Kamis, 19 November 2009
Marah
Ghadab (marah) bisa berarti keras, kasar, atau padat. Ghadab dapat diartikan sikap seseorang yang sedang marah, karena tidak senang terhadap perilaku atau perbuatan orang lain. Amarah kerap membuat seseorang bertindak kasar, jahat, bahkan sadis. Kata maaf nyaris tak berlaku pada orang yang ghadib (pemarah) yang bergejolak adalah nafsu ingin melampiaskan dendam kebencian.
Sikap marah ini sering kita saksikan dalam realita kehidupan saat ini. Dua kelompok mahasiswa dari dua universitas yang bertetangga (di Salemba, Jakarta) saling menyerang dengan batu, bambu bahkan dengan bom molotov. Demikiankah komunitas yang dianggap intelek menyelesaikan persoalan? Lalu orang terpana, ketika seorang kernet bis kota menemukan bungkusan yang berisi potongan-potongan tubuh manusia (mutilasi), mengapa penjahat tak cukup dengan membunuhnya (padahal membunuh saja pun sudah cukup sadis) ? Saat itu masih segar dalam ingatan masyarakat kasus mutilasi berantai oleh Riyan. Bagaimana seseorang dapat melakukan perbuatan sekeji itu dengan tangarmya? Tetapi demikianlah yang sudah terjadi. Kasus sedemikian itu bukan satu tetapi sudah berbilang jumlahnya dan dilakukan dengan modus serta alasan yang berbeda-beda.
Belum lagi kemarahan yang dilakukan massa, gara-gara kandidat yang diusungnya kalah ‘tipis/tebal’ dalam suatu pemilihan kepala daerah misalnya. Akhirnya fitnah, makian dan menghinadinakan orang lain atau kelompok tertentu menjadi sesuatu yang dianggap layak dan sah dilakukan. Kemudian dengan seragam kemarahan itu bergerak maju berhadapan dengan aparat, bentrokanpun tak terhindarkan, pagar yang kokoh (masih baru) dirubuhkan sedemikian rupa, bahkan api pun berkobar dan membakar, syaitan pun sumringah, bertepuk ria.
Jika perilaku marah ini dibiarkan tumbuh pada diri seseorang maka kehidupan akan terasa sangat panas membara, kenyamanan individu maupun sosial akan terbang semakin jauh dari sekitar kita, yang ada rasa was-was dan khawatir serta selimut ketakutan yang akan menemani gerak langkah kita.
Mengatasi Marah
Sikap pemarah adalah suatu sikap dan perilaku yang dibenci Allah SWT. Mukmin yang baik tidak akan membiarkan dirinya digrogoti penyakit marah, ia akan dengan ikhlas dan rela meminum obat anti marah walaupun pahit, yang bermerk ‘Maaf’. Bersedia memaafkan kesalahan orang lain baik diminta ataupun tidak, kesalahan yang besar ataupun yang kerdil dengan tulus ikblas, demi mengharapkan ridha illahi, berpandangan luas, bersikap arif, bijaksana dalam menyelesaikan permasalahan adalah obat peredam amarah yang amat ampuh.
Firman Allah SWT “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan ” (QS. AIi Imran: 134).
Menahan marah, memaafkan, dan berbuat baik adalah kesatuan nilai yang mendasari ketaqwaan. Menahan amarah saja tanpa memaafkan bukan ciri orang taqwa, tetapi ciri orang pendendam. Berbagi penyakit fisik dan mental dimasak matang dalam dada yang menyimpan kemarahan. Bagaikan api memasak makanan yang jika tidak cermat bisa sampai ‘gosong’. Dan marah juga bahagian dari strategi syaitan untuk menjebak manusia kepada kesesatan.
Nabi SAW bersabda: “Sebenarnya marah itu dari syaitan, dan sesungguhnya syaitan diciptakan dari api. Dan api dapat dipadamkan dengan air, maka jika salah seorang di antara kamu marah, hendaklah ia berwudhu ” (HR. Abu Daud).
Bolehkah Marah ?
Buya Hamka menjelaskan (dalam Tasauf Moderen) kita dibolehkan marah untuk dua hal yaitu:
1. Marah mempertahankan kehormatan. Jika anggota keluarga kita dicemarkan, dihina, dilecehkan dan direndahkan orang, Kita marah dan membalas dengan marah, mengambil pembalasan menegakkan harkat martabat keluarga dengan cara yang haq. Marah yang seperti ini diberi nama ghirah lissyaraf (cemburu menjaga kehormatan).
2. Marah mempertahankan agama, ghirah alad-Dhin (cemburu atas agama), marah karena Allah (agama), menegakkan keadilan dan kebenaran. Kemarahan dalam agama membolehkan menyerang negeri musuh yang hendak mengusir kita dari negeri sendiri, dan membunuh lawan, tetapi tidak membolehkan membakar rumah, menebang pohon yang berbuah dan menganiaya musuh yang sudah mati.
Sebagai muslim berhati-hatilah mengendalikan diri, jangan sampai terperangkap sifat marah yang akan menjerumuskan kita pada dosa dan kehinaan baik dalam pandangan Allah SWT maupun manusia.
http://mimbarjumat.com/archives/187
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar