Jumat, 13 November 2009

Gejolak Kemarahan



Marah
merupakan gejolak jiwa, yang menyebabkan darah dalam hati mendidih dan nafsu membalas. Seperti gua yang dipenuhi api, jilatan dan kobarannya sangat menyesakkan. Jika kobarannya besar maka upaya untuk memadamkannya akan sia-sia. Bahkan akan memperhebat kobarannya. Orang marah akan menutupi mata dan telinga terhadap saran dan nasehat. Dalam keadaan seperti itu, segala anjuran justru makin memperhebat kemarahan. Tak ada tempat untuk berpikir panjang. Mata menjadi gelap, tertutup oleh kabut kemarahan. Begitu juga dengan hati menjadi keras bagai batu karang yang tak tembus oleh petuah dan nasehat apapun. Jadi kemarahan telah merasuki jiwanya sedemikian rupa hingga ia lupa pada dirinya sendiri.

Kadar kemarahan pada tiap manusia itu berbeda-beda, bergantung pada temperamen masing-masing. Ibarat kayu basah dan kayu kering. Kayu basah akan lebih lama untuk terbakarnya dibanding kayu kering. Tapi jika kebakaran itu sudah besar maka antara kayu kering dan basah tak ada bedanya. Keduanya menimbulkan efek negatif pada lingkungannya. Begitu juga dengan kemarahan pada orang yang temperamennya berbeda. Jika kemarahannya sudah berkobar, maka benak yang seharusnya dapat memberi pertimbangan akal sehat sudah tertutup dengan kabut kemarahan.

Socrates, filsuf besar yang rela mati demi memegang teguh keyakinannya pernah berkata: ”Saya lebih mengharap pada kapal yang diserang badai angin dan ombak dahsyat, dibanding menghadapi orang yang sedang marah.” Awak kapal bisa menguasai kapal yang diterjang badai dan ombak, dengan berbagai cara dan alat. Namun pada jiwa yang sedang marah, segala upaya untuk meredakan amarah, entah dengan memohon, nasehat atau dengan sikap menunduk, malah seperti tumpukan kayu api, yang justru menambah kobaran marah tersebut.

Penyebab marah bermacam-macam. Sombong, cekcok, meminta dengan sangat, bercanda, berolok-olok, mengejek, khianat, berbuat salah dan mencari hal-hal yang membawa kemasyhuran dan yang membuat manusia saling bersaing dan iri. Puncak segala penyebab marah adalah nafsu untuk membalas dendam. Semua penyebab itu mengarah ke nafsu balas dendam.

Kemarahan akan berakibat pada sikap menyesal, mengharap dapat dihukum dengan cepat atau lambat, perubahan temperamen, serta kepedihan. Marah adalah kegilaan sesaat, yang dapat berakibat pada kematian, atau penyakit yang mengarah pada kematian. Akibat-akibat yang ditimbulkan, antara lain: dikutuk teman, musuh, dan diejek banyak orang yang dengki atau orang yang lebih rendah derajatnya.

Marah sering digunakan sebagai sarana eksploitasi orang-orang yang memegang jabatan atau kekuasaan tertentu, meski tidak berdasar sama sekali. Lihat saja perilaku marah seorang mahasiswa yang berubah drastis setelah menjadi Senior. Sebuah sebutan yang mendisorientasikan nilai-nilai kemanusiaannya saat berhadapan dengan mahasiswa baru. Lihatlah lagak seorang suami yang main maki sana-sini hanya gara-gara masakan si istri tidak berkenan di hatinya. Tengoklah gaya pejabat yang marah tidak ketulungan gara-gara jasnya tidak licin disetrika pembantunya.

Masing-masing penyebab itu ada obatnya sehingga penyebab itu bisa sepenuhnya ditiadakan. Kalau kita hendak menyingkirkan sebab-sebab ini, kita lemahkan dahulu daya marahnya, cabut substansinya, dan lindungi diri dari akibat-akibatnya. Sehingga, jika itu kembali menimpa, kita akan menaati aturan akal. Dengan begitu, tindakan kita akan benar dan terhadap orang yang tepat.
Kalau kita definisikan, arti sombong adalah salah mempercayai diri sendiri, di mana diri sendiri ditempatkan pada derajat yang tak patut dimilikinya. Berbeda dengan yang tahu diri, dia tahu cacat dan kekurangan dirinya. Sebab, kebajikan dimiliki banyak orang. Seseorang tidak bisa sempurna tanpa kebajikan orang lain. Karena setiap orang kebajikannya bergantung orang lain, maka wajiblah baginya untuk tidak bersikap sombong.

Demikian pula berbangga diri, yang merupakan berbangga pada hal-hal yang ada di luar diri kita. Orang yang berbangga diri sebetulnya membanggakan sesuatu yang bukan miliknya. Karena, bagaimana mungkin dia dianggap pemilik sesuatu itu, kalau sewaktu-waktu sesuatu itu mudah ditimpa bencana dan kehancuran, dan kita sendiri, kalaupun memilikinya, tak pernah memilikinya sepanjang hari.

Allah berfirman: “Dan berikanlah kepada mereka perumpamaan dua orang laki-laki. Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur….” Sampai firman-Nya yang berbunyi, “…Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu ia membolak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) atas apa yang dibelanjakannya untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh.” (QS 18:32).

Perumpamaan seperti ini banyak sekali di dalam Al-Quran, dan begitu pula hadir-hadir Nabi Saw. Jika orang membanggakan keturunan, kalau memang dia memilikinya, maka yang paling sering disebut adalah bahwa ayahnya adalah orang yang baik. Tapi kalau saja sang ayah berkata: “Kebaikan yang kamu sebut itu adalah milik saya sendiri, sedang kamu tidak ikut memilikinya. Maka apakah kamu memiliki kebaikan itu yang juga tak dimiliki orang lain?” Sang anak tak akan dapat menjawab, dan hanya membisu.
Banyak sekali hadis sahih senada yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw., misalnya sabda beliau: “Tidak usahlah kalian tonjolkan keturunan kalian di depanku. Akan tetapi, coba tunjukkan apa amal kalian!” Atau dalam salah satu ungkapan yang sering terdengar, “Ayo, tunjukkan dadamu, bukan orangtuamu!” Usaha dan hasil karya seseorang bukan ditentukan oleh karya orangtuanya, melainkan oleh keringat dan pikirannya sendiri.

Sedangkan bercanda, kalau memang wajar, itu tidak apa-apa, dan tidak membawa akibat marah. Namun berbahaya jika sudah berlebihan. Rasulullah Saw, juga pernah bercanda, namun tidak pernah mengatakan sesuatu yang tidak benar. Kebanyakan orang dalam bercanda bisa memulai, tapi tidak tahu kapan harus berhenti. Hal itulah yang membuat mereka melewati batas, dan bergurau berlebihan, sehingga menimbulkan kemarahan terpendam dan kebencian. Ada sebuah untaian kata dari seorang penyair seperti ini:

Berapa banyak keretakan
Yang diakibatkan oleh canda
Bahkan beberapa peperangan
Awalnya adalah senda


Marah merupakan suatu jenis penyakit jiwa paling berbahaya. Kalau orang sudah dapat menghilangkan penyebabnya, maka dia sudah tidak takut lagi bila amarah menyerangnya. Amarah apa pun yang melanda jiwanya, niscaya mudah diredakan, karena tak ada bahan yang akan mengobarkan nyala api amarahnya. Fakultas berpikirnya akan dapat memutuskan apa yang harus dilakukannya. Di sini kesehatan jiwa akan tumbuh seiring dengan kemampuan orang tersebut untuk menahan amarah.

Jadi mengembangkan diri untuk menghilangkan atau untuk mengurangi rasa emosi marah pada jiwa manusia adalah penting. Karena dari sini dapat dibangun suatu sikap positif dalam berinteraks dengan orang lain. Untuk menghilangkan sebab-sebab dan akibat-akibat tersebut di atas, kita bangkitkan dan gerakkan jiwa yang sakit itu. Memang, manusia tidak mungkin terbebas sepenuhnya dari rasa amarah. Namun paling tidak, kapasitasnya berkurang. Serupa dengan api yang hampir padam tapi masih berkobar kalau dikipasi dan ditiup. Kalau dikobarkan dengan cara yang tepat, ia akan berkobar dengan baik.

Konon, ada salah seorang yang berfilsafat dengan sengaja mencari tempat-tempat berbahaya itu. Dia arungi samudera yang sedang dilanda badai agar jiwanya tegar menghadapi hal-hal yang berbahaya. Supaya fakultas amarahnya bangkit pada saat diperlukan. Supaya terbebas dari hinanya malas dan segala konsekuensinya. Orang seperti ini janganlah dikucilkan tapi ia harus diberitahukan tentang bagaimana mengatur amarahnya agar berakibat positif pada orang lain.

Dengan demikian adalah baik kalau orang yang mempunyai gangguan jiwa serupa ini melakukan tindakan yang sama, atau memaksakan diri berbantah-bantahan, atau memaksakan diri menghadapi perlakuan buruk orang lain. Dengan cara ini dia dapat mencapai kebajikan yang merupakan titik tengah antara dua kekejian itu, yaitu berani, yang merupakan sehat jiwanya. Kalau sudah berhasil diperolehnya, dan dirasakannya sendiri, dia harus berhenti supaya tidak melampaui batas. Perilaku ini akan mempengaruhi tindakan dia dalam mengatur rasa marah pada proporsi dan situasi yang tepat, yang berangsur-angsur akan memberikan dampak pada jiwa orang tersebut untuk berubah menjadi baik.

Persoalan kemarahan bergantung kepada diri kita sendiri sebagai manusia. Maukah kita mengendalikan diri dengan keras sehingga tidak menimbulkan kemarahan yang akhirnya dapat menimbulkan penyakit sosial di masyarakat?

Kalau kemarahan ini menyangkut pada diri pemimpin negara atau masyarakat, maka akibatnya akan sangat merusak. Karena ini akan berakibat pula pada pengikutnya yang pada dasarnya tidak ikut terlibat. Jadi salah satu penyebab permasalahan bangsa Indonesia yang tidak selesai-selesai ini barangkali karena para pemimpinya mempunyai penyakit jiwa yaitu marah

http://www.fatimah.org/artikel/gejolak.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar