Rabu, 11 November 2009

Dari Tragedi ke Reformasi Kebudayaan


Barangkali Anggoro dan Anggodo, dua kakak beradik keluarga Widjaja, adalah pengusaha cukup kaya. Akan tetapi tentu tidaklah sekaliber miliarder seperti keluarga Soeryajaya, keluarga Riyadi, keluarga Halim, keluarga Sampoerna, keluarga Salim, keluarga Bakrie, dan sederet nama pengusaha top lainnya.

Mungkin keduanya pun tidak termasuk 20, bahkan 50, pembayar pajak terbesar di negeri ini. Namun, kini kita tahu, bahkan pengusaha "kelas" dua seperti mereka pun memiliki kemampuan untuk memengaruhi jalannya proses kenegaraan, dari segi yuridis, di tingkatan puncak. Pihak institusi atau petinggi yang mereka pengaruhi atau sertakan dalam drama "KPK" sungguh tidak sembarangan, levelnya tidak berhenti pada tingkat nasional, tetapi juga regional atau internasional.

Apakah tidak mungkin ada oknum dari "kelas" satu atau top yang juga bekerja dengan pola dan modus serupa, untuk perkara yang jauh lebih "tinggi" lagi? Apa yang bisa membantah kemungkinan ini? Tidak ada. Bukankah ini menjadi sebuah kabar yang sangat buruk, bahkan terburuk dalam sejarah negeri ini, bagaimana ternyata proses-proses formal kenegaraan dapat begitu saja dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan sempit dan menyesatkan dari segolongan, bahkan satu-dua orang saja?

Tidakkah ini menjadi bukti atau semacam katup dari kotak pandora sistem kenegaraan kita yang chaos karena mekanisme dan proses yang ada di dalamnya ternyata tidak berjalan sebagaimana yang diharuskan, sebagaimana yang kita pikirkan selama ini? Maka, lumrah bila kita dengan keras bertanya: negara atau bangunan kebangsaan apa yang kita bangun selama ini?

Bila ternyata hal-hal yang prinsipil dan esensial, termasuk di dalamnya berbagai keputusan strategis di bidang politis, ekonomis, dan yuridis bisa jadi hanya menjadi permainan dari broker, markus, pengusaha degil, atau preman-preman politik dan hukum, di mana kemudian sejarah hebat bangsa ini ditempatkan?

Di mana ide-ide besar founding fathers diposisikan? Di mana kesengsaraan dan perjuangan rakyat kecil diperhitungkan? Di mana sesungguhnya akal dan nurani kita bicara? Tampaknya, riwayat republik dan bangsa ini, di momen ia sedang mencoba mengenang dan merevivalisasi semangat kepahlawanannya, harus bertemu dengan sebuah momen di mana semua cita-cita dan idealisasinya kini telah menjadi basi. Kesemuanya menjadi kardus-kardus artifisial yang menghiasi kemeriahan selebrasi kemajuan (kemodernan) politik, ekonomi atau hidup sosial kita.

Bangunan meriah dan megah itu ternyata rapuh fundamennya. Kita semua tak menyadarinya karena tersihir oleh dunia-semu, simulakra yang di-diseminasi dengan rajin oleh media massa, entertainment, dan komentar para pakar yang buta. Indonesia hari ini adalah sebuah tragedi. Bukan hanya koruptor bebas berkeliaran, bahkan dipuja; pembunuh pun kini dapat menjadi pahlawan; manipulator jadi ulama; penipu jadi cendekiawan; tukang hasut jadi politikus elite; dan seterusnya.

Namun itu lebih karena kita bersama sudah alpa dan lupa pada niat dasar kita kenapa dahulu kita harus merdeka, mengapa kita harus membentuk diri menjadi sebuah bangsa, menjadi sebuah negara; kita lupa untuk apa ada yang bernama "Indonesia"?

Absennya Landasan Kultural

Marilah kita lihat bagaimana kasus segi tiga "KPK-Polri-Kejaksaan Agung" yang telah menjadi skandal hukum terbesar selama republik ini berlangsung. Hingga hari ini, kita masih melihat aktor-aktor utama yang dianggap melukai "rasa keadilan publik" tetap bebas berseliweran dengan aksi dan retorikanya.

Para penanggung jawab utama tetap bertengger di puncak kuasanya, tanpa rasa sungkan dan malu pada norma, nilai, dan tradisi kehormatan. Tiada integritas kepribadian dan kebesaran jiwa untuk memikul tanggung jawab. Melulu kekuasaan yang dibela, betapapun kekuasaan yang dia bela itu telah cacat dan ternoda di bawah penguasaannya.

Selaiknya, bukan hanya pada tingkat Kabareskrim Polri atau Wakil Jaksa Agung yang antara lain jadi tersangka oleh publik harus diberhentikan. Bahkan di tingkat Jaksa Agung, Kapolri hingga--boleh jadi-Menko Polhukam semestinya mengundurkan diri untuk menunjukkan kehormatan dan integritas kepribadiannya yang tinggi, yang membuat mereka pantas menduduki posisi-posisi penting itu.

Hal ini menunjukkan, kekuasaan-- dari pemerintahan yang ada sekarang-gagal dalam meneguhkan moralitas di dalam dirinya. Gagal dalam membentuk sebuah kultur yang membuat kekuasaan itu sendiri memiliki wibawa, rasa bangga, dipercaya, dan merepresentasi kesejarahannya yang gemilang.

Kekuasaan saat ini berdiri ternyata hanya untuk melayani dirinya sendiri, melupakan esensi dari eksistensinya sendiri, yakni: kehadiran publik. Untuk itu, sebuah kesadaran atau tindakan yang sifatnya fakultatif akan sangat tidak memadai bagi sebuah penyelesaian yang substansial dan fundamental.

Terlebih pola-pola kebijakan yang sangat pragmatis, dalam arti hanya menjadi reaksi atau antisipasi dari situasi kontemporer, sungguh hanya akan sampai pada jalan buntu atau penggandaan masalah yang sama tiada habisnya. Ternyata tampaknya kita harus menerima hal tersebut, katakanlah, saat kita mendapatkan program 100 hari kabinet baru.

Bukan hanya karena jumlah program ditambah sekadar untuk mereaksi perkembangan masalah mutakhir, tetapi juga karena absennya landasan filosofis dan kultural, semacam sebuah cetak-biru atau strategi kebudayaan yang menyeluruh, yang akan memberi kaki-kaki yang kukuh bagi bangunan masa depan yang akan dibangun.

Pemerintahan saat ini menjadi begitu pragmatis dan oportunistis, bukan saja dalam penyusunan isi kabinet maupun program-programnya, tetapi juga hingga pemilihan orang-orang dekat kepresidenan beserta dimensi urusannya. Tak ada dalam daftar dari semua nama dan dimensi itu, mereka yang berkeahlian dalam soal tradisi, kesejarahan, kesenian, atau kebudayaan pada umumnya.

Keahlian yang sesungguhnya dapat memberi semua nama dan dimensi itu alasan-alasan penting dan mendasar: mengapa, hendak ke mana,dan bagaimana sebenarnya sebuah program harus dibuat dan dilaksanakan. Bagaimana sebuah pemerintahan tidak menjadi sebuah urusan yang parsial, tetapi menjadi sebuah universum yang merangkum semua kepentingan umum.

Reformasi Kebudayaan

Bukan untuk persoalan personal jika saya harus sekali lagi dan akan terus mengatakan: Presiden dan pemerintah negeri ini semestinya siuman dari cara berpikir dan bersikap mereka yang meminggirkan dimensi kultural dalam pembangunan bangsa dan negeri ini. Apa yang terjadi belakangan ini, pembongkaran memalukan dalam skandal hukum seputar KPK, menunjukkan betapa budaya hukum kita bukan hanya tidak jalan, tidak berbentuk, rusak, tetapi sesungguhnya: tidak ada.

Sementara kesadaran paling sederhana dari intelektualitas paling standar seharusnya mafhum bahwa sebuah kerja dan organisasi yang berskala besar dan berkesinambungan membutuhkan tradisi atau kultur. Di mana baik sistem maupun para aktornya dapat dijaga dan dijamin kemaslahatan perilaku serta hasil pekerjaannya.

Absennya dimensi ini akan tetap membawa kita pada siklus masalah dan duplikasi kesulitan yang bertambah berat hingga akhirnya menjadi involusi yang menanam bom waktunya sendiri. Namun, sekali lagi, demikianlah riwayat mutakhir kita. Kata kebudayaan pun tetap disubordinasikan dalam urusan-urusan material.

Berbagai peristiwa hebat yang menghantam bangsa ini, dalam dekade mutakhir, tak juga menerbitkan kesadaran bahwa perubahan tidak cukup, bahkan tidak bisa lagi, hanya dilakukan dalam dimensi-dimensi formal-material, tapi kultural. Diterima atau tak diterima, sadar maupun tidak, peduli atau ditertawakan, perubahan atau reformasi kebudayaan itu semestinya, bahkan niscaya, akan terjadi.

Bukan mereka para pengambil keputusan yang menjadi penentu, tetapi orang banyak, juga waktu. Semoga, ini yang kita harapkan bersama, korban tidak harus jatuh karenanya. Apalagi dari kalangan mereka yang semula tak memercayainya. Semoga.(*)

Radhar Panca Dahana
Budayawan

http://news.okezone.com/read/2009/11/11/58/274303/dari-tragedi-ke-reformasi-kebudayaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar