Rabu, 25 November 2009

Pemimpin Negara

Nabi Yusuf merupakan contoh yang terang-terangan menyatakan keinginannya diangkat sebagai pemimpin, bahkan untuk itu ia menyampaikan beberapa kelebihan dan keahlian yang dimilikinya untuk memimpin. Pernyataan Yusuf itu diabadikan Al-Quran sebagai dokumen sejarah kearifan seorang anak manusia yang patut dicontoh dan ditiru.
----------


“Dan orang-orang yang berkata: ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa’.” (Al-Furqaan: 74)

Salah satu sifat kemuliaan yang dijelaskan Allah Subhaanahu wa ta’ala adalah senantiasa berdoa untuk keluarganya dan berdo’a agar dirinya dijadikan pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.

Target yang tercantum dalam doa untuk dijadikan pemimpin merupakan ajaran Allah. Karenanya, seluruh munajat, ikhtiar dan kerja keras bersungguh-sungguh sangat dianjurkan. Keinginan untuk dijadikan pemimpin itu bukan refleksi sifat ambisius, tapi sebuah kewajaran, bahkan sebuah keniscayaan, karena di dalamnya terdapat kemuliaan, fadhilah dari Allah Swt. Karena permintaan itu disampaikan kepada Allah, bukan kepada manusia.

Nabi Yusuf merupakan contoh yang terang-terangan menyatakan keinginannya diangkat sebagai pemimpin, bahkan untuk itu ia menyampaikan beberapa kelebihan dan keahlian yang dimilikinya untuk memimpin. Pernyataan Yusuf itu diabadikan Al-Quran sebagai dokumen sejarah kearifan seorang anak manusia yang patut dicontoh dan ditiru. Allah berfirman:

“Berkata Yusuf: ‘Jadikanlah aku bendaharawan negara, karena sesunguhnya aku orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 55)

Permintaan Yusuf yang terang-terangan itu bukannya dicela, tapi justeru diteguhkan Allah melalui firman-Nya di bawah ini:

“Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi ke mana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.” (Yusuf: 56)

Sebelum mencapai puncak kekuasaan sebagai pemimpin negara, Yusuf dikenal sebagai da’i, penyeru kebenaran di penjara. Dalam keterbatasannya untuk bergerak melakukan da’wah, ia adalah seorang pemimpin harakah. Ia melakukan kerja keras membebaskan manusia dari cengkraman kekuasaan manusia atas manusia yang lain. Yusuf tahu dan meyakini tauhid lah satu-satunya ideologi yang dapat membebaskan manusia dari tirani kekuasaan manusia.

Bukan hanya Yusuf yang menjalani prosesi kehidupan seperti ini. Hampir semua nabi dan rasul lahir dan dibesarkan dalam lingkungan harakah, bahkan merekalah yang melahirkan sekaligus memimpin harakah tersebut. Sebelum menjadi pemimpin negara, mereka adalah pemimpin harakah. Sebagaimana para aktifis harakah pada umumnya, mereka juga mengalami berbagai ujian dan cobaan, mulai dari intimidasi, teror mental dan fisik, percobaan pembunuhan, pemenjaraan, boikot, dan berbagai macam
kekerasan yang ditimpakan kepada mereka.

Ujian para pemimpin harakah bukan di hadapan guru dengan mengerjakan soal-soal tertulis dan praktek yang telah disiapkan sebelumnya. Akan tetapi ujian mereka langsung di lapangan. Mereka bahkan tak selalu bisa mendefinisikan kata jihad dan sabar dengan kata-kata, tapi mereka memahami betul arti jihad dan sabar itu dalam praktik kesehariannya. Demikian pula dengan kata istiqamah, mereka memahaminya dalam bentuk praktik bahwa perjuangannya tidak boleh berhenti sampai kapanpun juga.

Mulai dari Nabi Nuh, Hud, Shalih, Ibrahim, Musa, Zakariya, Isa dan Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, mereka lahir dan dibesarkan dalam kancah harakah, pergerakan. Melalui pematangan itu, mereka jadi siap mental menjadi pemimpin besar revolusi, yang pada akhirnya mengantarkan mereka meraih kepemimpinan negara, bahkan menjadi pemimpin abadi. Mereka tidak hanya menjadi pemimpin atas bangsanya sendiri, juga tidak menjadi pemimpin sebatas pada masanya saja, tapi mereka menjadi pemimpin manusia sepanjang masa, dari dulu hinggi kini dan nanti.

Nabiyullah Ibrahim ‘Alaihis salaam setelah melalui rentetan ujian dan cobaan yang datang silih berganti, akhirnya Allah menetapkannya sebagai pemimpin. Ia tidak hanya menjadi imam, pemimpin negerinya, tapi pemimpin seluruh manusia. Allah menegaskan dalam al-Qur’an:

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: ‘Dan saya mohon juga) dari keturunanku’. Allah berfirman: ‘Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zhalim’.” (Al-Baqarah: 124)

Pentingnya kepemimpinan didasari betul oleh Ibrahim sehingga ketika Allah mengangkatnya menjadi pemimpin, ia tak lupa memohon agar keturunannya juga diberikan hal yang sama. Permintaan Ibrahim itu sangat wajar, sebab dengan kepemimpinan itu ia dapat menjalankan tugas da’wah dan perjuangan Islam secara lebih efektif.

Da’wah Rasulullah Saw di Madinah yang lebih pendek ternyata lebih banyak menghasilkan pengikut jika dibandingkan dengan da’wahnya ketika di Makkah. Persoalannya, ketika di Makkah Rasulullah berda’wah tanpa kekuasaan sedikitpun juga, sementara ketika di Madinah, beliau adalah pemimpin (negara). Efektivitas da’wah melalui kepemimpinan (kekuasaan)
itu diabadikan Allah dalam firman-Nya:

“Apabila datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha penerima taubat.” (An-Nashr: 1 – 3)

Tidak sepantasnya para pemimpin dan aktifis harakah berpuas diri hanya menjadi pemimpin harakah selamanya. Ada waktunya mereka harus tampil menjadi pemimpin yang lebih luas dan besar, memimpin negara dengan segala keanekaragaman penduduknya. Tidak hanya memimpin para aktifis harakah yang sealiran dan sepemahaman, bahkan menjadi pemimpin rakyat dengan segala pruralitasnya.

Ini tantangan besar yang harus dijawab kaum Muslimin, terutama para aktifis harakah sekarang, apakah kita mampu memembus batas itu? Kesempatan selalu terbuka, dan rakyat selalu menantikan. Usaha ke arah itu bukan kehinaan, bahkan sebuah kemuliaan yang dijanjikan Tuhan.

Salah satu tugas pokok yang harus diemban kaum Muslimin adalah amar ma’ruf nahi munkar. Masalahnya sekarang, banyak di antara kita yang ingin menjalankan tugas amar ma’ruf tapi kita tidak pernah berfikir untuk menjadi amir atau menyiapkan ‘amir. Padahal mereka tahu bahwa amar ma’ruf menjadi sangat efektif bila didukung, apalagi jika dipimpin langsung oleh ‘amir.

Bagaimana kita bisa memerintah tanpa pemerintah? Hal yang sama juga bisa diajukan disini, bagaimana kita bisa menghukum tanpa hakim? Bagaimana kita bisa mencegah secara efektif setiap pelaku kemunkaran, tanpa kekuasaan, tanpa polisi, dan tanpa jaksa?

Tugas beramar ma’ruf dan nahi munkar itu harus tetap kita jalankan dengan atau tanpa kekuasaan. Jika tidak kita lakukan, Allah akan menjadikan pemimpin jahat sebagai pemimpin atas orang-orang yang baik. Artinya, kekosongan kepemimpinan orang-orang yang baik-baik yang selalu menjalankan tugas amar ma’ruf dan nahi munkar itu akan diisi oleh kepemimpinan jahat. Rasulullah bersabda:

“Hendaklah kamu beramar ma’ruf dan bernahi munkar. Jika tidak, maka Allah akan menguasakan atasmu orang-orang yang paling jahat di antara kamu, kemudian orang-orang yang baik-baik di antara kamu berdo’a dan tidak dikabulkan (do’a mereka).” (HR Abu Dzar)

Sudah saatnya para aktifis dan pemimpin harakah keluar kandang, “bertarung” dengan musuh-musuhnya di lapangan kehidupan secara terbuka, dan “mengadu” kemahiran dan keterampilan memimpin, serta menawarkan konsep kesejahteraan rakyat dan ideologi nilai. Sudah bukan saatnya lagi malu dan ragu untuk menyatakan, pilihlah kami (para pemimpin harakah dan aktivisnya) menjadi pemimpinmu.


oleh Hamim Thohari, redaktur senior Majalah Hidayatullah

http://www.oaseislam.com/modules.php?name=News&file=article&sid=256

Tidak ada komentar:

Posting Komentar