayaran di Nusantara ada dua, yaitu uang NICA dan uang ORI. Namun
demikian, di lokasi-lokasi tertentu yang relatif sulit dijangkau, uang Jepang
masih cukup banyak digunakan. Oleh karena jangkauan pemerintah yang baru juga
terbatas, maka pemerintah Indonesia mengijinkan daerah-daerah tertentu untuk
menerbitkan uangnya sendiri. Uang-uang tersebut nantinya dapat ditukarkan
dengan uang ORI setelah situasi dan kondisi memungkinkan.
Namun ORI saat itu sudah mulai bermasalah karena finansial yang buruk membuat pemerintah Indonesia yang baru mencetak semakin banyak uang guna menambah isi kas negara. Suplai uang yang terlalu banyak berakibat pada inflasi yang merajalela dan merosotnya nilai tukar ORI dari 5 Gulden NICA pada awal penerbitannya ke 0.3 Gulden NICA pada bulan Maret 1947.
Pada bulan November 1949, Konferensi Meja Bundar mengakui kemerdekaan Indonesia dalam kerangka Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri atas Indonesia yang meliputi Jawa dan Sumatera, beserta 15 negara kecil lainnya di Nusantara. Pada periode ini, RIS menyadari bahwa berbagai macam mata uang yang beredar di masyarakat mengacaukan perekonomian. Betapa tidak, saat itu ada ORI, uang NICA, uang Jepang, uang Belanda sebelum pendudukan Jepang, juga uang yang diterbitkan oleh daerah-daerah tertentu secara terpisah.
RIS berusaha mengontrol kondisi ini dengan mengumumkan pelaksanaan Gunting Syafruddin pada 19 Maret 1950. Selain itu, RIS juga sempat mencetak uang sendiri, tetapi pendeklarasian formal kemerdekaan Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1950 membuat uang RIS jadi berumur pendek.
Uang Lima Rupiah Yang
Diterbitkan Oleh Republik Indonesia Serikat
Sejarah Rupiah Setelah Kelahiran Bank
Indonesia
Setelah kelahiran NKRI, Pemerintah berupaya untuk
menghapuskan pengaruh Belanda dalam sistem keuangan Indonesia. Upaya pertama
yang dilakukan adalah dengan menggantikan mata uang terbitan Belanda
berdenominasi rendah dengan koin Rupiah pecahan 1, 5, 10, 25, dan 50 sen, serta
penerbitan uang kertas 1 dan 2 1/2 Rupiah.
Koin 25 Sen Emisi Tahun
1952, Tampak Depan Dan Belakang
Selanjutnya, Pemerintah menasionalisasi De Javasche Bank
yang merupakan bank sentral RIS menjadi Bank Indonesia. Di tahun 1952-1953,
Bank Indonesia mulai merilis uang kertas baru, mulai dari 1 Rupiah hingga 100
Rupiah. Ini menandai periode baru dalam sejarah Rupiah, dimana penerbitan dan
peredaran uang kertas Rupiah kini menjadi tugas Bank Indonesia, sedangkan uang
koin masih ditangani oleh Pemerintah secara terpisah.
Uang Satu Rupiah Emisi
Tahun 1953, Salah Satu Pecahan Yang Diterbitkan Setelah Nasionalisasi De
Javasche Bank
Sayangnya, perilisan uang baru Bank Indonesia tidak mampu
menyelesaikan keruwetan perekonomian Indonesia. Inflasi terus membubung tinggi
dan nilai tukar Rupiah pun merosot dengan cepat. Pada Maret 1950, nilai tukar
Rupiah adalah 1.60 per Dolar AS, namun dalam waktu kurang dari sepuluh tahun sudah
naik ribuan persen menjadi 90 per Dolar AS pada Desember 1958.
Kondisi ekonomi tersebut mendorong Pemerintah Indonesia untuk mendevaluasi Rupiah pada tahun 1959. Upaya tersebut lagi-lagi gagal, dan Rupiah kembali di-devaluasi beberapa tahun kemudian. Namun Rupiah masih tak terkendali, hingga pemerintahan Orde Baru dibawah presiden Suharto berhasil menstabilkan nilainya.
Kondisi ekonomi tersebut mendorong Pemerintah Indonesia untuk mendevaluasi Rupiah pada tahun 1959. Upaya tersebut lagi-lagi gagal, dan Rupiah kembali di-devaluasi beberapa tahun kemudian. Namun Rupiah masih tak terkendali, hingga pemerintahan Orde Baru dibawah presiden Suharto berhasil menstabilkan nilainya.
Uang 10000 Rupiah,
Salah Satu Pecahan yang Diterbitkan Bank Indonesia Pada Masa Orde Baru
Mulai masa Orde Baru, Bank Indonesia diberi kewenangan untuk
mencetak dan menerbitkan uang, baik dalam bentuk koin maupun uang kertas, serta
mengatur peredarannya di Indonesia. Hal ini terus berlanjut hingga pemberlakuan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang yang mendorong penerbitan
uang NKRI pada tanggal 17 Agustus lalu. Sementara itu, uang-uang lama yang
pernah beredar lainnya saat ini umumnya diperjualbelikan secara eksklusif
diantara kolektor uang lama. Lembaran uang 10000 Rupiah bergambar relief Candi
Borobudur diatas, misalnya, bisa diperdagangkan dengan harga sangat mahal di
tangan kolektor karena nilai sejarahnya serta keunikan gambarnya.
By:
http://www.seputarforex.com/artikel/rupiah/lihat.php?id=196100&title=mengenang_sejarah_rupiah_di_indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar