Pengamat
valuta asing Theo F Toemion, sudah lama tidak "menampakkan diri."
Belakangan, ia seperti kembali dari pertapaan, kemudian mengungkapkan
pengamatannya selama ini. Berikut percakapan Baranews.co dengan
Theo, di Citos (Jakarta Selatan) Selasa (25/8).
Baranews: Apakah Indonesia benar-benar bisa menanggung beban,
jika gejolak kurs terjadi dalam jumlah besar, akibat rupiah yang terus menukik
tajam? Mampukah Bank Indonesia melakukan intervensi pasar menghadapi guncangan
rupiah?
Theo: Itulah pertanyaan-pertanyaan yang muncul melihat tren
rupiah yang terus bergejolak saat ini. Setelah menembus strong
resistancenya di
level 13.500, rupiah memang sedikit menguat pagi ini (Selasa, 4/8). Akan tetapi
berapa lama ketahanan rupiah terhadap guncangan, sehingga bisa terhindar dari
terkaman tren bearish yang
kian mengganas?
Saya
pernah prediksi bahwa akan sangat rentan jika rupiah berhasil menerobos level
13.500. Pasalnya, jika hal itu terjadi maka 15.000 sudah ada di depan mata.
Kemarin semua terbukti.
Dua
pertanyaan Anda tadi sudah barang tentu merupakan pertanyaan yang sangat
layak dilontarkan, karena lambat atau cepat turbulensi yang lain akan datang
juga. Mengapa datang? Karena yang namanya faktor psikologis itu sangat berperan
dalam menentukan pergerakan kurs -setidaknya dalam jangka pendek-.
Masih
jelas dalam ingatan, ketika kurs dolar AS pernah merosot hingga ke angka 90 yen
per dolar AS. Menurut perkiraan ekonom, angka itu diperkirakan merupakan angka
yang sudah melewati kurs yen/dolar AS yang diharapkan, yakni antara 100-110 yen
per dolar AS.
Baranews.co: Apa yang terjadi?
Theo: Sentimen pasar terlalu dahsyat untuk dihentikan. Waktu
itu, nilai yen menembus hingga ke angka sekitar 87 yen per dolar AS. Ketakutan
pelaku pasar terus mendorong mereka melakukan aksi jual dolar AS dan membeli
yen. Mereka khawatir, kekayaan dalam dolar AS tergerogoti dan cara
menghindarinya adalah membeli mata uang yang lagi menguat.
Kemudian
sejumlah Bank Sentral yang biasanya terdiri dari 12 bank sentral utama dunia
turun tangan dengan membeli dolar AS. Tujuannya memperkuat dolar AS. Tetapi
Bank Sentral pun tidak mampu menahan dolar AS yang terus anjlok.
Mengapa?
Lagi-lagi karena sentimen terhadap dolar AS sedang meningkat. Dana yang
dimiliki sejumlah bank sentral itu kalah besar dibandingkan dana yang dimiliki
pelaku pasar uang di dunia.
Jadi
salah besar jika Bank Sentral mencoba menantang pasar. Mereka akan ditelan
spekulan, karena kemampuan para “big boys” ini
jauh di atas kekuatan pasar. Demikianlah faktor psikologis yang sekali lagi,
tidak jelas kapan mulai dan kapan akan berakhir. Kedatangannya benar-benar
bagaikan maling di malam hari, ataupun bahkan di siang hari. Tak bisa diduga
kapan datangnya.
Baranews.co: Lantas bagaimana dengan Indonesia ?
Theo: Yang jelas, berapapun jumlah devisa kita, tetaplah
jauh lebih kecil dari sekitar 1,23 triliun dolar AS yang dimainkan di pasar
uang dunia setiap harinya. Dari segi jumlahnya saja sudah bisa dibayangkan
berapa besar kemampuan melakukan intervensi pasar.
Kini
memang ada kerja sama sejumlah Bank Sentral Asia untuk menolong satu negara
yang mata uangnya diserbu, tetapi itu tidak ada artinya seandainya guncangan
yang datang terlalu keras. Jangankan bank-bank Sentral Asia, bank sentral
negara maju pun tak kuasa menahan gejolak kurs meski melakukan intervensi.
Juga
masih jelas dalam ingatan, ketika krisis Meksiko sepanjang tahun 1995.
Setidaknya ada empat kali rupiah mengalami guncangan. Padahal, pelakunya masih
terbatas pada NatWest saja. Dia mencoba membeli dolar AS versus rupiah. Setelah
dolar AS menguat terhadap rupiah, sejumlah pemain di pasar turut membeli dolar
AS versus rupiah. Setelah dolar AS menguat, NatWest menjual dolar AS dan meraup
untung. Pemain yang kemudian membeli dolar AS menanggung rugi karena tindakan
aksi jual NatWest yang membuat kurs dolar AS melemah setelah ditinggal. NatWest
keluar dari pasar sebagai pihak yang diuntungkan.
Baranews.co : Nah, saat itu disinyalir baru ada satu bank yang
mencoba memainkan dolar AS terhadap rupiah. Bagaimana jika ada sejumlah bank
lain, yang turut bermain?
Theo: Dampaknya tak terbayangkan. Sekedar informasi, sebuah fund manager di pasar uang ada yang memiliki dana
menganggur sebesar 500 juta dolar AS untuk dimainkan. Jika jumlah itu
dimainkan, bisa saja selisih kurs jual beli dilewati dalam satu hari saja.
Pesan
yang disampaikan adalah, tidak usah mengeluarkan komentar bahwa kita bisa
menghadapi gejolak kurs seandainya gelombang besar menerpa. Juga tidak usahlah
mengatakan gejolak kurs tidak akan berdampak pada rakyat kebanyakan. Secara
langsung rakyat kecil memang tidak memiliki dana yang bisa dimainkan di pasar
uang.
Tetapi
cadangan devisa di BI adalah merupakan kekayaan rakyat yang bisa terimbas jika
gejolak di pasar uang dan bursa menerpa.
Lalu
mengapa Indonesia, sejauh ini selamat dari terpaan gejolak kurs. Itu disebabkan
Indonesia bagai diselamatkan lonceng berbunyi (save by the bell). Faktor
yang membuat lonceng berbunyi itu ada banyak. Antara lain faktor psiologis yang
tiba-tiba reda begitu saja. Bukan karena ada bantahan bahwa fundamental ekonomi
kuat, tetapi karena faktor psikologis itu menilai tindakannya cukup untuk
sementara, yang seperti disebutkan datang dan pergi tak bisa diprediksi.
Faktor
lain yang juga menyelamatkan rupiah adalah karena pelaku di pasar uang belum
begitu berminat memainkan mata uang rupiah. Pelaku pasar AS, Eropa masih belum
banyak yang memandang mata uang negara ini sebagai mata uang yang bisa
diperjudikan. Dalam kondisi tidak banyak pemain, maka gairah menggoyang suatu
mata uang negara juga relatif rendah.
Sementara
itu yang kenal dengan rupiah secara baik adalah pihak Asia, terutama Singapura,
Hongkong dan Jepang. Tidak heran jika gejolak kurs rupiah biasanya dipicu dari
Singapura. Itu sudah terjadi sejak dekade 1980-an.
Juga
beruntunglah Indonesia memiliki kerja sama erat dengan Bank Sentral Asia
lainnya, setidaknya mereka berjanji untuk tidak menyerbu mata uang sesama
“kawan.”
Faktor
lain adalah Indonesia masih memiliki bank-bank pemerintah, yang turut
mempengaruhi gejolak kurs dari dalam negeri jika mereka menginginkan.
Lantas
bagaimana dengan bank swasta besar papan atas, yang jumlahnya semakin banyak.
Kekuatan mereka juga bisa merusak nilai rupiah. Tetapi untunglah, mereka itu
masih bisa didekati oleh Bank Indonesia, agar tidak turut menjual rupiah dan
ditukarkan ke dolar AS. Semua faktor itulah antara lain yang membuat Indonesia
diselamatkan lonceng berbunyi itu.
Baranews.co: Pertanyaan besar sekarang adalah, apakah Indonesia
masih bisa Saved By The Bell, terkait dengan rupiah yang sudah berhasil menembus strong resistance-nya?
Theo: Bahkan ada pernyataan resmi pemerintah bahwa tidak banyak
yang bisa dilakukan, karena pelemahan rupiah terhadap dolar juga ditentukan
oleh pihak luar, dalam hal ini Federal Reserve yang berencana menaikkan suku
bunga.
Kalau
sudah begini apa yang mesti dilakukan. Solusi apa yang harus diambil, supaya
peristiwa buruk 1998 ketika kita digoyang oleh badai krisis, tidak kembali
terulang.
Mari
sedikit melakukan flash back.
Bulan
September 1992 mata uang Inggris poundsterling diserang. Untuk mengatasi
serbuan terhadap poundsterling tersebut, otoritas moneter Inggris yang sangat
terkenal bertangan dingin dan ditakuti di dunia melakukan apa yang disebut
sebagai “rock and roll’ atas
tingkat suku bunganya. Bahkan terjadi concerted intervensi
atau intervensi untuk menopang mata uang Inggris yang dilakukan secara orchestrated bersama dengan sejumlah bank
sentral tujuh negara terkaya dunia atau G-7 (Group of Seven)
yang terdiri atas Amerika Serikat (AS), Inggris, Perancis, Jerman, Jepang,
Kanada dan Italia.
Namun
ternyata tidak cukup G-7 saja yang berperan dalam intervensi bersama tersebut.
Di layar Reuters saat itu muncul nama-nama seperti Bank Sentral Belanda, Swiss,
Spanyol dan bahkan Portugal dan segudang Bank Sentral besar dunia ikut nimbrung.
Apa
yang terjadi kemudian sangat mengejutkan: pasar tetap panik dan untuk pertama
kali dalam sejarah Bank Sentral sangat dilecehkan oleh ulah para spekulan.
Selama ini Bank Sentral selalu ditakuti, karena mereka memiliki dana dalam
bentuk cadangan devisa. Apalagi kalau bergabung bersama untuk melakukan
intervensi. Sekali bank sentral masuk, pasar segera menjadi anak manis dan
penurut. Tapi sayang waktu itu, usaha intervensi bank sentral gagal total.
Sejarah
mencatat dan hal ini pun menjadi catatan saya sebagai kejadian yang pertama
kali dalam sejarah, sejak uang menjadi komoditi yaitu sejak Plaza Accord,
September 1985. Sejak Plaza Accord tersebut, maka bermain dalam valuta asing
(valas) sangat menggiurkan.
Banyak
pemain yang berspekulasi dalam pasar valuta asing ini yang disebut spekulan.
Mereka terus menjadi besar dan muncul sebagai kekuatan baru, yang sanggup
melawan kekuatan otoritas moneter negara negara kaya.
September
1992 menjadi momentum “pemberontakan” para spekulan untuk berani melawan
otoritas moneter negara-negara kaya. Dalam peristiwa yang dikenal dengan
“drama moneter Eropa”, poundsterling Inggris harus terpental keluar dari European Monetary
System (Sistem
Moneter Eropa/ EMS). Tragis.
Dunia
tercengang. Segudang Bank Sentral intervensi membeli pound, tetapi mata uang
itu terus melorot. Kejadian ini menjadi perbincangan hampir semua media masa
dunia dan semua terfokus kepada fenomena baru ini.
Nama
George Soros muncul ke permukaan. Waktu itu saya katakan, hati-hati. Bukan
tidak mungkin orang-orang yang sama akan datang dan memporak-perandakan kawasan
Asia termasuk rupiah. Luar biasa, tepat lima tahun kemudian benar-benar para
spekulan tersebut datang dan memporakporandakan kawasan Asia termasuk rupiah.
Saya
sangat setuju dengan apa yang dilontarkan Wakil Perdana Menteri Malaysia pada
saat gencar-gencarnya spekulan menghantam kawasan Asia. Beliau mengatakan sebagai
berikut : Setiap mahasiswa di perguruan tinggi jangan lagi terlalu tergantung
kepada teori dan ideology konvensional seperti Das Kapital dari Karl Marx yang
akan membuat mata pelajaran mereka menjadi kuno.
Saatnya
sekarang setiap mahasiswa diajarkan bagaimana berurusan dengan spekulan mata uang
dan cara-cara menyikapi masalah masalah di kemudian hari akibat ulah mereka.
Jelang
terjadinya krisis 1998, sudah saya perkirakan rupiah bakal terimbas dan menuju
titik terendah. Saat rupiah masih bertengger di 9.000, saya prediksi akan jatuh
sampai di 18.000 dan sungguh itu menjadi kenyataan.
Lantas
kembali ke kejadian akhir-akhir ini. Jika benar rupiah akan segera menuju
15.000, apa yang harus kita lakukan? Tidak ada satupun manusia Indonesia yang
ingin mengulang kelamnya krisis 1998.
Sudah
saatnya reaksi pemerintah untuk bertindak di luar konsep-konsep teoritis(textbook). Terapi (therapy) yang
sifatnya textbook alias
teori hanya cocok apabila situasi normal. Hari ini, kita sedang menghadapi
situasi yang benar benar tidak normal.
Yang
kaya makin kaya. Ada yang memiliki uang sebanyak jumlah cadangan devisa negara
kita kok berani-beraninya terus membuka sistem devisa kita. Peringatan ini
khususnya bagi pengagum pasar bebas yang masih berada di pemerintahan.
Baranews.co:
Lalu apakah Indonesia bisa terselamatkan lagi?
Theo: Jawaban saya bisa. Kita bisa menghindari “hukuman
internasional” lewat serbuan pada rupiah. Indonesia bisa membuktikan kalau kita
benar-benar bisa berdaulat dan berdikari baik dalam ekonomi, politik dan
budaya, sesuai dengan ideologi Trisakti.
Baranews.co: Rupiah harus dijaga. Bagaimana caranya?
Theo: Refrain from convertibility untuk sementara waktu. Harus selalu ada underlying
transaction, sementara
di waktu bersamaan semua transaksi dengan motif spekulasi harus dihajar dengan
keras.
Kemudian
benahi semua inefisiensi yang masih ada, khususnya dalam penggunaan anggaran.
Pemerintah juga harus memperketat investasi portofolio jangka pendek, karena
sifatnya spekulatif dan tidak memiliki added value untuk bangsa kita. Hal
ini harus dilakukan untuk menghindari terjadinya crash di lantai bursa.
Setelah
portofolio jangka pendek diperketat, pemerintah harus mempermudah direct
investment serta investasi yang bersifat jangka panjang, kemudian harus ada
insentif berupa jaminan keamanan dan kepastian hukum bagi para investor.
Sudah benar apa yang dilakukan Presiden Jokowi saat ini yaitu membangun
infrastruktur, pabrik, dan pengembangan industri lain, ketimbang menggunakan
devisa untuk judi di pasar modal atau pasar uang.
Namun
di atas semuanya, harus diingatbahwa Bank Indonesia harus sekalilagi dikuasai
oleh pemerintah. Jangan seperti sekarang yang independen, menjadi negara dalam
negara, sehingga yang berkuasa di republik ini bukanlah Presiden Jokowi, tetapi
Gubernur Bank Indonesia.
Apapun
yang nanti dilakukan oleh pemerintah, kita tetap harus cermati, jangan sampai
rupiah melaju dan menyentuh level 15.000.
Baranews.co: Jika itu sampai terjadi, apakah kita akan kembali
Saved by the bell?
Theo: Only heaven knows.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar