Minggu, 29 November 2009
Ilmuwan Pun Masih Bingung...
AFP/AUSTRALIAN ANTARCTIC DIVISION/BRETT QUINTON
Foto di atas diambil pada 7 November lalu. Divisi Antartika Australia memublikasikannya pada Jumat (13/11). Foto ini menunjukkan potongan es yang meluncur di Teluk Bauer, pantai barat Australia di bagian sub-Antartika di Pulau Macquarie. Ahli es Divisi Antartika Australia, Neal Young, mengatakan, potongan es tersebut merupakan bagian besar yang terlepas dari Dasar Es Ross sekitar satu dekade lalu.
Negara-negara maju (baca: negara-negara industri) saat ini kebingungan. Mereka khawatir ditagih janjinya oleh negara-negara berkembang atas ”utang karbon dioksida” sejak abad ke-18. Hal itu karena salah satu mekanisme untuk menahan laju pemanasan global adalah mengerem emisi karbon dioksida.
Karbon dioksida (CO) telah menjadi ”penjahat pemanasan global”. Pemanasan global adalah pemicu berbagai fenomena iklim ekstrem yang membuahkan berbagai bencana di berbagai belahan dunia.
Untuk mengerem emisi CO, negara-negara maju diwajibkan mengurangi emisi gas rumah kaca—diekuivalenkan dengan emisi CO atau emisi karbon—melalui kesepakatan Protokol Kyoto. Ternyata sulit. Mereka mengeluhkan turunnya laju pertumbuhan ekonomi akibat mengerem emisi karbon. Alhasil, janji itu tak terpenuhi.
Yang sekarang dihadapi dunia adalah pada Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15) dari Konferensi Perubahan Iklim PBB (UNCCC), 7-18 Desember 2009 di Kopenhagen, Denmark, (nyaris) bisa dipastikan tak akan ada kesepakatan baru. Padahal Protokol Kyoto akan berakhir masa berlakunya pada 2012.
Untuk memenuhi janji tersebut, mereka juga bisa ”membeli” pengurangan emisi karbon dari negara berkembang atau miskin. Dengan itu, dana akan mengalir ke negara berkembang.
Jelas bahwa negara-negara kaya tidak akan mau menyerahkan dana ratusan miliar dollar kepada negara miskin hanya atas dasar kepercayaan.
Di balik itu semua sebenarnya para ilmuwan pun masih kebingungan. Padahal, skema ”membayar utang karbon” tersebut membutuhkan bukti-bukti konkret pengurangan emisi.
Masalahnya, saat ini belum dimungkinkan memonitor emisi karbon dari pembakaran bahan bakar fosil atau deforestasi.
”Sistem kami saat ini tidak cukup bagus untuk bisa membandingkan (emisi karbon) satu negara dengan negara lain. Saya rasa densitas pengamatan itu membutuhkan dua tingkatan magnitude (ukuran),” ujar Pieter Tans dari badan kelautan dan atmosfer nasional Amerika Serikat (NOAA) di Boulder, Colorado, AS.
Butuh audit
Ketika kepercayaan belaka tak cukup untuk mengatasi persoalan pemanasan global dan emisi karbon dunia, yang dibutuhkan adalah sebuah proses audit, pelaporan, dan pengukuran emisi karbon di suatu negara.
Hal itulah yang kemudian menjadi fokus dari pembicaraan kesepakatan global yang dilakukan maraton dan tampaknya menemui jalan buntu.
Yang pasti, pihak PBB berharap konferensi di Kopenhagen bisa menghasilkan kesepakatan dengan kewajiban yang lebih berat bagi negara-negara maju.
Negara-negara berkembang sekarang menekan negara maju. Mereka menginginkan, dalam kesepakatan baru yang berlaku 2013 itu negara maju bersedia mengurangi emisi karbonnya pada tahun 2020 dengan 25-40 persen di bawah emisi karbon tahun 1990. Juga, negara maju dituntut mengucurkan dana miliaran dollar serta memberikan teknologi ramah lingkungan kepada negara-negara berkembang.
Negara-negara berkembang yang maju ekonominya dituntut menekan emisinya. Negara-negara itu adalah China, India, Indonesia, dan Brasil. Emisi karbon dari negara-negara tersebut masuk dalam 10 besar emiter terbesar dunia. ”Jika tak ada sistem obyektif untuk menakar kesuksesan (suatu negara), bisa-bisa orang menuntut hal-hal di luar kemampuan negara tersebut,” ujar Tans dari Laboratorium Riset Sistem Bumi, NOAA.
Sangat bervariasi
Kemampuan dari setiap negara untuk mengukur emisinya jelas berbeda-beda tergantung dari kemajuan iptek tiap negara.
Negara-negara kaya, seperti Australia dan Amerika Serikat, telah mengembangkan metode pelaporan yang bisa diandalkan. Laporan itu mengenai penggunaan energi dan emisi bahan bakar fosil.
Menurut Pep Canadell dari Global Carbon Project, ”Sangat bervariasi. Di negara berkembang laporannya tidak terlalu akurat.” Menurut dia, sampai sekarang emisi China dari batu bara, minyak, dan gas dilaporkan 20 persen lebih rendah.
Pihak NOAA membangun jaringan pengujian udara global untuk menunjukkan betapa konsentrasi gas rumah kaca terus berubah seiring waktu. Saat ini konsentrasi karbon mendekati 390 bagian per juta (ppm)—bandingkan dengan 280 ppm pada awal era revolusi industri pada abad ke-18. Jika konsentrasi mencapai 450 ppm, temperatur Bumi akan meningkat 2 derajat celsius.
Berbagai negara telah melaporkan emisi gas rumah kaca ke Pusat Data Global Badan Meteorologi Dunia. Tujuannya, untuk mendapatkan peta emisi karbon musiman dan tahunan.
Namun para ilmuwan mengakui, butuh sekurangnya satu dekade atau dua dekade untuk menemukan sistem pengawasan yang akurat agar mampu menghitung emisi dari bahan bakar fosil, deforestasi, dan perubahan tata guna lahan. Persoalan lain adalah bagaimana menghitung besar penyerapan karbon oleh pohon dan lautan—keduanya sekaligus berfungsi sebagai emiter karbon.
Kesulitan lain, gas karbon selalu bergerak ke mana-mana akibat embusan angin. Bagaimana prosesnya, para ilmuwan belum menemukan jawabannya. Yang sudah dilakukan adalah melakukan simulasi ”sederhana” dengan model komputer.
Akibat dari segala kebingungan ilmiah tersebut adalah, ”Bagi saya tak ada hubungan antara perdagangan emisi dan verifikasi yang dibutuhkan untuk itu, dengan apa yang sebenarnya kita ukur,” ujar Britton Stephens dari NCAR di Boulder.
Para ilmuwan saat ini memang masih kalah dalam bernegosiasi dengan para politikus dunia. Buktinya, perdagangan karbon terus saja mendapat dukungan. Padahal...??? (ISW)
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/11/17/08220259/ilmuwan.pun.masih.bingung...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar