Pertanyaan :
Benarkah ustadz bahwa nazar itu hendaklah hal yang berkaitan dengan adanya sebab. Misalnya, karena anakku selamat dari kecelakaan kereta api, maka besok aku akan berpuasa. Benarkah, bahwa ucapan berpuasa yang demikian sudah merupakan nazar? Sehingga besoknya benar-benar wajib puasa, padahal dia tidak berniat untuk bernazar.
Sementara ucapan yang sama, misalnya saya mau berpuasa besok, tapi tidak ada sebabnya tidak dinamakan nazar. Sehingga tidak menyebabkan wajib puasa besok? Artinya tidak berpuasa juga tidak berdosa?
Sementara dalam contoh pertama hanya mengatakan begitu saja. Tapi tidak berniat nazar. Ataukah nazar itu perlu kepada niat? Jadi seseorang harus lengkap menyatakan: “Karena anak saya selamat dari kecelakaan kereta api, maka saya bernazar akan berpuasa besok”.
Jawaban :
Dari sudut kebahasaan, arti nazar adalah “janji untuk berbuat suatu perbuatan”. Baik janji untuk melakukan perbuatan buruk, ataupun janji untuk melakukan perbuatan baik.
Sementara disisi syara’ (syari’at), dimaksudkan dengan nazar adalah janji untuk melakukan suatu perbuatan baik. Serta tidak ada nazar untuk melakukan perbuatan buruk. Karena itu sepakat para ulama bahwa haram hukumnya melakukan nazar untuk melakukan suatu perbuatan buruk Karena nazar untuk melakukan perbuatan buruk itu adalah sesuatu yang haram maka wajibnya untuk tidak menunaikannya.
Berkata para ulama fiqih dimaksudkan dengan nazar adalah mengerjakan suatu perbuatan baik yang awalnya tidak wajib (hanya mubah), karena dinazarkan maka amalan yang semulanya merupakan amalan mubah (tidak wajib) menjadi amalan wajib yang harus ditunaikan.
Kewajiban menunaikan nazar itu merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah SWT Karena firman Allah SWT menyatakan : “Dan tepatilah perjanjianmu dengan Allah apabila kamu telah berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpahmu itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat“.
(Surat 16/An Nahl, ayat 91).
Berdasarkan ayat tersebut para ulama menyatakan bahwasanya nazar merupakan “janji kepada Allah” dan tergolong sebagai salah satu bentuk sumpah.
Pada ayat yang lain Allah SWT lebih menegaskan lagi bahwa nazar adalah janji kepada Allah Firman-Nya : “Dan diantara mereka ada orang yang telah berikrar (berjanji) kepada Allah : Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh“. (Surat 9/At-Taubah ayat 75).
Ketika hamba yang telah berikrar (berjanji/bernazar itu) tidak memenuhinya maka Allah menceritakan kesudahannya
dalam empat ayat berikutnya :
1. ”Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya. mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang membelakangi kebenaran” (ayat 76).
2. “Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah. Karena mereka telah memungkiri (mengingkari janjinya) terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta” (ayat 77)
3. “Tidakkah mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan bisikan (hati) mereka dan bahwasanya Allah amat megetahui segala yang ghaib“. (ayat 78).
4. “Orang-orang munafik, yaitu orang-orang yang mencela orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mereka mencela) orang-orang (mukmin itu) yang tidak memperoleh untuk disedekahkan selain sekadar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas hinaan mereka itu. Dan untuk mereka azab yang pedih“. (ayat 79).
Dengan tegas sekali Allah SWT menyatakan bahwa prang yang bernazar tapi tidak melaksanakannya adalah orang yang munafik. Orang itu dikatakan Allah sebagai seorang pendusta dan mendapat azab yang pedih.
Juga dengan terang Allah nyatakan bahwa dimaksudkan dengan nazar itu adalah apa yang merupakan bisikan hati, karena Allah mengetahui semua yang ghaib. Jadi dengan demikian jelaslah bahwa apa yang dimaksudkan dengan nazar bukanlah harus merupakan sesuatu yang diucapkan dengan lidah, dibenarkan dengan hati dan dilakukan oleh anggota badan. Cukup dengan bisikan hati saja, maka hal itu menjadikan suatu janji antara yang bersangkutan dengan Allah SWT.
Kenapa demikian? Rupanya ada orang yang ketika berada dalam kesulitan (musibah) berjanji di dalam hatinya, tidak diucapkan. Tapi, bukankah Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui ?
Nazar yang belum ditunaikan sampai yang bernazar penmggal dunia, perlu ditunaikan (dibayar) oleh para ahli waris-nya. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud menyatakan : “Seorang perempun yang naik perahu bernazar bahwa kalau Allah Ta’ala menyelamatkannya ia akan berpuasa selama satu bulan, maka lapun selamat dan tidak berpuasa sampai ajalnya. Anak perempuannya datang kepada Rasulullah dan Beliaupun menyuruhnya berpuasa untuk perempuan yang bernazar itu“.
Pada umumnya orang bernazar karena ada sesuatu sebab. Misalnya seorang yang mau ujian bernazar kalau dia lulus ujian. Orang yang anaknya sakit bernazar kalau anaknya sehat. Orang yang bertahun-tahun kawin tapi belum mendapat anak bernazar kalau dia mendapat anak.
Tapi ada kalanya orang bernazar tanpa sebab, misalnya seorang berkata : “Aku akan shalat tahajud nanti malam”. Tanpa ada sebabnya dia mengikrarkan hal tersebut, apakah wajib ditunaikan? Padahal shalat tahajud adalah shalat sunat yang tidak berdosa bila tidak dikerjakan.
Ada dua pendapat:
1. Tidak wajib dilaksanakan. Karena nazar itu adalah seperti perdagangan haruslah ada yang dipertukarkan. Kalau tidak ada barang yang dibeli, masa membayar ?
2. Wajib dilaksanakan. karena nazar adalah merupakan janji untuk berbuat taat kepada Allah SWT. Bukanlah Maha luas Karunia-Nya. Bukankah tidak salah kalau hamba berterima kasih dengan karunia-Nya yang amat banyak itu.
Kalau mau berhati-hati maka nazar yang diikrarkan tanpa sebab, hendaklah juga ditunaikan. Karena itu jumhur ulama berfatwa “Janganlah gampang-gampang bernazar. Karena nazar menerbitkan kewajiban untuk menunaikannya”. Padahal sebelumnya apa yang dinazarkan itu hanyalah mubah atau sunat saja.
Sumber : Buletin Dakwah Al-Huda, No. 1165 - 3 April 2003
http://mimbarjumat.com/archives/744
Tidak ada komentar:
Posting Komentar