Jumat, 20 November 2009

Kisah Si Playboy



Adapun saya, Tuanku, terlahir di kota Baghdad. Masa kecil saya amat suram, banyak rintangan hidup yang saya alami. Saya adalah anak seorang pedagang terkenal. Karena usaha niaganya yang besar dan masyhur itu, ayah harus dekat dengan para pejabat. Ayah selalu berkawan dengan para pembesar dan amir. Dengan terpaksa, ayah harus masuk mengikuti kebiasaan mereka, dan hidup ala mereka. Termasuk dalam hal menyekolahkan dan mendidik saya. Sebenarnya, ayah punya perhatian besar terhadap saya.

Beberapa bidang ilmu seperti sejarah, filsafat, astronomi dan seni musik saya pelajari dengan tekun. Namun di samping menguasai ilmu tersebut, saya amat menganggap remeh matematika dan ilmu hitung. Konyol dan memalukan rasanya belajar matematika dan ilmu hitung bagi seorang anak pedagang besar seperti saya. Padahal kalau saya mau berpikir sedikit, saya tentu akan menyadari bahwa mengerti seluk-beluk usaha orang tua saya merupakan tugas utama saya.

Mungkin karena “sisik” saya yang tidak elok, setamat sekolah saya langsung mengecap hidup yang bebas dan merdeka. Terjun ke dunia dagang dan mencari sobat sebanyak-banyaknya. Saya senang dengan teman-teman saya ini karena perangai mereka memang cocok dengan saya.

Malangnya, sebelum saya menyadari prilaku buruk, bahaya dan aib yang ditimbulkannya kelak bagi hidup saya, ayah lebih dahulu meninggal. Ia mewariskan kekayaan dan harta yang berlimpah ruah, serta usaha dagangnya yang besar untuk saya. Saya mengumumkan 40 hari masa berkabung. Untuk sementara, saya memilih mengucilkan diri dulu dari teman-teman. Namun usai masa melayat habis, saya kembali ke pola hidup saya semula yang bebas. Kendati saya tetap berziarah ke makam ayah sekali seminggu.

Suatu hari, usai melakukan kegiatan amal; membagi-bagikan harta kepada orang miskin, berpuasa dan menangis selama lebih dari satu jam, saya bertemu dengan seorang teman lama. Dia mengajak saya ke suatu tempat yang agak lengang. Ternyata di sana telah menunggu teman-teman lama kami. Aneka santapan lezat, lengkap dengan khamar tua, ia hidangkan. Mereka berpesta-pora, makan dan minum sepuasnya.

Awalnya saya ingin pamit, tetapi urung karena tidak mungkin rasanya tidak ikut dengan mereka. Saya ikut makan meski perasaan gelisah kemudian muncul. Anehnya, semakin banyak saya minum, perasaan gelisah saya semakin berkurang.

Menenggak minuman telah membuat gundahku sirna
Kami pun menenggaknya sepuasnya
Di dalam jiwa ini kelembutan seperti habis tiada terkira
Tetapi pada pipi-pipi kurus itu ia nyata


Pesta pora itu berlangsung semalam suntuk hingga pagi. Baru pada paginya saya bangun dan berpakaian. Namun, sebelum berpisah kami sempat mencicipi makanan yang enak-enak dan lezat. Pada saat itulah terlintas di pikiran saya untuk singgah di sebuah tempat ibadah. Kaki pun saya langkahkan menuju tempat itu. Sesampai di sana, langsung saya sambangi makam ayah dan memanjatkan sedikit doa untuk beliau. Air mata saya yang hangat meleleh. Kaki saya tertatih-tatih berjalan pulang ke rumah. Hati saya kembali sedih dan murung.

Namun, kemalangan saya belum berakhir karena saya bertemu dengan seorang teman yang lain. Ia mengajak saya ke sebuah taman hiburan. Aneka pohon yang rindang dan buah segar memenuhi taman itu. Sebuah sungai mengalir di tengah-tengahnya. Burung-burung bertasbih pada Tuhan:

Bibir tersenyum melihat kembang yang mekar
Ketika ia menyenandungkan kedatangan pagi
Dahan-dahan yang lemah gemulai menari
Dedaunan bertepuk dan burung bernyanyi
Sungai mengalir deras seperti
Rusa yang berlari meninggalkan perangkap
Diikuti angin sepoi-sepoi
Taman itu, di sebaliknya tempat air berlindung diri


Seuntai selendang merah berendakan sutera, bertatakan mutiara dan permata, terjuntai indah di tengah-tengah taman. Di belakang tirai itu berdiri empat orang gadis yang masih belia. Gadis-gadis nan cantik dan ayu bak purnama. Pipi dan postur tubuhnya indah menawan. Matanya tajam menaburkan benih asmara. Alisnya bertaut dan halus. Pipinya kemerah-merahan dan lembut, kelingkingnya mungil, giginya bagai mutiara, sedang bibirnya bagai cincin Sulaiman. Hati saya langsung tertawan. Saya terbuai rindu dan hasrat. Seakan di dunia ini, gadis-gadis itu menjadi satu-satunya impian.

Mereka menjadi sebuah pemandangan yang paling menarik, paling menawan, paling menyenangkan dan paling indah di taman itu. Sebab, mereka dikerumuni oleh aneka kembang yang semerbak dan melati, aneka buah, serta senandung merdu burung-burung. Ada burung qumry (sejenis merpati) menyandungkan tasbih, burung yamam (sejenis merpati) yang bertengger di atas pohon sambil berkicau, serta burung merpati yang bertasbih memuji Tuhan sepanjang malam dan siang.

Sebentar kemudian kamu sudah duduk di tempat itu. Sementara tuan puteri yang cantik itu menghibur kami dengan tembang-tembangnya yang indah. Duka lara yang menghimpit hati saya pun sirna seketika hanya karena melihat para belian cantik itu. Tembang mereka yang merdu pun membuat saya larut. Saya hanyut oleh rasa senang dan takjub yang membangkitkan saya dari duduk dan menuangkan arak ke gelas-gelas mereka. Segelas anggur pengobat resah dan nafsu masuk ke kerongkongan saya:

Gilirkan gelas di tengah bunyi air dituang
Sambil bersiul, ambillah dari tangan riang
Cepat nikmati, senandung bulbul menemani
Biar terasa lepas dan bebas jiwa
Di taman yang sepoi-sepoi anginnya
Seperti harum pakaian dari semilir wangi hawanya


Cukup lama kami menikmati keriangan itu. Bersenang-senang dengan gadis-gadis bertubuh wangi. Hingga teman, yang tadi mengajak saya ke tempat itu, memberikan isyarat. Barulah saya sadar meliha, setiap tubuh harum yang beranjak pergi menggandeng satu teman laki-laki. Setiap orang berduaan di mana pun tempat yang disukainya di taman itu.

Beruntunglah saya karena gadis tercantik di antara mereka memilih saya. Saya gamit lengannya. Saya dengarkan senandungnya yang riang; suara indah, lembut dan manja. Namun, duka cita menyebabkan saya tidak mudah larut dengannya. Akhirnya ia mengambil sebuah ranting dengan jemarinya yang centil. Mulailah ia menembang:

Oh cinta, jika bukan karena mata yang jelita
Mana mungkin mata kami enggan terpejam
Manalah mungkin hati kami akan tertawan
Hingga rela menanggung cemas dan cobaan
Jangan tertipu oleh mata yang mengantuk
Berapa banyak para budak yang berhasil ditawannya
Meski kelihatan seperti hampir terpejam, mata itu terbuka bagi hati
Yang membuatnya tertawan mati


Setelah mendengar tembangnya dan tahu bahwa kami sama-sama berhasrat, saya segera merangkulnya dan membawanya berjalan-jalan di sekeliling taman. Ia menempelkan pipinya yang lembut dan wajahnya yang ayu itu pada saya sehingga api asmara saya semakin menggelegak. Bak kata seorang penyair:

Ia singkap wajahnya yang bak purnama sempurna di angkasa agung
Ia berjalan seperti dahan kokoh di taman hasrat dan manja
Sekali tampak (mengundang) seperti rusa betina
Tapi kadang tampak (menantang) seperti kijang jantan
Ia kitari matahari karena hausnya
Lalu minum dari telapak tangan purnama
Tuangan ini hanya satu malam
Bukan tiap malam
Malam itu para bujang menjadi hamba sahaya
Dan gadis-gadis menyendiri
Kekasih dengan senang hati berkunjung
Setelah perpisahan yang cukup lama
Ketika kami berduaan, jangan pernah tanyakan
Apa yang terjadi di antara kami
Mata bersumpah demi keindahan
(bisikku di dalam hati)
Tak seorang laki-lakipun yang meraih kemenangan
Seperti kemenanganku pada malam ini


Saya dekati gadis saya dan dekapkan tubuhnya ke dada. Saya hujani lesung pipitnya yang bak mutiara itu dengan ribuan ciuman. Baru puas hamba melampiaskan hasrat pada gadis jelita itu setelah menghabiskan malam dengannya, dengan hati senang dan riang.

Tetapi ketika pulang ke rumah kembali terpikir oleh saya mengapa saya begitu memperturutkan hawa nafsu, begadang, bercanda dan menghabiskan malam dengan seorang gadis padahal saya baru saja kehilangan ayah tercinta? Anehnya, semua itu saya lakukan setiap kali usai menziarahi kuburnya? Maka, saya putuskan bahwa mulai saat itu saya akan berdiam saja di rumah dan menjauhi teman-teman serta kenalan (untuk beberapa waktu) guna menghapus dosa-dosa saya yang telah lalu.

Namun, benar kata Tuhan, “Tidak kan ada yang dapat menunjuki orang yang Aku sesatkan.” Sebab, tekad ini luluh-lantak hanya dalam beberapa jam saja. Kala matahari tenggelam ingatan saya kembali pada sobat-sobat kental saya. Hingga saya pun pergi menemui salah seorang mereka. Kami lalu berjalan bersama menghabiskan malam ditemani gadis-gadis cantik. Dalam pada itu, tak sedetik pun saya biarkan waktu berlalu agar dapat menikmati kesenangan itu, tak satu pun gadis yang tak saya goda dan gombali.

Akhirnya, uang saya pun ludes. Saya jatuh miskin dan hina, tidak punya apa-apa lagi. Pada saat itulah teman-teman menjauhi saya. Bila di antara mereka ada yang kebetulan bertemu saya, ia palingkan wajahnya. Jika saya ajak bicara, ia membalasnya dengan cerca. Saya teringat pada bidal yang mengatakan:

O sobat-sobatku yang banyak bertebaran, mengapa kemurahanku jadi sia-sia
O sobat-sobatku yang tidak seberapa, mengapa kemurahanku jadi kering hampa


Akibatnya, aku pun berusaha untuk tidak menemui mereka lagi. Namun, pada suatu malam di saat saya bertarung melawan gundah dengan menghirup udara malam, saya dilirik oleh sepasang mata di seberang jalan. Seorang gadis cantik ternyata sedang asyik memandangi saya. Bak purnama ia berjalan melenggak-lenggok, pakaiannya indah dan perhiasannya mahal. Saya jadi tidak tahan melihatnya:

Seorang gadis cantik mempertontonkan kecantikannya
Dengan gaya menantang dan pipi yang montok
Aku meliriknya dan langsung mabuk dibuatnya
Kutenggak araknya lalu bagaimana mungkin aku dapat sadar?


Saya pun dengan cekatan mengiringinya dari belakang hingga berhasil menyusulnya. Ia menatap saya dengan lembut sehingga seluruh syaraf saya menjadi bergetar. Saya mendekatinya dan bertanya di mana rumahnya, apa boleh saya mengantarnya pulang? Mendengar pertanyaan saya, ia hanya menggeliat manja. Apa salah kalau kita pergi ke rumahmu saja, sambut dia. Dengan senang hati, jawab saya pula. “Jika rumahku tidak cukup lapang buatmu, ada banyak rumah di hatiku.”

Kami pun berjalan beriringan hingga sampai di depan sebuah bangunan yang tinggi dan kokoh. Aku tak tahu siapa pemiliknya. Inilah rumahku, sahutku padanya. Mendapati pintunya terkunci, saya mendorongnya sekuat tenaga hingga terbuka. Kami berdua lalu masuk. Aku kembali dan mengunci pintu seperti semula.

Setelah masuk, tak seorang pun kami jumpai di dalam. Saya senang dengan kebetulan yang agak aneh ini. Kami pun berpindah dari satu ruangan ke ruangan lain hingga sampai di sebuah kamar, dengan perabotan yang lengkap dan indah. Saya singkapkan sebagian pakaiannya seperti sedang berada di rumahnya sendiri.

Ia kemudian bersandar pada sebuah sofa dan berujar,
“Saya lapar, kamu siapin makan ya!”

Saya tidak kuasa menolak permintaannya. Saya memeriksa rumah itu, dan Tuhan memberi saya kemudahan, sehingga mendapatkan sebuah hidangan mewah. Saya hidangkan untuknya. Saya sangat senang karena semua rencana saya berjalan lancar. Setelah menyelesaikan makannya, ia berujar lagi:

“Patutkah ada makanan tanpa arak? Padahal penyair bilang:

Minum tuak ketika makan tiga untungnya
Untuk obat dan kebugaran
Pelezat rasa bagi makanan dan mengundang kegembiraan
Menghilangkan sedih dan kegundahan


“Baiklah, sayang!” ujar saya. Kembali saya periksa rumah itu hingga menemukan sebotol anggur:

Kurenggut kebebasanku hingga jika aku sampai
Dan lidah bertemu dengan bibir
Tentu aku akan menjadi bahan gunjingan
Hingga mengalirlah cerita dalam dongeng


Baunya sangat menyengat hidung. Saya tuangkan tuak itu ke dalam gelas dan kami minum sama-sama. Satu-dua teguk hingga kami pun mulai mabuk. Kami beralih dari minum tuak ke saling cumbu. Di saat kami tengah asyik dimabuk tuak dan cinta, pemilik rumah pun datang dan melihat kami sedang berangkulan sambil berciuman.

Namun, tak terlihat tanda-tanda ia akan marah dan tidak suka. Sebaliknya, ia malah tampak senang dan gembira. Katanya kepada kami:

“Hmm, sepasang kekasih. Patutkah kalian makan minum dan bersenang-senang tanpa mengundang pemilik rumah? Tapi masa tak bisa diputar. Mari kita ulangi lagi.”

Terkejut saya mendengar kata-katanya dan memandangnya penuh selidik. Tampaknya, ia orang berada. Ia lalu meninggalkan kami sebentar dan pergi ke kamar tidurnya. Setelah mengganti pakaiannya ia cepat menemui kami.

“Hanya Allah yang tahu betapa senangnya aku melihat kalian. Kalian telah meramaikan tempatku dan telah memuliakan rumahku. Aku harus minum tuak untuk itu dan berdendang riang karena melihat kalian:

Keriangan adalah jiwaku, bagaimana mungkin aku meninggalkannya
Sungguh ia indah dipandang dan didengar
Keriangan yang membuat si miskin lebih rela meraihnya
Daripada permata dan mutiara


Ia menuangi gelas kami dan memberi saya segelas. Saya pun meminumnya. Begitu terus; ia yang menuangkan, saya yang minum. Hingga saya merasa, ia ingin membuat saya mabuk. Meski sadar, tetapi apa yang berikan saya terima saja hingga saya pun benar-benar mabuk dan tergolek di ranjang. Lalu pura-pura tertidur.

Melihatku tertidur pulas, barulah ia mendekati teman perempuan saya, mencoba merayu dan memeluknya. Kini berganti, giliran perempuan itu yang memberinya minuman. Hal itu membuat rasa cemburu saya membubung tinggi, meski tetap berusaha berusaha untuk menahan diri sambil berbisik di dalam hati, “Mereka pasti sedang bercanda saja.”

Sayangnya, praduga saya salah. Melihat perempuan saya tidak menolak, si lelaki terus saja merayunya karena ia mengira saya sedang lengah. Sebelum mereka melangkah lebih jauh, saya bangkit dari tempat tidur dan segera menusukkan sebilah belati padanya. Tusukan saya menyebabkan laki-laki itu tersungkur mati.

Melihat kejadian itu, si perempuan berlari keluar rumah dan melarikan diri. Para tetangga pun segera mendatangi kami. Begitu melihat ada yang terbunuh, mereka langsung menangkap dan menyerahkan saya ke polisi. Saya pun diseret ke penjara, yang menjadi tempat menginap saya malam itu. Hari berikutnya barulah saya sadar. Saya ceritakan semua yang saya alami kepada kepala polisi. Namun, ia tetap menahan saya di penjara ini dan melepaskan perempuan itu.

Tuanku, Allah tahu bahwa saya amat menyesali perbuatan saya dan rela meninggalkan semua dosa saya karena di penjara ini saya sudah tinggal selama tiga tahun, dan mengalami berbagai bentuk penyiksaan yang menyakitkan. Hingga Tuhan memberi tempat ini kemuliaan dengan kunjungan Tuanku. Saya mohon, Tuanku, bebaskanlah saya dari penjara yang gelap ini agar sisa umur ini dapat hamba habiskan dengan menjauhi segala perbuatan jahat. Untuk itu hamba doakan agar Tuanku panjang umur.

Khalifah menolehnya sebentar lalu berujar:

“Dosa Anda terlalu besar dan kejahatan Anda lebih parah dari itu. Orang mabuk tidak dihukum karena mabuknya, tetapi hukuman membunuh jiwa orang yang Allah haramkan membunuhnya hanyalah eksekusi mati. Tujuannya agar si pembunuh menyadari kesalahannya dan agar orang lain tidak melakukan hal yang sama.”
Pada kesempatan itu juga, Khalifah memanggil algojo yang lalu memenggal lehernya. Dia pun mati, korban kebodohan dan perbuatannya konyolnya sendiri.

Sumber: Mansur, Affandi Wahbah (Penerjemah). tt. Alfu Yaum wa Yaum. Mesir: Dar al-Hilal. hal 19-25.

Diterjemahkan kembali oleh Misran.
http://majalah.sagangonline.com/index.php?option=com_content&task=view&id=60&
Itemid=138

Tidak ada komentar:

Posting Komentar