Jumat, 20 November 2009

Sosialisasikan HAKI


Berbagai kasus pencaplokan hak cipta dan paten berbagai produk dan lagu rakyat Indonesia, di antaranya lagu Rasa Sayange yang dicaplok oleh Malaysia, telah menggugat kesadaran bangsa Indonesia untuk melindungi kekayaan intelektual, produk dan budaya bangsanya dengan cara mematenkan.

Pemerintah sangat lamban, kurang peduli, bahkan sering kali alpa, dalam melindungi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) bangsa ini. Sosialisasi pendaftaran HAKI nyaris tak pernah terdengar. Jangankan berupaya menyosialisasikan, malah terkesan cenderung mempersulit. Pemeo buruk birokrasi (Jika bisa dipersulit mengapa dipermudah?) terasa bangat di negeri ini.

Selain lagu Rasa Sayange, yang merupakan lagu rakyat Indonesia (Maluku), yang belakangan dijadikan jingle iklan promosi wisata Malaysia dan telah dipatenkan pemerintah Malaysia, masih banyak lagi hak cipta bangsa Indonesia yang dicaplok pihak lain. Di antaranya lagu rakyat Betawi, Jali-Jali telah dicaplok (diklaim) sebagai lagu dari Langkawi, Malaysia.

Alat musik angklung yang khas tanah Pasundan juga diklaim sebagai paten milik Malaysia. Tempe, makanan khas Indonesia, dipatenkan oleh Jepang (enam paten) dan AS (13 paten). Demikian pula dengan Batik dipatenkan oleh AS dan sebagainya.

Atas berbagai pencaplokan HAKI itu, kita berulangkali sejenak, hanya sejenak, seperti kebakaran jenggot. Berteriak-teriak dan mencaci-maki, sejenak. Selepas itu diam seribu basa, tidak melakukan apa-apa lagi, selain sesekali hanya mengeluh. Tidak ada upaya nyata, terutama oleh pemerintah, untuk mencegah terulangnya pencaplokan HAKI bangsa ini oleh bangsa lain. Pemerintah sangat lemah dalam upaya melindungi HAKI bangsa ini.

Memang, masalah perlindungan HAKI bukanlah semata-mata menjadi tanggung jawab pemerintah. Tetapi pemerintah sangat memegang peranan strategis dan menentukan. Sehingga dalam kesempatan ini, kita patut lebih menyoroti kekurangsiapan pemerintah untuk melindungi HAKI rakyatnya sendiri.

Pemerintah sangat lemah dalam menyosialisasikan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang sering pula disebut sebagai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI), atau Hak Milik Intelektual, dan merupakan terjemahan dari Intellectual Property Right (IPR). HKI berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuk, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, serta mempunyai nilai ekonomis.

Hukum kekayaan intelektual di Indonesia diatur ke dalam dua bentuk, yaitu Hak Cipta dan dan Hak Kekayaan Industri. Hak Kekayaan Industri terdiri atas Paten, Merek, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang, dan Varietas Tanaman.

Hak Cipta, sesungguhnya ciptaan tidak wajib didaftarkan karena pendaftaran hanya alat bukti bila ada pihak lain ingin mengakui hasil ciptaannya di kemudian hari. Hak Cipta fokus kepada bidang pengetahuan dan seni dan masa berlakunya hak cipta ini sampai si pencipta meninggal dunia dan 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Dasar hukum Hak Cipta adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002. Dasar hukum Hak Kekayaan Industri adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, yang antara lain memberi jangka waktu paten selama 20 tahun, dan 10 tahun untuk paten sederhana.

Implementasi undang-undang hak cipta di Indonesia harus diakui belum sepenuhnya membumi. Banyak warga masyarakat yang masih awam terhadap undang-undang ini, termasuk di kalangan musisi, pencipta lagu, budayawan dan pekerja seni lainnya.

Selain sosialisasi HAKI yang lemah, birokrasi pendaftarannya juga masih terasa dipersulit. Pelayanan pendaftaran HAKI masih sangat jauh dari memadai. Pemberian sertifikat hak cipta kepada Presiden SBY pada saat peluncuran albumnya Rindu Padamu, Senin, 29 Oktober 2007 lalu, suatu hal yang sangat baik, bila juga dilakukan kepada semua orang pencipta lagu.

Pemerintah sangatlah bijaksana bila lebih proaktif dengan melakukan ‘jemput bola’ dalam menyosialisasikan memberikan sertifikat Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Para pemilik HAKI juga perlu mengikuti langkah Presiden SBY yang secara aktif mendaftarkan sejumlah lagu gubahannya untuk mendapatkan hak cipta.

Pemerintah sebenarnya, tahun lalu, dengan Keputusan Presiden, telah mengukuhkan tim nasional perlindungan atau penanggulangan pelanggaran hak cipta. Tujuannya bukan hanya sekadar aspek hukum yang ditegakkan. Tapi lebih dari itu, pendekatan-pendekatan budaya, pendekatan sosial, pendekatan ekonomi juga harus menyertai ekonomi kreatif yang tengah dikembangkan bangsa ini.

Perlindungan hukum karya-karya cipta hak intelektual para budayawan dan seniman Indonesia juga telah dilakukan ditandai dengan ditandatanganinya naskah kerja sama antara Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, belum lama ini. Menyusul penandatanganan itu, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Widodo AS pada Kamis (25/10) siang, juga telah mengumpulkan pihak terkait yang berhubungan dengan hak kekayaan intelektual. Pemerintah kini tengah menginventarisir berbagai produk barang, makanan, serta karya lainnya untuk didaftarkan dan dipatenkan oleh negara.

Selain perlunya peningkatan pelayanan birokrasi dalam hal pendaftaran HAKI, biaya yang masih relatif mahal juga menjadi salah satu masalah. Sepereti diakui Dirjen HAKI, Depkumham Andy Noorsaman Sommeng, untuk mematenkan sebuah hasil karya cipta memang harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Prosedurnya sebenarnya tinggal datang ke kantor Direktorat HAKI Depkumham untuk mendaftarkan dengan membuat draf paten.

Namun banyak orang yang mengeluh bahwa permohonan pendaftaran paten memakan waktu yang lama. Sesuai dengan ketentuan undang-undang saja, dibutuhkan 36 bulan untuk bisa mendapatkan hak paten. Itu pun termasuk waktu yang paling cepat. Biayanya pun terhitung mahal untuk ukuran masyarakat di Indonesia. Kurang-lebih sampai batas perlindungan itu bisa mencapai Rp 50 juta, untuk jangka waktu 20 tahun. (BI 50)

http://www.beritaindonesia.co.id/visi-berita/sosialisasikan-haki/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar