Rabu, 18 November 2009
Hakekat Suatu Kebahagiaan
Nilai kebahagiaan yang hakiki
Demi masa sesungguhnya, manusia dalam keadaan rugi, karena dengan berlalunya masa dan waktu semua potensi fisik mengalami kerugian dan kehancuran. Mata mulai kurang penglihatan, telinga mulai berkurang pendengarannya ini merupakan tanda bahwa kita semua merugi, bukankah itu merupakan fakta bahwa sebaik-baik bekal yang harusnya kita cari di dunia ini adalah berupa bekal taqwa kepada Allah SWT.
Sesungguhnya inti yang kita cari dalam kehidupan ini adalah kebahagiaan bukan harta dan bukan jabatan. Kita ingin bahwa jabatan itu membahagiakan dan kita mengaharapkan bahwa harta itu dapat membahagiakan, kita ingin pemilikan terhadap apapun dapat membahagiaan kita, sehingga kita dapat memperoleh kebahagiaan yang hakiki.
Coba kita perhatikan seseorang yang begitu bersemangat untuk menumpuk kekayaan, sebenarnya berawal dari filosofi bahwa untuk menolong orang lain terlebih dahulu menolong diri sendiri, untuk memberi kepada orang lain, maka kita harus memiliki dahulu.
Filosofi inilah yang mengawali semangat kita untuk memiliki harta, filosofi inilah yang membuat kita semangat untuk mencari jabatan dan kedudukan. Filosofi ini sangat dimengerti akan tetapi betapapun kehebatan filosofi ini, apabila filosofi ini diperas dengan sedemikian rupa maka dia pasti bermuara pada diri sendiri, dari sanalah tafsir terhadap diri sendiri menjadi tergelincir sedemikian rupa.
Awalnya orang mengatakan untuk menolong harus menolong diri, untuk memberi kepada orang lain harus memiliki, tetapi ketika itu harus diperas maka muaranya juga terhadap diri sendiri. Ketika orang tergelincir dari filosofi ini ternyata orang tidak sekedar cukup memiliki, tetapi harus juga akhirnya banyak memiliki dan banyak memilikipun tidak merasa cukup sehingga berkembang lagi menjadi memiliki amat banyak sekali dan inipun tidak cukup, sehingga dia pun berkembang menjadi semua ingin dimiliki.
Hati-hati, ketika kita tergelincir dari filosofi untuk memberi harus mempunyai dahulu untuk menolong orang lain harus menolong diri sendiri terlebih dahulu. Benar bahwa untuk menguatkan orang lain kita harus kuatkan diri kita sendiri, tetapi ternyata orang itu tidak merasa cukup dengan sekedar memiliki kekuatan tetapi akan berkembang menjadi aku harus memiliki kekuatan dan semua kekuatan adalah miliku, betapa filosofi ini kalau tergelincir bisa menyebabkan orang jatuh dalam kenistaan dan kedustaan.
Memang banyak kita temukan orang-orang yang mencari kekayaan karena tergelincir, justru kekayaannya menyebabkan dia masuk ke dalam kesengsaraan, kenapa? Karena orang ketika kaya mulailah dia membangun tembok-tcmbok yang tinggi, mulailah dia jaga rumahnya dengan penjagaan yang begitu ketat, ini merupakan tanda yang begitu mencemaskan, ketika orang itu populer sibuklah ia mencari tempat persembunyian agar tidak dikenali oleh siapapun, bukankah mencari tempat persembunyian adalah lambang kecemasan.
Ketika orang menjadi pejabat publik betapa dia membutuhkan tentara-tentara pribadi, betapa dia membutuhkan keamanan-keamanan pribadi bukankah itu juga bukti bahwa kita lari dari kecemasan untuk mendapatkan kecemasan yang baru.
Kecemasan karena jauh dari Allah
Dimana kebahagiaan itu, kalau kita urut, kalau kita lacak bahwa tembok yang tinggi, tentara pribadi dan tempat persembunyian itu ternyata bersumber dari rasa cemas. Kalau kita lacak lagi rasa cemas itu ternyata bersumber dari kepemilikan, apakah itu berupa harta kekayaan, ketenaran yang selama ini kita kejar dengan bekerja keras dengan segenap ambisi.
Berarti betapa konyolnya manusia selama ini, bahwa ketika dia mengeluarkan seluruh energi, mengerahkan pikiran ternyata yang didapat adalah kecemasan dan kebahagiaan itu dia tidak dapat diperoleh. Bahkan sering kita temukan orang-orang yang keliru dalam memahami arti kebahagiaan, kebahagiaan sering kali diartikan dengan naik jabatan, karir adalah tanda bahwa naik segalanya, bahwa itu merupakan tanda kebahagiaan, sehingga tidak sering dan tidak jarang kita melihat orang-orang ketika naik jabatannya melakukan tasyakuran dan dia tidak memahami bahwa jabatan itu adalah penderitaan baru. Tekanan baru dan cobaan baru juga.
Bahkan yang lebih dasyat lagi ada orang kebahagiaan adalah popularitas sebelum dia populer dia begitu tenang, tetapi jika dia sudah populer betapa gelisahnya ia salah satu hal yang tercabut dari orang yang sangat populer adalah tercabutnya rasa ketenangan dan tercabutnya hak untuk memilih dalam mengerjakan suatu pekerjaan yang Islami, kenapa demikian?.
Karena kepopuler telah menjadi budak orang-orang yang menggemarinya, sehingga apa yang dikehendaki oleh orang yang populer ini harus bersesuaian dengan yang dikehendaki boleh orang-orang yang menggemarinya. Ketika apa yang disenangi oleh orang yang populer ini bertentangan dengan masa yang menggemarinya, maka di sini akan turunlah martabat yang populer ini.
Karena itu di dalam al qur’an Allah SWT telah menyebutkan sumber kebahagiaan itu “Ketahuilah hanya mengingatlah Allah akan mendapatkan suatu ketenangan dan kebahagiaan“. Dalam al qur’an surat Thaaha ayat 124 yang artinya “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta“.
Barangsiapa yang mempunyai harta tetapi berpaling dari Allah, maka hartanya itu akan sempit. Barangsiapa yang mempunyai jabatan tetapi jauh dari Allah, maka jabatan itu adalah jabatan yang sempit. Barangsiapa yang memiliki harta, jabatan dan kedudukan tetapi dihatinya tidak ada Allah, sungguhnya dia tidak memiliki apa-apa. Barangsiapa yang memiliki Allah, walaupun tidak memiliki apapun, sungguh dia telah memiliki segalanya karena tidak ada yang bisa ditukar dengan Allah.
Tetapi secukup apapun kita dengan harta dan Jabatan dan ketika tidak ada Allah sungguhnya itu tidak pernah cukup. Bukankah tembok yang kita bangun itu merupakan prodak dari kecemasan. Bukankah tentara pribadi yang kita bayar adalah prodak dari kecemasan. Bukankah tempat persembunyian itu kita cari dari prodak kecemasan.
Menurut Dr. Ibnu Qayyim, sesungguhnya di hati ini ada sobekan yang tidak mungkin dijahit, kecuali kalau kita dekat dengan Allah SWT. Karena di dalam hati ini ada kesepian yang tidak mungkin dihilangkan kecuali kalau kita berduan dan bermesraan dengan Allah. Dalam hati ini ada kesemasan yang tidak mungkin dibahagiakan, kecuali kalau dekat dengan Allah. Dalam hati ini ada kesedihan yang tidak mungkin diobati kecuali dekat dengan Allah.
Maka seandainya dunia dan seisinya ini dimiliki oleh hati ini tetap saja hati ini akan meronta-ronta sebelum Allah menempati hati ini. Hati ini adalah raja dan tidak ada yang memuaskan raja kecuali hanya Allah.
Kebahagiaan dan ketaatan kepada Allah
Betapa ketaatan kita kepada Allah yang membahagian kepada kita coba bayangkan ketika kita minum segelas air jarang terucap dilidah kita, jarang terdengar ditelinga kita dengan mengucapkan Alhamdulillah, tetapi lihatlah ketika air putih itu kita dapatkan setelah melakukan ketaatan kepada Allah.
Harta dan jabatan tak akan berbuah nikmat sebelum kita dekat dengan Allah SWT, karena Allah enggan memberikan ketenteraman-ketentraman dan ketenangan kepada orang yang mendurhakainya. Memang kebahagiaan itu kita dapatkan apabila kita landasi seluruh aktivitas dengan ketaatan kepada Allah SWT.
* Jika sukses memang bermakna, mengapa gedung-gedung kita semakin tinggi, tetapi emosi kita semakin dangkal.
* Jika sukses memang bermakna, mengapa jalan-jalan kita semakin lebar tetapi wawasan kita semakin sempit.
* Jika sukses memang bermakna, mengapa rumah dan mobil kita makin megah tetapi kebahagiaan itu semakin rapuh.
* Jika sukses memang bermakna, mengapa makanan kita semakin bervariasi, tetapi rejeki kita semakin sedikit.
* Jika sukses memang bermakna, mengapa obat-obatan semakin beragam, tetapi kesehatan makin rapuh.
* Jika sukses makin bermakna, mengapa harta itu semakin bertambah, tetapi kebajikan kita semakin berkurang.
* Jika sukses memang bermakna, mengapa pendapatan kita semakin tinggi, tetapi kedermawanan kita semakin menciut.
* Jika sukses memang bermakna, mengapa gaji lebih besar 2 kali lipat, tetapi stres kita semakin bertambah 3 kali.
* Jika sukses memang bermakna, mengapa kita berbelanja semakin banyak tetapi semakin tidak mampu menikmatinya.
* Jika sukses makin bermakna, mengapa kebebasan kita semakin tinggi, tetapi tanggung jawab kita semakin rendah.
* Jika sukses memang bermakna, mengapa kita semakin banyak berbicara tetapi makin sedikit untuk merenung.
* Jika sukses memang bermakna, mengapa kita semakin rajin diskusi tetapi semakin tidak mampu sehati dan sepikiran.
* Jika sukses memang bermakna, mengapa kita mencapai bulan tetapi tetangga kita semakin jauh dari hati.
* Jika sukses memang bermakna, mengapa kita sudah menjelajah ke planet tetapi sudut-sudut kita semakin tidak aman ditelusurin.
* Jika sukses memang bermakna mengapa kita sudah menaklukan Angkasa luar tetapi hati kita semakin takluk kepada kebencian dan angkara murka.
Sumber : Indah Mulya, Edisi No. 501 Th. VI - 30 November 2008
http://mimbarjumat.com/archives/248
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar