Jumat, 20 November 2009
Karena Adab, Kepimpinan Jatuh
Dalam usaha membangun peradaban Islam, kemimpinan merupakan faktor penting. Bahkan ada yang bilang, peradaban Islam ditentukan oleh pemimpinnya. Itu bisa dipahami. Bukan saja sebagai contoh bagi umatnya, seorang pemimpin pada dasarnya punya kewenangan menentukan arah peradaban yang hendak dibangun.
Kaitannya dengan itu, Prof Dr Wan Mohd Nor bin Wan Daud merilis buku terbarunya. Prof Wan Daud, begitu Peneliti Utama Institut Alam dan Tamadun Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia (ATMA- UKM) biasa dipanggil menulis buku berjudul The ICLIF Leadership Competency Model (LCM): an Islamic Alternative. Buku yang ditulis bersama Prof Dr Naquib Alatas ini menjadi buku panduan pelatihan leadership kalangan mahasiswa Malaysia.
Lahir di Kelantan pada 23 Desember 1955. Wan Daud menyelesaikan sarjana mudanya jurusan Ilmu Biologi dan masternya jurusan pendidikan di Notthern Illinois University, AS. Gelar PhD-nya diraih di The University of Chicago.
Selama studi di Amerika, ia aktif dalam kegiatan mahasiswa Islam. Ia pernah menjadi “President of the National Malaysian Islamic Study Group” dan “President of Muslim Student Association of USA and Canada”.
Bersama Prof Dr Naquib Alatas, Wan Daud juga mendirikan ISTAC (The International Institute of Islamic Thought and Civilization)
Berikut petikan wawancara koresponden Suara Hidayatullah di Malaysia, Nuim Hidayat. Wawancara dilakukan di kantornya ATMA-UKM, Bangi-Selangor, Malaysia.
Prof Attas dikenal dengan ide Islamisasinya, mengapa justru Anda mengeluarkan buku leadership?
Pertama sekali kita katakan, Islamisasi dalam bentuknya yang paling intensif mestinya dimulai dari pribadi. Nah, jika pribadi itu mau diislamkan, maka aspek pertama yang harus digarap adalah akal pikirannya. Sebab, jika pikirannya tidak dikuasai dengan pandangan Islami, maka tindak-tanduknya, akhlaknya --baik di tingkat pribadi maupun sosial atau di tingkat negara dan global-- tidak akan dapat dibentuk mengikut kehendak Islam. Dan akal pikiran seseorang itu dibentuk melalui ilmu pengetahuan.
Dalam bukunya yang monumental, Islam and Secularism, Prof Naquib al Attas, menyebut bahwa masalah umat Islam yang paling fundamental bukanlah ekonomi, ketentaraan/ militer, politik, sains (walaupun itu masalah penting), tapi masalah kekeliruan dan kekacauan ilmu pengetahuan yang berakhir pada kehilangan adab (akhlak).
Akibat kehilangan adab akan melahirkan kepemimpinan yang salah dalam semua bidang. Jadi, buku leadership sebenarnya merupakan satu proses natural dalam proses Islamisasi yang kita gulirkan bersama.
Kekeliruan ini bisa kita saksikan bersama. Misalnya yang terjadi, tokoh non- Muslim digunakan sebagai rujukan utama dalam kajian Islam. Atau seorang penyanyi dan pelawak diminta untuk menjadi pemimpin politik.
Jadi bagaimana seharusnya sifat kepemimpinan dalam Islam?
Dalam Islam, kepemimpinan bukanlah bersifat satu dimensi. Kepemimpinan adalah satu kualitas insaniyah. Seseorang itu harus bisa memimpin dirinya. Ia harus bisa memimpin jiwa aqli-nya, jiwa badaninya, nafsunya, syahwatnya atau amarahnya. Itu masih ada kaitannya dengan ilmu dan adab (akhlak). Kalau seseorang memiliki ilmu dan mengetahui akidah serta paham halal-haram, maka dia bisa mengontrol secara rasional kehendak nafsu dalam dirinya itu.
Jadi kepemimpinan bersifat multidimensi (lintas sektoral). Dia tidak bisa memimpin rakyat, jika dia tidak bisa memimpin keluarganya. Semuanya interrelated.
Apa saja karakter dasar yang mesti dimiliki seorang pemimpin?
Pemimpin dalam konteks Islam harus memahami dan menghayati worldview Islam. Worldview Islam adalah pandangan Islam yang sebenarnya harus terwujud dalam diri manusia (Muslim). Tentang Tuhan, ruh, alam, manusia dan seterusnya. Juga tentang arti kekuasaan, ilmu pengetahuan dan kebahagiaan. Ini akan membentuk worldview Islam pada diri seseorang (pemimpin). Sehingga tidak dikelirukan oleh worldview lain. Bila worldview berubah, maka motivasi dan kaidahnya juga berubah. Dia menjadi bukan lagi Islami.
Dalam buku ini juga kita paparkan bagaimana contohnya orang-orang yang mempraktekkan akidah secara baik. Ada Abdullah bin Husain, seorang jenderal dalam sejarah Islam. Dia pernah menulis surat kepada anaknya, agar ingat kepada Allah SWT, ingat hari pembalasan, orang miskin dan sebagainya.
Coba bandingkan dengan jenderal-jenderal jaman sekarang. Contoh-contoh yang disebutkan dalam buku ini adalah bagaimana hal-hal ukhrawi, imani, akhlaki mejadi pendorong utama bagi hal-hal duniawi.
Sekarang ini banyak kekeliruan. Ada dualisme, di mana memisahkan urusan dunia, politik, ekonomi dengan akhirat.
Jadi bagaimana adab yang harus dimiliki seorang pemimpin?
Adab (akhlak) yang dimaksudkan di sini adalah disiplin aqli, ruhani dan fisik. Di mana seseorang menempatkan sesuatu di tempatnya yang betul dan mengikut sistem Islam. Sehingga dia menempatkan Allah SWT sebagai Tuhan di tempat yang sebenarnya. Dengan adab menjadikan seseorang menjadi ibadurrahman, menjadi Muslim yang terbaik dan meletakkan Allah SWT sebagai tujuan pertama, bukan kedua atau ketiga.
Kalau pemimpin sekarang, ia berjanji ke masyarakat, tapi setelah Pemilu lupa. Jadi, Allah SWT hanya digunakan untuk mendapatkan dunia. Sekarang ini adab berlalu, Nabi dan para sahabatnya sudah dianggap out of date. Makanya mereka lebih suka menggunakan contoh Sun Tzu atau Jengis Khan.
Banyak contoh, akibat hilangnya adab menyebabkan jatuhnya kepemimpinan. Karena itu, bagi Prof Naquib, untuk mengembalikan budaya ilmu, budaya Islam harus berpegang pada adab. Kita harus me-refer kepada Rasulullah SAW atau kepada para ulama. Jadi adab itu adalah satu syarat untuk mengembalikan kepemimpinan dan intelektual masyarakat Islam.
Lantas bagaimana memulai menumbuhkan pemimpin-pemimpin baru dengan syarat-syarat tadi?
Umat Islam harus bangkit dengan pandangan Islami. Para pemimpin harus bisa menerima nasihat-nasihat. Mereka juga harus punya akhlak dan kewibawaan untuk memimpin.
Seorang pemimpin juga harus memahami bahwa dirinya sebagai pemimpin. Bila tidak, ia tidak boleh memimpin. Jadi harus ada kecakapan memimpin.
Jika ada orang tidak mendalam Islam tapi memiliki kecakapan memimpin dan akhlak yang baik, dia bisa memimpin. Namun, dia harus meminta nasihat yang lebih ahli. Inilah yang diharapkan Imam al Ghazali, Taftazani dan ar Raniri.
Jadi peningkatan pemahaman worldview harus dimulai dari level atas?
Ya. Karena itu, perubahan yang terpenting adalah perubahan pendidikan di tingkat tertinggi. S3, S2, S1. Ini bukan bersifat elitis, tapi strategis. Kalau orang dewasa berubah, maka anak-anak bakal berubah. Tapi kalau anak-anak berubah, orang-orangtua atau orang dewasa belum tentu berubah.
Bahaya jika anak-anak diminta shalat tapi bapaknya tidak shalat. Lama-lama anaknya tidak shalat. Karena itu, dulu kita mendirikan ISTAC bersama Prof Naquib, lantaran menganggap penting universitas. Bila universitas telah dibereskan, maka sekolah-sekolah menengah juga akan beres. Sebab, guru-guru sekolah menengah dari universitas juga, pegawai-pegawai keuangan juga dari universitas, paling kurang S1.
Kalau fokus di level bawah, maka perubahan itu tidak akan berlaku maksimal. Orang-orang Barat faham akan hal itu. Mereka tidak menggarap SD, atau sekolah menengah, tapi menggarap universitas. *
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar