Rekap Kurs Rupiah Minggu Lalu
Bukannya
menguat, kurs Rupiah pekan lalu malah ambruk dan diperdagangkan di kisaran
14,100an di pasar mata uang. Langkah China
mendevaluasi Yuan besar-besaran dilansir
sebagai biang dibalik runtuhnya bursa dan nilai tukar mata uang Asia.
Dampaknya dirasakan terutama oleh negara-negara yang memiliki hubungan dagang
erat dengan Negeri Tirai Bambu, termasuk Indonesia. Setelah dibuka pada 13,642
per Dolar AS di awal pekan, kurs
Rupiah merosot drastis hingga sempat mencapai 14,146 di pertengahan pekan,
Rupiah kemudian ditutup pada 14,040 pada hari Jumat.
Devaluasi
Yuan sementara ini dinilai akan mengakibatkan penyerapan impor China menurun,
dan berdampak negatif bagi negara-negara yang menjadikannya sebagai target
ekspor utama; diantaranya Australia, Indonesia, dan Malaysia. Akibatnya, mata
uang ketiga negara ini sempat terpukul pekan lalu. Ini karena, nilai Yuan yang
lebih rendah akan mengakibatkan harga barang impor jadi lebih tinggi bagi orang
China daratan. Namun demikian, dampak lebih luas dari kebijakan China yang
mengejutkan tersebut belum bisa diukur, khususnya karena pekan ini otoritas China
telah memulai upaya menstabilisasi nilai tukarnya.
Masih
sebagai akibat dari devaluasi Yuan, pasar
menanggapi dingin laporan-laporan dari dalam negeri Indonesia meski nampak ada
perbaikan neraca berjalan dan data ritel. Reshuffle kabinet yang juga
mencakup penggantian Menko Bidang Ekonomi dan Menteri Perdagangan pun gagal
mendapatkan respon yang diharapkan.
Bank
Indonesia pada tanggal 14 Agustus melaporkan bahwa kinerja neraca berjalan pada
kuartal dua 2015 membaik. Dilaporkan terjadi penyempitan defisit neraca
berjalan menjadi 4.5 miliar Dolar AS atau 2.1% dari GDP, jauh lebih baik
dibanding defisit pada kuartal yang sama tahun lalu sebesar 9.6 miliar Dolar AS
atau 4.3% dari GDP.
Grafik Neraca Berjalan Indonesia Kuartal
III/2012-Kuartal II/2015
Sementara
itu hasil Survei Penjualan Eceran bulan Juni 2015 juga menunjukkan sedikit
peningkatan dengan indeks naik dari 20.6%(yoy) menjadi 22.9%, meski secara
month-over-month terjadi penurunan tipis dari 1.1% ke 0.9%. Laporan dari BI
tersebut juga mengungkap bahwa tekanan harga ke depan terindikasi akan menurun
disebabkan oleh lancarnya distribusi barang dan harga distributor yang relatif
stabil.
Terlepas
dari perbaikan-perbaikan tipis indikator ekonomi dalam negeri Indonesia
tersebut diatas, gejolak di luar negeri masih berlanjut. Disamping kondisi ekonomi
China masih tak menentu, partner dagang Indonesia lainnya juga mengalami
prospek pertumbuhan melambat; diantaranya Jepang dan Uni Eropa. Pada
hari Senin, Jepang melaporkan angka GDP minus yang membuka kemungkinan akan
berkepanjangannya masa sulit negeri tersebut. Sedangkan Uni Eropa hingga kini
masih bergelut dengan tingkat pengangguran tinggi, ancaman deflasi, dan
perpecahan. Faktor-faktor ini menjadikan proyeksi sektor ekspor Indonesia
menjadi suram, apalagi mengingat harga-harga komoditas juga tengah menurun.
Di
sisi lain, pemulihan ekonomi Amerika Serikat nampaknya masih berlangsung.
Kondisi pasar tenaga kerjanya makin mantap, sementara inflasi juga perlahan
merayap naik. Saat ini pasar meragukan apakah otoritas moneter AS akan berani
menaikkan suku bunga di tengah gejolak ekonomi dunia pada September mendatang,
tetapikondisi ekonomi AS umumnya dinilai masih memungkinkan kenaikan
Fed rate. Kenaikan suku bunga the Fed tersebut telah mengakibatkan
pelarian modal dari Indonesia ke luar negeri, dan diperkirakan masih akan
berpengaruh negatif bagi Indonesia dalam beberapa bulan ke depan.
Fundamental Minggu Ini
Pada
hari Senin kemarin, kurs Rupiah dibuka melemah pada 14,133 per Dolar AS di
pasar spot mata uang. Kondisi kurs saat ini sangat undervalued; dalam arti
nilai tukar Rupiah sekarang lebih rendah dibanding fundamentalnya. Dipandang
secara teknikal pun, Rupiah sudah kelewat oversold, sehingga membuka peluang
bagi mata uang berlambang Garuda ini untuk menguat. Namun demikian, semakin
lama Rupiah terdepresiasi, maka level keseimbangan bisa bergeser ke kisaran
14,000an.
Badan
Pusat Statistik (BPS) pagi ini (18/8) melaporkan bahwa neraca perdagangan
Indonesia kembali mencatatkan surplus, kali ini sebesar 1330 juta Dolar AS.
Namun demikian, apabila masing-masing unsur ekspor dan impor ditilik kembali,
maka akan terlihat bahwa keduanya masih mengalami kemerosotan. Ekspor tergerus
menjadi 11.41 milyar Dolar AS saja, atau -19.23% (yoy); terendah sejak tahun
2010. Sedangkan impor anjlok menjadi 10.08 milyar Dolar AS, atau -28.44% (yoy).
Hal ini mengindikasikan bahwa perlambatan aktivitas konsumsi dan bisnis
domestik masih terus berlanjut.
Dari
sisi fundamental, tidak banyak yang bisa mendukung penguatan kurs Rupiah.
Disamping sektor eksternal (impor dan ekspor) yang tidak kondusif, data indikator iklim bisnis PMI
Manufaktur, inflasi, GDP, dan cadangan devisa yang dirilis awal bulan Agustus memberikan gambaran yang kurang
menyenangkan tentang kondisi ekonomi Indonesia. Dalam situasi ini, pasar akan
cenderung bereaksi pada perubahan-perubahan yang terjadi di luar negeri,
khususnya laporan tentang
kondisi ekonomi China dan Amerika Serikat.
Rapat
Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) yang tengah berlangsung hari ini akan
memutuskan apakan suku bunga acuan BI rate akan tetap pada 7.5% atau diubah. Pendapat sementara memperkirakan BI
rate akan tetap, karena keputusan tersebut akan menjaga keseimbangan
makroekonomi saat ini. Penurunan BI rate tidak memungkinkan, karena apabila
diturunkan maka berpotensi memperburuk depresiasi Rupiah. Sedangkan kenaikan BI
rate juga kurang disukai karena akan makin mempersulit pelaku ekonomi domestik.
Keputusan yang diumumkan BI bisa berdampak kuat terhadap kurs Rupiah.
Prediksi Rupiah Minggu Ini
Rupiah
masih diperdagangkan dengan volatilitas tinggi di kisaran 14,000an. Secara
teknikal, ada peluang
bagi Rupiah untuk menguat dengan berkonsolidasi di dekat garis EMA-100 di
kisaran 13,700-13,800an. Namun demikian, pasar akan menantikan kabar
yang bisa menjadi pemicunya. Tanpa pemicu, Rupiah akan masih akan terdepresiasi
ke kisaran 14,000an.
Chart USD/IDR dengan indikator EMA-20,
EMA-60, EMA-100, dan MACD
(klik gambar untuk memperbesar)
(klik gambar untuk memperbesar)
Untuk
pekan ini, pelaku pasar kemungkinan masih menunggu pengumuman suku bunga BI
sebelum mengambil keputusan. Volatilitas akan meningkat di pertengahan pekan
dengan arah pergerakan tergantung pada berita yang dirilis kemudian.
http://www.seputarforex.com/analisa/lihat.php?id=243106&title=analisa_rupiah_17_21_agustus_2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar