Jumat, 20 November 2009

Kisah Pemimpin



Sejarah bangsa adalah kisah para pemimpin.



Betapapun sebuah revolusi lahir dari gelombang pemberontakan rakyat, yang muncul jadi pahlawan selalu para elite. Sang tokoh. Lalu lahirlah pemimpin yang heroik. Pemimpin yang menjanjikan perubahan dan harapan baru. Alexander nan agung bahkan hadir dengan heroisme yang spektakuler: vini, vidi, vici. Sosok legendaris di panggung dunia.

Ketika siklus krisis tiba, yang didambakan rakyat pun sosok pemimpin. Pemimpin sang pembebas. Lahirlah konstruksi Ratu Adil. Sosok Imam Mahdi. Pemimpin yang diidamkan untuk menghadirkan dunia baru. Bahwa setelah sang Ratu Adil atau Imam Mahdi itu tiba, tak sedikit rakyat pun kecewa lagi. Karena yang diidam-idamkan tak seindah harapan. Tapi rakyat pun seolah tak pernah jera. Selalu memimpikan pemimpin idaman dari langit.

Nasib pemimpin pun sering berakhir dengan tragedi, selain komedi. Setelah jadi pahlawan, pemimpin harus jadi tokoh nyata. Tidak lagi hereoik. Jadi penguasa atau politisi. Dalam dunia nyata itulah para pemimpin mengukir kisah sukses baru atau gagal. Banyak yang tergelincir dalam kubangan kuasa. Bahkan jatuh dari tempat ketinggian. Kepahlawanan berubah jadi olok-olok sejarah. Legenda jadi sumpah-serapah rakyat. Jadi fosil, sekaligus beban sejarah.

Kenapa jadi tragis? Karena sang pemimpin heroik dimakan oleh tahtanya sendiri. Tak kuat menyangga kenikmatan kuasa. Kekuasaan melilit lehernya sendiri. Jadi gila kuasa. Juga jadi penghamba harta, yang menempatkan materi atau siapa pun yang berharta begitu tinggi. Kekuasaan dikawinkan dengan uang secara harmonis dan menjadikan dirinya serba digdaya. Jadi tokoh tak tersentuh, lalu dalam dirinya menyebar berbagai penyakit khas pemimpin. Gemar dipuja-puji, sekaligus alergi kritik. Memelihara banyak begundal, menyingkirkan kawan-kawan sejati. Lama kelamaan tumbuh jadi sang otoriter, bahkan jadi diktator. Akal sehat dan nurani sang pemimpin jadi luntur dimakan rayap kekuasaan.

Karena para pemimpin heroik itu asyik-maksyuk dengan kenikmatan kuasa, mereka tak lagi tahu kapan dia turun. Rata-rata pemimpin itu jatuh karena tak tahu saat yang tepat untuk berhenti jadi penguasa. Ibarat petinju legendaris, setelah di puncak kejayaan, tak tahu persis bagaimana mengakhiri dengan "happy ending". Selalu tergoda untuk menantang lawan baru, untuk akhirnya roboh oleh petinju ayam sayur. Soekarno dan Soeharto adalah kisah nyata dari pemimpin bangsa yang turun dengan tragis. Persisnya diturunkan, bahasa feodalnya dilengserkan. Ketika naik tahta dieluk-elukan. Sewaktu turun disumpah-serapahi. Jadi pecundang sejarah.

Tapi dunia kuasa itu sungguh menggoda. Betapapun banyak pemimpin yang berakhir tragis, kekuasaan tak pernah melahirkan orang yang jera. Selalu saja banyak peminatnya. Pemburu kuasa yang satu jatuh, para petualang lainnya berhamburan lahir. Lalu dunia penuh sesak dengan para pemburu politik, pengejar tahta. Mereka memiliki watak tak kenal menyerah. Semacam mengidap kompleks-oedipus dalam konstruksi Freudian. Jalan apa pun dilalui demi meraih puncak kuasa.

Kekuasaan itu memang menggiurkan.

Di negeri ini, berbeda dengan tesis Marxisme, segala hal banyak dimulai dari kekuasaan. Dari politik. Para pengusaha pun dengan mudah merapat ke penguasa. Uang mengabdi politik dan politik jadi terikat uang. Kekuasaan ibarat gula, yang mengundang kawanan semut. Para pengusaha pun berebut jadi politisi. Sementara para politisi belajar dan merangkap jadi pengusaha. Setidak-tidaknya suka mengejar setoran materi, hingga lupa amanat pemilih. Lalu sanak keluarga pun ikut sibuk berada di lingkaran kuasa, jadi politikus karbitan atau berniaga atas berkah kekuasaan. Politik jadi mata pencaharian, kata Buya Syafii Maarif.

Daya tarik kekuasaan datang bukan sekadar dari pesonan kekuasaan itu sendiri. Tapi juga bermula dari syahwat politik para aktor sendiri. Semacam libido kuasa. Pengidap virus ta'bid al-siyasiyyah. Penghambaan terhadap kekuasaan. Ada dorongan untuk mengejar kekuasaan, yang tiada bertepi. Semakin sulit, malah semakin penasaran. Tangga apa pun dinaiki, demi menuju tangga paling puncak. Lepas dari satu tangga, naik ke tangga lain. Kadang menyamping untuk kemudian loncat lagi ke tengah. Pokoknya penuh pergerakan zig-zag. Sungguh ekstra-agresif. Sarat trik dan kontroversi. Semua pintu dimasuki. Setiap jalan dirambah. Lompat ke depan, kembali ke belakang, terus ke depan lagi. Begitu terus. Demi kekuasaan.

Bagi orang beragama, haus kuasa bahkan memperoleh sakralisasi keagamaan. Semacam misi luhur ketuhanan. Dalam bahasa Al-Mawardi, fi harasat al-din wa siyasat al-dunya. Memelihara nilai-nilai agama dan mengurus dunia. Tentu sangat mulia. Agama memang harus didakwahkan dan diwujudkan untuk menjadi rahmat bagi kehidupan. Dunia pun harus diolah agar selain tak salah arah juga menjadi ladang kebahagiaan seluruh umat manusia. Politik harus dibimbing moral agama. Di situlah pentingnya pemimpin dan kepemimpinan.

Tapi masalahnya, ketika libido kekuasaan para pemimpin begitu menyala-nyala melebihi takaran, yang terjadi justru ironi. Agama tak terpelihara, apalagi diwujudkan dalam kehidupan. Dunia pun tak terurus dengan baik sebagaimana pesan luhur agama dan hukum kehidupan. Akibatnya, agama dan dunia terkalahkan oleh pesona dan kegaduhan para pemimpinnya. Lalu para pemimpin mengangkangi agama, mempermainkan urusan dunia. Terjadilah politisasi agama demi mengejar setoran politik dan meraih puncak kekuasaan atas nama Tuhan.

Libido kuasa pemimpin pun seringkali menggunakan dalih demi umat, untuk rakyat. Umat dan rakyat pun terhipnotis oleh mitologi ideal sang pemimpin. Masuk dalam mimpi-mimpi indah Millenari, kehadiran pemimpin sang Ratu Adil. Pemimpin Imam Mahdi. Pesona dan mitos populis seperti ini pun tak keliru, malah baik-baik saja jika digunakan sejujur-jujurnya untuk mengangkat derajat umat dan martabat rakyat. Namun yang sering terjadi biasanya sebaliknya, umat dan rakyat bukan diberdayakan tapi diperdayakan. Sang pemimpin bukan lagi jadi khadim al-ummah, pelayan rakyat. Malah sebaliknya, selalu ingin dilayani rakyat. Umat jadi sibuk mengurusi pemimpinnya, bukan sebaliknya.

Tapi, pemimpin memang selalu punya sejarah sendiri. Sejarah "kemenangan", selain tragedi dan komedi. Pemimpin selalu "menang" atas rakyat yang dipimpinnya. Betapapun banyak bikin susah rakyat, pemimpin tetap pemimpin. Selalu memiliki pesona, kharisma. Bahkan selalu memiliki hegemoni. Itulah ideologi kepemimpinan. Bahwa apa pun yang diperbuat sang pemimpin, rakyat atau umat akhirnya terpaksa mengikutinya. Suka ataupun duka. Kecuali ketika kegeraman terhadap pemimpin sudah mencapai puncaknya, dan itu pun perlu waktu panjang. Maklum, dunia nyata para pemimpin biasanya tak diketahui persis oleh umat. Bukankah para pemimpin itu lazim memiliki seribu satu topeng? Lebih-lebih bagi umat yang berada dalam ninabobo budaya paternalisme, yang melahirkan pemimpin tak pernah salah, dan tak mau disalahkan kalaupun salah.

Memang ada pepatah, ikan busuk dimulai dari kepala. Tapi anehnya, banyak pemimpin yang tidak merasakan bau tak sedap, ketika di sekitarnya menyebar kebusukan. Keburukan dibenarkan. Langkah-langkah pragmatis pun jadi pilihan, tak peduli halal dan baik. Kekuasaan jadi bara. Politik jadi ajang perjuangan ala Rubah. Lalu ketika semuanya berubah jadi petaka, tak ada lagi waktu untuk kembali. Para pemimpin pun akhirnya jatuh ke lubang yang sama. Kalau tidak berujung komedi, ya jadi tragedi. Sedangkan rakyat jadi korban petualangan para pemimpinnya yang tiada akhir itu.

Kata orang bijak, belajarlah pada sejarah. Para pemimpin dapat belajar pada Khulafa ar-Rasyidin di masa silam, bagaimana jadi pemimpin yang baik, kendati ada yang taruhannya nyawa: terbunuh. Dalam sejarah modern, bisa belajar pada Mahatma Gandhi dan George Washington. Gandhi mengajarkan bagaimana jadi pemimpin pencerah tanpa harus berkuasa. Sedangkan Washington adalah sosok penguasa yang tahu persis kapan harus turun dalam saat yang tepat, ketika sukses telah diraih. Jangan seperti mengejar layang-layang putus, yang tak berkesudahan. Tak tahu titik berhenti. Kalau tak mampu belajar dari mereka, tak perlu memaksakan diri jadi pemimpin. Apalah jadi pemimpin, jika bikin banyak orang susah. Lebih baik jadi orang biasa saja. Siapa tahu berkah.

Oleh : Haedar Nashir
http://imazahra.multiply.com/journal/item/2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar