Jumat, 13 November 2009

Haji dan Perubahan Sosial


“Dan ingatlah ketika Ibrahim berdoa: ‘Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa dan berikan rezeki kepada penduduk yang beriman kepada-Mu dan hari kemudian.’ Allah berfirman: ‘Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS 2:126)

Seribu empat ratus tahun yang lalu pada bulan Zulhijjah. Arak-arakan manusia berjalan menuju Baitullah Ka’bah. Rasulullah Saw dengan apik dan bijaksana membimbing dan menuntun setiap jamaah yang melakukan amalan hajinya. Setelah semua melaksanakan adab-adab haji, Rasulullah dan rombongan menuju Mina. Dari atas unta al-Qashwa yang dituntun oleh Bilâl dan ‘Usamah. Dari bibirnya yang suci dan dengan wajah yang putih dan bersinar di tengah kerumunan jamaah beliau memulai khotbahnya:

“Wahai manusia, hendaklah yang hadir di sini menyampaikan kepada yang tidak hadir. Tahukah kalian hari apakah ini?”
“Hari yang suci.” jawab para jamaah.
“Negeri apakah ini?”
“Negeri yang suci.”
Bulan apa ini?”.
“Bulan yang suci.”
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, kehormatan kalian sama sucinya seperti hari ini, di negeri ini, pada bulan ini. Sesungguhnya kaum mukmin itu bersaudara. Tidak boleh ditumpahkan darahnya. Tuhan kalian satu. Bapak kalian semuanya Adam dan Adam dari tanah. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah SWT ialah yang paling takwa. Tidak ada kelebihan orang Arab di atas orang asing kecuali karena takwanya. Apakah aku sudah menyampaikan kepada kalian semuanya?”
Secara serentak jamaah menjawab, “Benar, wahai Rasulullah.”

Manusia Teomorfis yang Multidimensional

Rangkaian cuplikan khutbah Rasulullah Saw di atas memberikan gambaran kuat betapa ikatan persaudaraan dan kekeluargaan sangat penting untuk ditegakkan dalam tatanan kehidupan manusia. Letak dan rahasia kemajuan sebuah bangsa berada pada tingkat solidaritas sosial yang terbangun didalamnya. Siapapun yang terjebak ke dalam perpecahan, gerbang kehancuran menantinya kapan saja. Karenanya Rasulullah Saw menegaskan betapa darah, kehormatan, dan harta sesama kaum muslimin kesuciannya sama dengan kesucian dan kehormatan bulan haji, kota haji dan negeri haji.

Dalam bingkai sejarah yang telah berjalan sejak Rasulullah Saw meninggalkan kita, hampir setiap tahun jumlah jamaah haji bertambah. Mereka datang dari berbagai bangsa dan golongan dengan kelas sosial yang juga bervariasi. Kehadiran mereka tentu saja kerena sebuah kerinduan yang tak tertahankan untuk bertamu ke “rumah Tuhan.”

Semangat untuk bertemu dengan Tuhan dan meraih keberkahan spiritual merupakan dambaan tertinggi setiap muslimin. Hal itu tercermin melalui raut wajah setiap jamaah yang akan berangkat. Betapa tidak, mereka akan menemukan dirinya kembali kepada akar keruhanian dan menanggalkan sifat-sifat iblis dari dalam dirinya.
Para peserta Haji yang datang memenuhi panggilan Tuhan ini akan kembali menjadi manusia ideal. Manusia teomorfis yang dalam pribadinya Ruh Allah telah memenangkan belahan dirinya yang berkaitan dengan sifat-sifat Iblis, dengan lempung dan dengan tanah lumpur yang mengendap. Dia kembali kepada fitrahnya setelah meraih akhlak Allah. Dari sinilah kembali akan terbangun filsafat kemanusiaan yang benar dan standar. Karena ia merupakan negasi terhadap semua standar konvensional demi mendambakan atribut keilahian. Ia merupakan gerak maju ke arah sasaran mutlak dan kesempurnaan mutlak, suatu evolusi abadi dan tidak berhingga.

Kualitas haji inilah yang menjadi andalan untuk membangkitkan kesadaran manusia yang multidimensional. Dia bukan manusia dari budaya dan peradaban yang menumbuhkan manusia-manusia kuat secara terpisah satu sama lain. Di satu pihak terdapat manusia-manusia yang ikhlas dan saleh tetapi lemah hati nurani dan kesadarannya. Di pihak lain para jenius yang perkasa dan cemerlang, tetapi jiwanya picik dan tangannya berlumur dosa. Ada manusia yang hatinya tercurah pada kehidupan batin, pada keindahan yang serba misteri tetapi hidupnya melarat, terhina dan lemah.

Citra Manusia Haji

Hidup dan terangnya cahaya ketuhanan bagi mereka yang telah kembali dari haji akan bergerak dan memperjuangkan umat manusia dan dengan demikian dia akan menemukan Allah. Dia tidak meninggalkan alam dan tidak mengabaikan umat manusia. Di tangannya tergenggam pedang zulfikar Imam ‘Alî, sedang dalam dadanya bermukim cinta kasih bak ‘Isâ al-Masih. Dia memadukan kejeniusan berpikir dan ketundukan kepada Allah. Dia adalah manusia yang paham keindahan ilmu dan keindahan Tuhan. Dia kembali dengan kebebasan dan kemerdekaan dari belenggu nafsu dan egoisme dan berefleksi tentang kedalaman fitrah primordialnya sebagai manusia untuk keselamatan alam semesta. Dia memberontak terhadap para penindas, penipu, koruptor dengan menebarkan benih-benih revolusi bagi mereka yang kelaparan dan tertindas. Dia kembali bagaikan Yesus yang membawa pesan cinta kasih dan perdamaian, tetapi pada saat yang sama bagaikan Mûsâ sebagai pesuruh jihad dan pembebasan.

Haji yang dibawanya kembali tidak membuatnya terlena atau bahkan justru menciptakan feodalisme baru, tetapi kembali dengan cita rasa pembebasan. Bila dia seorang filosof tidak membuatnya terlena dengan nasib umat manusia. Keterlibatannya dalam politik tidak menyeretnya kepada demagogi dan kesombongan. Ilmu tidak mengurangi cita keyakinannya, sedang keyakinan tidak melumpuhkan daya pikir dan deduksi logisnya. Kesalehan tidak mengubahnya menjadi pertapa tak berdaya, sedang aktivisme dan komitmennya tidak menodai tangannya dengan immoralitas. Dia adalah manusia jihad dan ijtihad, manusia syair dan pedang, manusia kesepian dan komitmen, manusia emosi dan jenius, manusia kekuasaan dan cinta kasih, manusia keyakinan dan pengetahuan. Dia adalah manusia yang menyatukan semua dimensi kemanusiaan sejati.

Hidup tidak membuatnya menjadi makhluk unidimensional, pecah, kalah, terasing dari dirinya sendiri. Dengan memperhambakan dirinya kepada Allah SWT dia terbebas dari perhambaan terhadap benda dan manusia, sedang penyerahan mutlak kepada kehendak Allah membuatnya memberontak melawan segala bentuk paksaan. Dia adalah manusia yang telah meluluhkan kepribadian sementaranya kedalam identitas abadi umat manusia, yang dengan menafikan ke-diri-annya dia akan menemukan kehidupan yang kekal.

Tugas Manusia Haji

Setelah berhaji, lalu? Kembalinya gelar primordialnya sebagai manusia fitrah tidak dengan sendirinya sempurna hanya karena dia telah berhaji. Bukan pula simbol status tertentu yang membuatnya sebagai golongan orang-orang yang dijamin masuk surga di kampungnya. Pascahaji, kerjaannya bukan melulu berpenampilan saleh-salehan, atau menambah huruf ‘H’ atau ‘Hj.’ di depan namanya.

Kesempurnaannya diraih justru pada perjuangannya untuk membuka belenggu kebodohan, kelaparan, kemelaratan dan penindasan yang umat manusia alami. Pengalaman spiritual di Makkah ditransfernya demi kebebasan, kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia dalam gejolak api perjuangan intelektual dan sosial. Kita menantikan haji yang “asli”, berlawanan dengan haji-haji yang sering dijadikan komoditi dagang.
Haji asli adalah simbol perlawanan terhadap segala watak dan norma-norma ras dan dari adat kebiasaan hidup masyarakat — yang semuanya adalah nisbi dan merupakan produk lingkungannya — yang membelenggu nilai-nilai abadi dan ilahiah.

Haji palsu adalah mereka yang mengeksploitasi kehajiannya untuk mendapatkan keuntungan duniawi sesaat; mereka yang berdiri kukuh di atas kelasnya sendiri dan enggan bergaul dengan kelas sosial yang lebih rendah; mereka yang selalu apriori dengan segala pendapat yang menentang kelas dan kedudukan mereka. Seperti ungkapan Pramoedya Ananta Toer dalam Gadis Pantai, tentang sang bendoro yang menjaga seluruh simbol sosial dan keagamaannya di hadapan budak-budaknya.

Haji asli adalah mereka yang memandang bahwa amal salehnya tidak lagi terasa sebagai kewajiban yang dibebankan kepadanya. Akhlaknya tidak lagi sekadar koleksi yang terkendali yang dipaksakan oleh lingkungan sosial kepadanya. Berbuat baik menjadi identik dengan fitrahnya, dan nilai-nilai luhur merupakan komponen fundamental dari esensinya, inheren pada dirinya, kehidupannya, pemikirannya, dan cinta kasihnya.

Haji asli adalah dia yang kembali dalam potret manusia ideal yang memiliki: kebenaran, kebijakan, dan keindahan dalam paduan kesadaran, kemerdekaan, dan kreativitas. Dia menjadi makhluk teomorfis yang diasingkan di bumi, tapi berhasil membuktikan dengan menggabungkan cinta kasih dan pengetahuan atas semua isyarat-isyarat kemanusiaan. Adalah proyek untuk menciptakan suatu dunia baru dalam gerakan perubahan sosial yang dipenuhi dengan pencerahan intelektual dan spiritual. Dia yang kini datang sebagai khalifah Allah yang telah melintasi jalan penghambaan yang sukar, dan sambil memikul beban amanah sampailah dia kembali ke tengah umatnya dengan agenda perubahan, sehingga kepadanya para malaikat wajib bersujud. Sebagaimana syair ‘Alî Syari’atî berikut:

Dia yang lari dari Allah
Diuji disucikan di tungku dunia
Sadar, sepi, mantap
Tahulah dia kini
Jalan kembali kepada Allah,
Sahabat akbar yang sedang mengharap,
Jalan menuju Dia, menjadi seperti Dia


http://www.fatimah.org/artikel/sosial.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar