Senin, 16 November 2009

Meminta Maaf kepada Orang yang Sudah Meninggal Dunia

Pertanyaan:

Sampai adik saya meninggal dunia, saya sebagai saudara tertua tidak melakukan pembagian waris secara adil. Sekalipun adik saya itu karena keperluannya pernah beberapa kali meminta, saya tidak pernah menanggapinya sebagimana mustinya sehingga akhirnya disaat adik tersebut sakit keras, ketika saya membesuknya di rumah sakit, dia berkata dengan pelan : “Bang, apa yang saya tidak dapat hak saya didunia, akan saya tuntut di akhirat nanti”.

Saya terkesiap dengan ucapannya itu, dan semenjak itu terasalah oleh saya betapa selama ini saya telah menzalimi adik-adik saya dalam soal menguasai harta waris yang seharusnya sudah saya pecah warisnya dua puluh tujuh tahun yang silam.

Nggak lama sesudah itu adik saya meninggal dunia. Ucapannya itu selalu terngiang-ngiang ditelinga. Kemudian dengan seadil-adilnya harta waris itu saya bagi, hak adik saya itu telah saya berikan kepada anak-anaknya yang menjadi ahli warisnya. Begitu juga adik-adik yang lain yang masih hidup sama menikmati harta waris sebagaimana mustinya.

Dari adik-adik saya empat orang yang masih hidup, saya dapatkan mereka tidak terlalu gembira dengan pembagian waris yang didapatnya, karena mereka hanya menyatakan : “Sayang sekali terlambat, sehingga abang kedua sampai meninggal dunia tidak mencicipi harta waris orang tua kita”.

Atas kejadian itu saya bertanya kepada ustadz guru majelis taklim kami secara empat mata. Menurut beliau saya menzalimi adik-adik saya selama puluhan tahun. Untuk itu saya perlu meminta maaf dan ridhanya dari mereka yang masih hidup.

Nasehat ustadz tersebut telah pula saya lakukan. Semua adik-adik saya yang masih hidup, sekalipun dengan berat hati telah memaafkan saya. Tapi yang menjadi masalah bagaimana saya meminta maaf dan ridhanya dengan adik saya yang sudah meninggal dunia itu?

Dalam hal lain dalam pergaulan hidup ini, saya sendiri juga pernah melakukan kesalahan yang besar terhadap rekan bisnis dagang saya sehingga dia rugi dan bangkrut. Juga saya pernah menghianati kepercayaan orang yang memberi hutang kepada saya, yang hutang itu tidak saya bayar, sekalipun sebenarnya saya sudah mampu membayarnya.

Dan sekarang semua orang tersebut sudah meninggal dunia. Kini saya insyaf bahwa apa yang saya lakukan dahulu itu adatah suatu kesalahan yang besar, yang akan menjadi masalah besar bagi saya di akhirat kelak.

Maka disaat hari tua ini, ketika umur mendekati 70 tahun, saya menyesali apa-apa yang saya perbuat dimasa lalu itu, yang telah mendatangkan kesulitan dan penderitaan bagi orang lain. Tetapi ketika saya ingin meminta maaf dan ridhanya orangnya sudah meninggal dunia. Apakah yang bisa saya perbuat ?

Jawaban:

Para arifin (orang-orang arif) menyatakan sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna. Tapi tidak demikian halnya dengan saudara penanya sesal kemudiannya masih berguna, karena masih akan menuntun langkah-langkah disisa umur untuk memperbaiki kesalahan. Beruntunglah orang yang berumur panjang yang sempat insyaf, taubat dan memperbaiki kesalahan. Semoga saudara penanya termasuk orang yang beruntung itu.

Dalam ajaran agama Islam perbuatan dosa itu ada dua macam. Kesatu, dosa kepada Allah SWT. Kedua, dosa kepada sesama makhluk Allah SWT.

Dosa kepada sesama makhluk Allah SWT terbagi dua lagi. Kesatu, dosa kepada sesama manusia. Kedua, dosa kepada selain manusia. Misalnya dosa kepada hewan. Seperti mengikat kucing, dan tidak memberinya makan, sehingga kucing itu mati kelaparan.

Dosa kepada Allah SWT meminta ampunnya kepada Allah SWT, Sedangkan dosa terhadap sesama manusia, menyelesaikannya adalah dengan meminta maaf dan ridhanya dari orang yang kita berdosa kepadanya. Sedangkan dosa kepada hewan adalah dengan menyesalinya, serta ditebus dengan perbuatan baik.

Dosa kepada Allah SWT yang mengampuninya ya Allah SWT. Sedangkan dosa kepada sesama manusia adalah dengan meminta maaf dan ridhanya. Kalau manusia yang didosai masih hidup dan jelas alamatnya, maka masalahnya adalah mudah yaitu dengan mendatanginya dan meminta maaf dan ridhanya! Tapi, kalau yang bersangkutan sudah meninggal dunia, atau tidak ketahuan dimana tinggalnya, sehingga tidak bisa diketemukan orangnya, maka persoalannya menjadi musykil.

Seperti dikisahkan didalam satu hadis Rasulullah SAW : “Barangsiapa yang mempunyai kezaliman kepada saudaranya mengenai hartanya atau kehormatannya, maka diminta dihalalkanlah kepadanya dari dosanya itu sebelum datang hari dimana nanti tidak ada dinar dan dirham (hari kiamat), dimana akan diambil dari pahala amal kebaikannya untuk membayarnya. Kalau sudah tak ada lagi amal kebaikannya, maka akan diambil dari dosa orang yang teraniaya itu lalu dipikulkan kepada orang yang menganiaya itu ” (HR. Imam Bukhari).

Dosa terhadap sesama manusia itu ada dua golongan. Kesatu, terhadap hartanya. Kedua, terhadap kehormatannya.

Dosa mengenai harta, disepakati hendaklah dikembalikan atau diserahkan dalam keadaan sebaik-baiknya kepada pemiliknya. Atau diganti dengan barang yang lebih baik. Atau kalau tidak mampu mengembalikan dan mengganti hendaklah meminta maafnya dan ridhanya.

Kalau orangnya sudah meninggal dunia, hendaklah diserahkan kepada ahli warisnya. Kalau tidak ketahuan dimana ahli warisnya hendaklah diwakafkan atas namanya untuk kemaslahatan agama dan masyarakat, dengan niat menitipkannya kepada Allah SWT sebagai pembayar dosa tersebut, demikian fatwa dan pendapat lmam Ghazali.

Adapun terhadap dosa atas sesama manusia yang bukan mengenai hartanya, misalnya mengenai kehormatannya, apakah pernah memfitnahnya, atau memakinya, atau menghinanya, kalau mungkin hendaklah dengan meminta maaf dan ridhanya. Itulah cara yang utama dan terbaik.

Kalau tidak mungkin, karena orangnya sudah meninggal dunia atau tidak diketahui tempatnya, atau akan mengakibatkan huru hara, hendaklah dengan berendah diri dihadapan Allah SWT, seraya menyesali dosa yang diperbuat dan bertaubat, serta bersedekah atas nama yang bersangkutan dengan niat memohon kepada Allah SWT supaya pahala dari amal kebaikan itu cukup kiranya untuk membayar dosa yang diperbuat.

Karena itu pergunakanlah hari raya iedul fitri untuk bersilaturrahmi dengan semua sanak famili, teman kerabat, meminta maaf atas segala kesalahan dan dosa secara umum. Atau berkirim surat yang menyatakan meminta maaf kepada semua pihak.

Sumber : Buletin Dakwah Al-Huda, No. 1175 Tahun ke-23 - 12 Juni 2009
http://mimbarjumat.com/archives/897

Tidak ada komentar:

Posting Komentar