“Dan katakanlah, ‘Bekerjalah
kamu, maka Allah dan Rasul Nya, serta orang-orang yang beriman akan melihat
pekerjaan mu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Maha Mengetahui
yang ghaib dan yang nyata, lalu Allah memberitakan kepada mu apa yang telah
kamu kerjakan’ ”. (Qur’an surah at Taubah ayat 105)
Islam sebagai pedoman hidup
yang turun dari Sang Pencipta manusia, sangat menghargai bahkan amat mendorong
produktivitas. Rosulullah saw. Bersabda:
عن ابن عمر
رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال إنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُؤمِنَ
الْمُحْتَـرِفَ
Dari Ibnu ‘Umar ra dari Nabi saw, ia
berkata: “Sesungguhnya Allah mencintai orang yang beriman yang berkarya
(produktif menghasilkan berbagai kebaikan -pen)” H.R. Thabrani dalam Al Kabir,
juga oleh Al Bayhaqi
عن عائشة
رضي الله عنها قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَنْ أمْسَى كَالاًّ مِنْ
عَمَلِ يَدِهِ أمْسَى مَـغْـفُوْرًا لَـهُ
Dan dari ‘Aisyah ra. Beliau berkata,
telah berkarta Rosulullah saw “Barangsiapa yang disenjaharinya merasa letih
karena bekerja (mencari nafkah) maka pada senja hari itu dia berada dalam
ampunan Allah” H.R. At Thabrani dalam kitab Al Ausath.
Islam membenci pengangguran, sebagaimana yang disampaikan oleh seorang shahabat Nabi saw, Ibnu Masud ra:
Islam membenci pengangguran, sebagaimana yang disampaikan oleh seorang shahabat Nabi saw, Ibnu Masud ra:
وعن ابن
مسعود قال إني لأَكْرَهُ أنْ أرَى الرَّجُلَ فَارِغًا لاَ في عَمَلِ دُنْـيَا
وَلاَ آخِرَةٍ
Sesungguhnya aku benci kepada
seseorang yang menganggur, tidak bekerja untuk kepentingan dunia juga tidak
untuk keuntungan akhirat. H.R. At Thabrani dalam kitab Al Kabir.
Bahkan Rosulullah menghargai seorang hamba yang sanggup mandiri, hidup dengan hasil kemampuannya sendiri:
Bahkan Rosulullah menghargai seorang hamba yang sanggup mandiri, hidup dengan hasil kemampuannya sendiri:
حدثنا
إبراهيم بن موسى أخبرنا عيسى عن ثور عن خالد بن معدان عن المقدام رضي الله عنه عن
رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ثم ما أكل أحد طعاما قط خيرا من أن يأكل من عمل
يده وإن نبي الله داود عليه السلام كان يأكل من عمل يده
Makanan yang terbaik yang dimakan
seseorang adalah dari hasil karya tangannya sendiri dan sesungguhnya Nabi Dawud
AS. Pun makan dari hasil kerjanya sendiri. (H.R. Bukhory : 1966)
Dalam keterangan lain, beliau menyebutkan bahwa sebaik baik usaha adalah apa yang merupakan ekspresi dari keterampilan dirinya, dan segenap tanggung jawab ekonomi yang dia berikan kepada ahli keluarganya, dinilai sebagai sedekah yang terus menerus menghasilkan pahala:
Dalam keterangan lain, beliau menyebutkan bahwa sebaik baik usaha adalah apa yang merupakan ekspresi dari keterampilan dirinya, dan segenap tanggung jawab ekonomi yang dia berikan kepada ahli keluarganya, dinilai sebagai sedekah yang terus menerus menghasilkan pahala:
حدثنا هشام
بن عمار ثنا إسماعيل بن عياش عن بجير بن سعد عن خالد بن معدان عن المقدام بن معد
يكرب الزبيدي عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال مَا كَسَبَ الرَّجُلُ كَسْبًا
أطْيَبُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَمَا أنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى نَفْسِهِ وَأهْلِهِ
وَوَلَدِهِ وَخَادِمِهِ فَهُوَ صَدَقَةٌ
Pekerjaan terbaik seseorang adalah
apa yang dikerjakan berdasarkan keterampilannya, dan apapun yang dinafkahkan
seseorang untuk dirinyaوkeluarganya, anaknya dan pembantunya adalah sedekah.
H.R. Ibnu Majah.
إنَّ اللهَ
يُحِبُّ المُـؤمِنَ الْمُحْتَرِفَ الضَّعِيْفَ الْمُتَعَفِفَ وَيَـبْـغَضُ
السَّائِلَ الْمُلْحِفَ
Sesungguhnya Allah mencintai seorang
beriman yang sekalipun lemah, tetapi ia produktif dan selalu menjaga harga
dirinya (tidak mau meminta-minta) dan Allah membenci tukang peminta-minta yang
pemaksa. Di dalam Tafsir Al Qurthubi Juz 11 hal 321.
Produktivitas itu tetap harus dipertahankan dalam segala situasi dan kondisi, dengan sebuah penggambaran yang ekstrim, bahkan sekalipun anda tahu besok akan kiamat, tidak boleh membuat kita tidak berkarya dan produktif hari ini. Sebagaimana sabda Rosulullah saw:
Produktivitas itu tetap harus dipertahankan dalam segala situasi dan kondisi, dengan sebuah penggambaran yang ekstrim, bahkan sekalipun anda tahu besok akan kiamat, tidak boleh membuat kita tidak berkarya dan produktif hari ini. Sebagaimana sabda Rosulullah saw:
قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم إنْ قَامَتِ السَّاعَةِ وَفي يَدِ أحَدِكُمْ فَسِيْلَةٌ
فَلْيَغْرِسْهَا
Andaipun besok kiamat, sedang di
tangan salah seorang di antara kamu ada tunas pohon kurma, maka tanamlah ia !
H.R. Al Bazaar, rijalnya tsiqot.
Demikian besarnya penghargaan Islam atas produktivitas, sampai –sampai disebutkan dalam Al Hadits, bahwa produktivitas juga erat kaitannya dengan jalan untuk memperoleh pengampunan dari dosa-dosa, yang justru malah tidak akan bisa mendapatkan pengampunan dengan cara yang lainnya.
Demikian besarnya penghargaan Islam atas produktivitas, sampai –sampai disebutkan dalam Al Hadits, bahwa produktivitas juga erat kaitannya dengan jalan untuk memperoleh pengampunan dari dosa-dosa, yang justru malah tidak akan bisa mendapatkan pengampunan dengan cara yang lainnya.
وعن أبي
هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اِنَّ مِنَ الذُّنُوْبِ ذُنُوْبًالاَ
تُكَفِّرُهَا الصَّلاَةُ وَلاَ الصِّيَامُ وَلاَ الْحَجُّ وَلاَ الْعُمْرَةُ
قَالُوْا فَمَا يُكَفِّرُهَا يا رسولَ اللهِ قال اَلْهُمُوْمُ في طَلَبِ
الْمَعِيْشَةِ
Sesungguhnya diantara dosa-dosa itu
ada beberapa dosa yang tidak akan terhapus dengan sholat, shoum, haji dan
umroh. Para shahabat bertanya, dengan apa menghapuskannya ya Rosulallah? Jawab
beliau: dengan semangat dan bersungguh-sungguh mencari nafkah. H.R Ath Thabrani
dalam kitab Al Ausath.
Tentu ini disampaikan agar muslimin tidak hanya melulu terfokus pada rutinitas ritual semata, tetapi mereka diingatkan bahwa ada aktivitas lain yang juga harus mereka tekuni, jika mereka ingin agar dosa-dosa mereka diampuni. Bahwa mereka pun mesti memiliki semangat yang tinggi untuk mencari nafkah bersungguh-sungguh dalam mencarinya.
Bahkan Rosulullah saw. amat menganjurkan terkumpulnya harta yang baik, halal di tangan orang-orang yang baik. Dan tentu hal tersebut tidak akan terwujud jika mereka tidak produktif:
Tentu ini disampaikan agar muslimin tidak hanya melulu terfokus pada rutinitas ritual semata, tetapi mereka diingatkan bahwa ada aktivitas lain yang juga harus mereka tekuni, jika mereka ingin agar dosa-dosa mereka diampuni. Bahwa mereka pun mesti memiliki semangat yang tinggi untuk mencari nafkah bersungguh-sungguh dalam mencarinya.
Bahkan Rosulullah saw. amat menganjurkan terkumpulnya harta yang baik, halal di tangan orang-orang yang baik. Dan tentu hal tersebut tidak akan terwujud jika mereka tidak produktif:
فقال يا
عُمَرُ وَ نَعِمًا بِالْمَالِ الصَّالِحِ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ
Berkata Rosul saw. Wahai Umar,
sesungguhnya sebaik-baik harta yang baik adalah yang dimiliki oleh orang yang
sholeh. HR. Ahmad
Demikian pentingnya usaha mencari nafkah, sehingga Rosulullah menyatakannya sebagai sebuah kewajiban bagi setiap muslim, artinya ketika seseorang tidak berusaha untuk menjadi produktif, maka selama itu pula ia menanggung dosa (melalaikan kewajiban yang seharusnya dikerjakan dengan sebaik-baiknya):
Demikian pentingnya usaha mencari nafkah, sehingga Rosulullah menyatakannya sebagai sebuah kewajiban bagi setiap muslim, artinya ketika seseorang tidak berusaha untuk menjadi produktif, maka selama itu pula ia menanggung dosa (melalaikan kewajiban yang seharusnya dikerjakan dengan sebaik-baiknya):
وعن أنس بن
مالك رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال طَلَبُ الْحَلاَلِ وَاجِبٌ
عَلىَ كُلَّ مُسْلِمٍ
Mencari nafkah yang halal itu wajib
bagi setiap muslim. HR. Ath Thabrani dalam kitab Al Ausath
Namun demikian, usaha mencari nafkah yang halal itu, diharus ditempuh dengan cara yang halal dan tidak mendzalimi manusia. Dan bila sikap demikian dilaksanakan secara konsisten, Rosulullah menjamin mereka dengan Syurga:
Namun demikian, usaha mencari nafkah yang halal itu, diharus ditempuh dengan cara yang halal dan tidak mendzalimi manusia. Dan bila sikap demikian dilaksanakan secara konsisten, Rosulullah menjamin mereka dengan Syurga:
وعن أبي
سعيد الخدري رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَنْ أكَلَ
طَيـِّـبًا وَعَمِلَ في سُـنَّةٍ وَأمِنَ النَّاسَ بَـوَائِـقَهُ دَخَلَ
الْجَـنَّةِ
Barang siapa yang mendisiplinkan
diri, ia hanya memakan makanan yang (halal) lagi baik saja, dan beramal dalam
sunnah (Nabi saw) dan membuat orang lain aman dari keburukan dirinya, maka
(pasti) akan masuk syurga. HR. At Tirmidzi (hasan-shohieh) dan HR. Al Hakim
(shohihul Isnad)
Rosulullah saw. menekankan satu bentuk integritas moral kepada seluruh muslim, agar seluruh tindakan mereka tetap berada dalam aktivitas yang santun dan beradab. Tidak merugikan manusia lain dalam setiap aktivitasnya, muslimin tidak boleh mencari keuntungan dengan cara-cara yang curang dan merugikan pihak lain. Kehadiran muslimin harus memberi kontribusi pada kemajuan peradaban dunia. Bahkan Rosulullah Saw, menyatakan:
Rosulullah saw. menekankan satu bentuk integritas moral kepada seluruh muslim, agar seluruh tindakan mereka tetap berada dalam aktivitas yang santun dan beradab. Tidak merugikan manusia lain dalam setiap aktivitasnya, muslimin tidak boleh mencari keuntungan dengan cara-cara yang curang dan merugikan pihak lain. Kehadiran muslimin harus memberi kontribusi pada kemajuan peradaban dunia. Bahkan Rosulullah Saw, menyatakan:
وعن عبد
الله بن عمرو رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أرْبَعٌ إذَا
كُنَّ فِيْكَ عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدّ ُنْـيَا حِفْظُ أمَانَـةٍ وَصِدْقُ
حَدِيْثٍ وَحُسْنُ خَلِيْـقَةٍ وَعِفَةُ في طُعْمَةٍ
Ada empat hal yang bila semuanya ada
pada dirimu, maka (dijamin) kamu tidak akan kehilangan (manfa’at dunia): [1]
memelihara amanah [2] jujur dalam perkatakan [3] baik akhlaq [4] dan menjaga
diri (memelihara integritas moral) dalam (mencari) sumber-sumber makanan. HR.
Ahmad dan Ath Thabrani dengan isnad hasan.
Bahkan Rosulullah menjamin, setiap usaha yang dilaksanakan dengan “fair” yang kemudian hasil usahanya itu digunakan untuk menafkahi seluruh orang yang berada dalam tanggung jawabannya, maka semua itu bernilai “zakat” pensucian bagi dirinya:
Bahkan Rosulullah menjamin, setiap usaha yang dilaksanakan dengan “fair” yang kemudian hasil usahanya itu digunakan untuk menafkahi seluruh orang yang berada dalam tanggung jawabannya, maka semua itu bernilai “zakat” pensucian bagi dirinya:
وعن أبي
سعيد الخدري رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال أيـُّمَا
رَجُلٍ اِكْـتَسَبَ مَالاً مِنْ حَلاَلٍ فَأطْـعَمَ نَـفْسَهُ أوْ كَسَاهَا فَمَنْ
دُوْنَهُ مِنْ خَلْقِ اللهِ كَانَ لَهُ بِـهِ زَكَاةً
Siapapun orangnya yang mencari harta
yang halal, yang kemudian dengannya ia belanjakan untuk memenuhi keperluan
pangan dan sandangnya, serta untuk memenuhi kepeerluan orang-orang yang berada
di bawah tanggung jawabnya, maka semua itu menjadi “pensuci” bagi dirinya. HR.
Ibnu Hibban di dalam shahihnya.
Agar segala manfaat dari hasil usaha kita berfungsi sebagai pembersih nurani, maka kehalalan cara memperolehnya harus dijaga, sebab hasil usaha yang didapat dari cara-cara yang kotor, bukan hanya merusak karakter kemanusiaan kita (character assasination) tetapi juga membuat amal ibadah kita menjadi terhambat dari penerimaan Ilahi. Kredibilitas (Ash Shidqu) dan sikap penuh tanggung jawab (responsibilitas) diakui sebagai hal terberat yang harus tetap dipertahankan, dalam keadaan apapun, sebab itu berkait langsung dengan diterima atau tidaknya amal ibadah kita. Sekali lagi bukan urusan syah atau tidaknya amal ibadah, tetapi diterima atau tidaknya. Sebab syah atau tidak diukur dengan terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat ibadah, tetapi diterima atau tidak, itu tidak hanya dilihat dari segi ibadahnya saja, tetapi dari dampak ibadah tersebut:
Agar segala manfaat dari hasil usaha kita berfungsi sebagai pembersih nurani, maka kehalalan cara memperolehnya harus dijaga, sebab hasil usaha yang didapat dari cara-cara yang kotor, bukan hanya merusak karakter kemanusiaan kita (character assasination) tetapi juga membuat amal ibadah kita menjadi terhambat dari penerimaan Ilahi. Kredibilitas (Ash Shidqu) dan sikap penuh tanggung jawab (responsibilitas) diakui sebagai hal terberat yang harus tetap dipertahankan, dalam keadaan apapun, sebab itu berkait langsung dengan diterima atau tidaknya amal ibadah kita. Sekali lagi bukan urusan syah atau tidaknya amal ibadah, tetapi diterima atau tidaknya. Sebab syah atau tidak diukur dengan terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat ibadah, tetapi diterima atau tidak, itu tidak hanya dilihat dari segi ibadahnya saja, tetapi dari dampak ibadah tersebut:
وروي عن
علي رضي الله عنه قال كُنَّا جُلُوسًا مَعَ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم
فَطَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٍ مِنْ أهْلِ العَالِـيَةِ فقال يا رسول الله أخْـبَرَنِي
بِأشَدِّ شيءٍ في هَذَا الدِّينِ وألِـيْـنِهِ فَقَالَ ألِـيْـنُـهُ شهادةُ أن لا
إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله وأشَدُّهُ يا أخا العَالية الأمَانَـةُ
إنَّـهُ لاَ دِينَ لِمَنْ لاَ أمَانَةَ لَهُ وَلاَ صَلاَةَ لَهُ وَلاَ زَكاَةَ
لَهُ يا أخا العالية إنَّـهُ مَنْ أصَابَ مَالاً مِنْ حَرَامٍ فَلَـبِسَ مِنْهُ
جِلْـبَابًا يَعْنِي قَمِيْصًا لَمْ تُـقْبَلْ صَلاَتُهُ حَـتَّى يُنْحَى ذَلِكَ
الْجِلْباَبَ عَنْـهُ إنَّ اللهَ عز وجل أكْرَمُ وأجَلُّ يا أخا العالية مِنْ أنْ
يَقْـبَلَ عَمَلَ رَجُلٍ أوْ صَلاَتَهُ وَعَلَيْهِ جِلْبَابٌ مِنْ حَرَامً
Dari ‘Ali bin Abi Thalib ra, dia
berkata kami tengah duduk-duduk bersama Rosulullah saw. Tiba-tiba muncul
seseorang dari mereka yang berkedudukan tinggi (status sosialnya), kemudian dia
berkata: Ya Rosulullah, kabarkan kepadaku apa yang paling sulit dilaksanakan
dalam agama ini dan apa yang paling ringan daripadanya? Maka berkata Rosulullah
saw. Yang paling ringan untuk dilaksanakan adalah “Syahadat Lailaha Illallah wa
anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuluhu” adapun yang paling berat, wahai saudara
yang berkedudukan tinggi, adalah “Amanah”. Sesungguhnya tidak (bernilai) agama
(nya) orang yang tidak amanah, demikian juga tidak bernilai sholat dan
zakatnya. Wahai saudara yang berkedudukan tinggi, sesungguhnya siapa yang
mendapatkan harta dari hal yang haram, kemudian dia membeli pakaian dengannya
maka tidak akan diterima sholatnya hingga ia melepaskan pakaiannya yang
(berasal dari) yang haram itu. Sesungguhnya Allah terlalu mulia dan tinggi
(tidak mungkin) akan menerima amal seseorang, demikian juga sholatnya sedang
padanya ada pakaian yang berasal dari yang haram. H.R Al Bazaar
Ini menunjukkan bahwa seorang muslim bukan saja harus professional dalam mencari nafkah, tetapi juga harus menghindari kecurangan. Bahkan setiap energi yang didapatnya dari makanan yang haram, akan menghambat diterimanya sholat dan jika dia tidak bertobat maka akhir kehidupannya akan sangat mengerikan:
Ini menunjukkan bahwa seorang muslim bukan saja harus professional dalam mencari nafkah, tetapi juga harus menghindari kecurangan. Bahkan setiap energi yang didapatnya dari makanan yang haram, akan menghambat diterimanya sholat dan jika dia tidak bertobat maka akhir kehidupannya akan sangat mengerikan:
وَالَّذِي
نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِـيَدِهِ إنَّ الْعَبْدَلَـيَقْـذِفُ اللُـقْمَةَ الْحَرَامِ في
جَوْفِـهِ مَا يُتَقَبَّلُ مِنْهُ عَمَلٌ أربَعِيْنَ يَوْمًا و أيـُّمَا عَبْدٍ
نَبَتَ لَحْمُهُ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أوْلَى بِهِ
Demi Jiwa Muhammad yang ada dalam
genggamanNya, barangsiapa yang memasukkan satu suapan dari yang haram ke dalam
mulutnya dari barang yang haram, maka tidak akan diterima amal-amalnya selama
empat puluh hari, dan bagian manapun dari seorang hamba yang tumbuh dagingnya
dari barang yang haram, maka api nerakalah yang paling berhak membakarnya. H.R
Ath Thabrani dalam kitab Ashoghir
اَلْحَـمْـدُ لِـلَّـهِ رَبِّ الْعَـلَـمِـيْـنَ
http://madinatulummah.blogspot.com/2008/12/produktivitas-dalam-islam.html
Catatan :
Konsep-konsep tentang produktivitas dari
luar Islam berorientasi kepada materi dan dunia semata serta menjauhkannya dari
nilai-nilai ilahiyyah. Sedangkan konsep Islam adalah penggabungan keduanya
(material dan spritual). Konsep Islam mampu menembus dimensi insaniyah
sekaligus dimensi ilahiyah. Karena Islam bukanlah agama yang hanya mengurusi
masalah-masalah vertikal saja, melainkan juga membahas masalah yang sifatnya
horizontal. Islam adalah agama syamil (komplit), yang mengurusi semua
aspek kehidupan manusia.
Islam merupakan agama amali,
agama yang mengutamakan nilai-nilai produktivitas secara sempurna dan syumuli,
baik produktif dalam arti menghasilkan sebuah karya ataupun produktif dalam
arti mengasilkan sebuah peningkatan serta perbaikan diri, keluarga, dan
masyarakat. Oleh karena itu, produktifitas di sini didefinisikan sebagai semua
hal yang mengandung nilai-nilai kebaikan (khairiyyah), yang di dalamnya
kita dituntut untuk melakukan hal itu.
Sebagaimana ayat di atas, Islam
sangat memandang positif terhadap produktifitas manusia. Islam menjunjung tinggi
nilai kerja, ketika umumnya masyarakat dunia menempatkan kelas eksekutif dan
militer sebagai posisi yang tinggi. Islam menghargai orang-orang yang berilmu
pengetahuan, pedagang, pengrajin, dan tukang sebagai profesi yang mulia. Akan
tetapi dalam Islam produktifitas tidak sekedar pada bentuk kerja atau aktifitas
semata. Karena kerja tidak murni perkara profan (prilaku duniawi), bukan
sekedar menghasilkan uang, bukan juga semata-mata untuk menepis gengsi agar
terlepas dari tudingan sebagai penganggur.
Ayat di atas diisyaratkan Allah agar
umat Islam beraktifitas (kerja) untuk dunia dan akhiratnya, untuk dirinya dan
bangsanya. Sabda Rasulullah SAW sebagaimana
diriwayatkan oleh Thabrani,
“Sesungguhnya aku benci kepada
seseorang yang menganggur, tidak bekerja untuk kepentingan dunia juga tidak
untuk keuntungan akhirat”. Pada hadis lain, “ Allah senang melihat hambanya
yang taqwa, kaya, dan tidak sombong.” HR. Ahmad, Muslim dari Sa’ad.
Dengan bekerja (beraktifitas), itulah kunci kebahagiaan (bisa menjadi kaya). Namun demikian, beraktifitas atau bekerja harus sesuai dengan kehendak Allah SWT, sesuai aturan main yang telah ditetapkan al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Sebab Allah, Rasul Nya dan orang-orang beriman melihat karya nyata setiap orang. Artinya, kerja dan hasil yang dikerjakan merupakan manifestasi (perwujudan) keyakinan seorang muslim bahwa produktifitas bukan hanya untuk memuliakan dirinya atau untuk menampakkan kemanusiaannya, tetapi juga sebagai perwujudan amal saleh yang memiliki nilai ibadah yang sangat luhur, dan bermanfaat bagi orang lain. Sebagaimana hadis yang menyatakan, “Sebaik-baik kamu adalah yang memberikan manfaat kepada orang lain”. HR. Bukhari.
Islam dengan ke-syumul-annya menawarkan konsep “manusia produktif” karena ia memiliki sumberdaya yang harus diberdayakan seperti; akal, kekuatan, keinginan, dan ketersediaan waktu, kepada setiap orang sekaligus mengantarkan mereka menembus nilai-nilai kebertuhanan yang sering tertutup oleh tabir kegelapan jahiliyyah moderen. Sekurang-kurangnya ada empat prinsip sebagai konsep Islam dalam membina manusia menjadi muslim produktif, duniawi dan ukhrawi.
Dengan bekerja (beraktifitas), itulah kunci kebahagiaan (bisa menjadi kaya). Namun demikian, beraktifitas atau bekerja harus sesuai dengan kehendak Allah SWT, sesuai aturan main yang telah ditetapkan al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Sebab Allah, Rasul Nya dan orang-orang beriman melihat karya nyata setiap orang. Artinya, kerja dan hasil yang dikerjakan merupakan manifestasi (perwujudan) keyakinan seorang muslim bahwa produktifitas bukan hanya untuk memuliakan dirinya atau untuk menampakkan kemanusiaannya, tetapi juga sebagai perwujudan amal saleh yang memiliki nilai ibadah yang sangat luhur, dan bermanfaat bagi orang lain. Sebagaimana hadis yang menyatakan, “Sebaik-baik kamu adalah yang memberikan manfaat kepada orang lain”. HR. Bukhari.
Islam dengan ke-syumul-annya menawarkan konsep “manusia produktif” karena ia memiliki sumberdaya yang harus diberdayakan seperti; akal, kekuatan, keinginan, dan ketersediaan waktu, kepada setiap orang sekaligus mengantarkan mereka menembus nilai-nilai kebertuhanan yang sering tertutup oleh tabir kegelapan jahiliyyah moderen. Sekurang-kurangnya ada empat prinsip sebagai konsep Islam dalam membina manusia menjadi muslim produktif, duniawi dan ukhrawi.
Yang
pertama, mengubah paradigma hidup dan
ibadah. Dalam Islam, hidup bukanlah sekedar menuju kematian, karena mati
hanyalah perpindahan tempat, dari dunia ke alam baqa. Sedang hidup yang
sesungguhnya adalah hidup menuju kepada kehidupan yang abadi yakni, akhirat.
Hidup merupakan pekerjaan menanam benih di ladang dunia yang hasilnya akan dituai di kehidupan abadi nanti. Sehingga hidup ini merupakan durasi (waktu) penyeleksian manusia dari amalan-amalannya atau produktifitasnya.
Hidup merupakan pekerjaan menanam benih di ladang dunia yang hasilnya akan dituai di kehidupan abadi nanti. Sehingga hidup ini merupakan durasi (waktu) penyeleksian manusia dari amalan-amalannya atau produktifitasnya.
Dalam hal ini dinilai, mana di
antara mereka yang tigkat produktifitasnya tinggi dan mana yang tidak.
Sebagaimana isyarat al Qur’an menyatakan firman Allah:
“Yang menjadikan mati dan hidup,
supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik kerjanya. Dan Dia
Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” Qur’an surah al Mulk ayat 2.
Dan dalam
ayat lain pada surah al Kahfi ayat 7 “ Sungguh Kami telah menjadikan apa yang
ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah
diantara mereka yang paling baik kerjanya”.
Yang kedua, memelihara kunci produktifitas, yaitu hati. Rasulullah saw bersabda, ”Ingatlah dalam diri manusia ada segumpal daging, apabila daging itu baik maka akan baiklah seluruh jasadnya. Dan apabila daging itu rusak maka rusaklah seluruh jasadnya, itu adalah hati”. Hati merupakan ruh bagi semua potensi yang kita miliki. Pikiran dan tenaga tidak akan tercurahkan serta tersalurkan dalam suatu bentuk ‘amalan shalihan (pruduktifitas) jika kondisi hati mati atau rusak. Hati yang terpelihara dan terlindungi akan memancarkan energi pendorong untuk beramal lebih banyak dan lebih berkualitas. Produktifitasnya akan terjaga bahkan akan terus bertambah. Dan tidak hanya itu, ‘amaliyahnya (produktifitas) pun akan mempunyai nilai yang abadi. Nilai ini adalah nilai keikhlasan yang jauh dari kepentingan-kepentingan pribadi dan duniawi.
Yang ketiga, bergerak dari sekarang. Sebuah ungkapan menyatakan, “Jika engkau berada di pagi hari maka jangan menunggu waktu sore, dan jika engkau berada di sore hari maka jangan menunggu datangnya malam“.
Yang kedua, memelihara kunci produktifitas, yaitu hati. Rasulullah saw bersabda, ”Ingatlah dalam diri manusia ada segumpal daging, apabila daging itu baik maka akan baiklah seluruh jasadnya. Dan apabila daging itu rusak maka rusaklah seluruh jasadnya, itu adalah hati”. Hati merupakan ruh bagi semua potensi yang kita miliki. Pikiran dan tenaga tidak akan tercurahkan serta tersalurkan dalam suatu bentuk ‘amalan shalihan (pruduktifitas) jika kondisi hati mati atau rusak. Hati yang terpelihara dan terlindungi akan memancarkan energi pendorong untuk beramal lebih banyak dan lebih berkualitas. Produktifitasnya akan terjaga bahkan akan terus bertambah. Dan tidak hanya itu, ‘amaliyahnya (produktifitas) pun akan mempunyai nilai yang abadi. Nilai ini adalah nilai keikhlasan yang jauh dari kepentingan-kepentingan pribadi dan duniawi.
Yang ketiga, bergerak dari sekarang. Sebuah ungkapan menyatakan, “Jika engkau berada di pagi hari maka jangan menunggu waktu sore, dan jika engkau berada di sore hari maka jangan menunggu datangnya malam“.
Prinsip bergerak dari sekarang ini
menunjukan suatu etos kerja yang tinggi dan semangat beramal yang menggebu.
Seorang muslim tidak akn menunda-nunda suatu amal, karena waktu dalam pandangan
Islam sangatlah mahal (Q.s. al ‘Ashr).
Waktu terus mengalir apa yang yang
telah berlalu, walau sedetik tak akan kembali lagi, karena hidup mengalir,
tumbuh dan bergerak.