Senin, 16 November 2009

Jerat Hutang


tragedi kartu kredit

Hidup di zaman sekarang ini, nyaris setiap orang tidak terlepas dari hutang. Memang istilah “ngutang”, sekarang ini sudah tidak lagi populer, yang populer adalah istilah kredit atau menyicil, tapi itu juga sama saja dengan mengutang.

Boleh dibilang hampir setiap barang dapat dibeli dengan sistem kredit. Beli rumah, beli perabotan rumah, beli kendaraan, apalagi sekarang ini ada kartu yang bentuknya seperti KTP yang dikenal dengan nama kartu kredit, para pemilik kartu ini ketika berbelanja di pusat-pusat perbelanjaan cukup dengan menggesekkannya, lalu tanda tangan, maka barang belanjaan sudah dapat dibawa pulang. Kita sudah sangat dimanja dengan kemudahan untuk berhutang.

Tidak tertutup kemungkinan seorang mukmin dapat terjebak dalam jerat-jerat hutang. Ketika berhadapan dengan masalah keuangan, memilih untuk berhutang menurut sebagian orang adalah solusi alternatif. Kendati demikian seorang mukmin harus mengetahui dan menyadarai bahwa berhutang mempunya efek mudharat (bahaya) yang luar biasa. Diantaranya adalah:

1. Dapat menjatuhkan harga diri

Harga diri seorang mukmin begjtu tinggi. Tak seorang pun yang mampu merendahkannya. Karena mukmin punya keterikatan dengan Dzat Yang Maha Tinggi dan Agung.

Namun, kemuliaan itu kadang memudar manakala ada cacat dalam diri seorang mukmin. Diantara cacat itu adalah ketidak-berdayaan membayar hutang. Saat itu juga, terselip dalam diri seorang mukmin itu perasaan rendah dan hina. Bayang-bayang ketidak-mampuan itu menjadikan dirinya tak lagi berdaya di hadapan orang lain. Terutama dihadapan orang yang memberi hutang. la tak lagi mampu menangkis amarah, celaan, bahkan gugatan hukum sekali pun.

2. Sangat berpeluang untuk berdusta

Dusta adalah sesuatu yang tak mungkin dilakukan seorang mukmin. Rasulullah Saw mengatakan seorang mukmin mungkin saja bermaksiat. Tapi, ia tak mungkin berdusta.

Lain halnya ketika hutang sudah melilit. Mau dilunasi, tapi tidak ada uang. Mau menghindar, sudah terlanjur janji. Akhirnya, ada satu pilihan aman, yaitu berdusta. “Besok, ya!”. Atau, “Oh iya. Saya lupa!”. Itulah ungkapan-ungkapan yang kerap keluar tanpa terkendali. Suatu saat, ucapan bohong itu menjadi kebiasaan. Dan, orang-orang pun memberikan cap pada kita bukan hanya sebagai pengutang, tapi juga si pembohong.

Para sahabat pernah bertanya kenapa Rasulullah begitu banyak berdoa agar terhindar dari hutang. Beliau bersabda, “Sesungguhnya jika seseorang terlilit hutang ia akan berbicara lalu berdusta, dan berjanji lalu mengingkari“. (HR. Muttafal alaih).

3. Dapat memutuskan tali silaturrahim

Seorang mukmin dengan mukmin lainnya memang seperti satu tubuh. Satu anggota tubuh sakit, yang lain pun ikut sakit. Tapi, ada satu hal yang membuat tubuh itu menjadi cerai berai. Tak ada satu hal yang paling rawan mampu menceraiberaikan keutuhan tubuh itu kecuali masalah uang. Dan di antara masalah uang itu adalah hutang.

Tiba-tiba seorang saudara menjadi asing dengan saudara lainnya disebabkan karena hutang. Munculah sesuatu yang sebelumnya tak mungkin ada, rasa benci dan permusuhan. Hilang sudah perasaan simpati. cinta. dan rindu. Persaudaraan yang sudah lama terbina pun terhapus hanya karena masalah hutang.

4. Dapat terjerumus dalam tindak kriminal

Pada tingkat tertentu, hutang mampu menjerumuskan seorang mukmin pada tindakan yang sama sekali di luar perkiraannya. Sampai pada tahap ini setan menuai sukses atas langkah-langkahnya.

Orang yang sudah dikendalikan hutang tidak lagi merasa ragu melakukan tindak kriminal. Bayang-bayang hitam tentang hutangnya menjadikan pandangan nuraninya menjadi keruh. Bahkan, gelap sama sekali. Tak ada satu tindakan yang lebih mendominasi dirinya kecuali bayar hutang, dengan cara apa pun.

5. Meninggalkan beban kepada ahli waris

Alangkah berat duka anggota keluargayang ditinggal pergi ayah atau ibu selamanya. Mereka begitu kehilangan seorang yang amat dicintai. Bahkan, seseorang yang menjadi andalan ekonomi keluarga. Penderitaan pun kian berat manakala mereka tahu kalau almarhum mewariskan hutang. Bagi mereka, tidak ada tawar menawar, kecuali membayar utang. Masalahnya, mampukah mereka membayar? Atau, utang menjadi warisan turunan.

6. Tertunda masuk surga

Ternyata, bahaya utang tidak melulu dalam wilayah dunia. Di akhirat pun, para pengutang akan mendapat cela yang tidak mengenakkan. Rasulullah Saw pernah menasihati para sahabat-nya soal ini.

Beliau bersabda, “Demi Tuhan yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya seseorang terbunuh di jalan Allah, kemudian hidup lagi dan terbunuh lagi, kemudian hidup lagi dan terbunuh lagi sedangkan ada tanggungan hutang padanya maka ia tidak akan masuk surga sampai melunasi hutangnya“. (An-Nasai, Ath-Thabrani dan Al-Hakim)

Sumber : Buletin Mimbar Jum’at, No. 16 Th. XXIII - 17 April 2009
http://mimbarjumat.com/archives/683

Tidak ada komentar:

Posting Komentar