Jika masyarakat
PEDESAAN menganggap cerai merupakan aib yang harus ditutup-tutupi karena merasa
gagal membina rumah tangga, mungkin persepsi lain tersaji di masyarakat
PERKOTAAN bhw perceraian merupakan hal yg biasa, dan berlaku untuk konsumsi
media, …….itu baru soal perceraian, bagaimana dgn pencurian, atau maling bahasa
kasarnya, bhw seorang maling di pedesaan jika tertangkap, sering kali kita
lihat di televisi, pasti menutupi wajahnya dgn apapun asal tidak kelihatan
media, hal berbeda di tunjukan masyarakat perkotaan, seorang koruptor kelas
kakap pun dgn pakaian necisnya tampil dimedia tanpa rasa malu sedikitpun…
*******************
Manusia merupakan
makhluk Allah SWT yang paling sempurna. Kesempurnaan itu tampak dari
dianugerahkannya akal, sehingga manusia seharusnya mampu memilah antara yang
hak dan batil. Berbeda dengan makhluk tumbuhan dan binatang, dimana nafsu lebih
mendominasi tanpa akal.
Malu merupakan
sifat yang mulia. Sifat yang telah diwariskan oleh para Nabi. Islam
menganjurkan umatnya agar menjadikan malu sebagai penghias hidupnya. Hiasan
yang membawa kebaikan bagi pemiliknya dan menjadi jalan menuju surga.
Rasa malu memang
merupakan rem yang sangat ampuh dalam mengontrol perilaku kita. Sekiranya tidak
ada rasa malu pada diri kita, tentu apa yang diisyaratkan hadis di atas akan
benar-benar terjadi. Kita akan melakukan apa saja yang diinginkan tanpa
kekangan. Kalau sudah seperti itu, maka berbagai penyelewengan dan penyimpangan
tentu akan dilakukan tanpa adanya perasaan bersalah.
Bahkan mungkin,
berbagai penyimpangan dikemas dalam tampilan yang soleh dan agamis. Tanpa
adanya rasa malu, apa yang tidak layak menjadi pantas, dan apa yang terlarang
menjadi boleh dan dipandang baik. Tuntunan menjadi tontonan, dan sebaliknya
tontonan menjadi tuntunan.
Penting untuk
dipahami bahwa rasa malu disini dalam konteks apa-apa yang dibenci Allah SWT
bukan dalam hal-hal yang benar. Sehingga didalam perjuangan menegakkan
kebenaran dan kejujuran wajib dikedepankanlah keberanian. Tidak semestinya
seorang malu untuk menuntut apa yang memang menjadi haknya. Tapi, ia seharusnya
malu jika mengambil apa-apa yang bukan haknya, walaupun tidak ada seorang
manusiapun yang mengetahui perbuatannya.
Alangkah indah
sekiranya kaum Muslimin memilika rasa malu yang kuat, sehingga rasa malu
itu menjadi penuntun kearah perilaku yang mulia. Setiap kali bisikan-bisikan
buruk menggoda, maka akan kita katakan, “Sungguh saya malu pada Allah untuk
berbuat yang semacam ini.”
Sudah saatnya malu
menjadi budaya yang harus selalu dijaga dan dipelihara, baik oleh individu,
kelompok, terlebih bangsa ini. Kita sadari betapa tidak berhentinya petaka,
bencana, yang melanda bangsa ini mungkin salah satunya diakibatkan oleh
hilangnya rasa malu.
Seorang siswa yang tahu nikmatnya mencari ilmu tidak akan pernah
malu dalam bertanya. Kenapa harus takut dan malu untuk memburu ilmu yang sedang
dipelajari? Sebaliknya dia akan malu ketika ada bisikan-bisikan untuk mencontek
atau memberikan contekan juga.
Seorang Muslim akan merasa malu ketika melihat tontonan acara tv yang
tersuguh dalam bentuk gossip dan fitnah. Acara mengumbar maksiyat dan
kedurhakaan sudah pasti dimatikan bagi yang masih mempuyai rasa malu.
Seorang pejabat merasa malu jika menyelewengkan kekuasaan terkait
profesinya. Jabatannya merupakan amanah yang harus diemban. Dia menjadi pejabat
bukan karena kehebatannya, melainkan kepercayaan konstituen kepadanya.
Seorang wanita
merasa malu mempertononkan auratnya pada orang yang tidak memiliki hak atasnya.
Dia berpikir bahwa ini merupakan karunia Allah SWT yang harus dijaga sesuai
aturan yang telah digariskan.
Seorang pengusaha merasa malu jika terlambat memberi upah pada
karyawannya. Kesuksesan usahanya adalah berkat kerja keras para karyawannya.
Tak ada artinya dia tanpa bantuan karyawan.
Seorang penguasa merasa malu jika tidak memberikan pelayanan terbaiknya
kepada rakyat. Kekuasaan yang dimilikinya sangat terbatas oleh ruang dan waktu.
Namun, kekuasaan Allah SWT bersifat kekal. Ketakutannya kepada Allah SWT
mendorongnya untuk berbuat adil dan bijaksana. Semua akan ditanyakan di alam
akherat tidak tersisa bab sekecil apapun.
Apakah masih ada
rasa malu di hati kita? Jika kita tidak malu melakukan maksiyat kecil maka
bersiaplah akan hanyut dalam kemungkaran dan maksiyat yang lebih besar.
Satu lagi, kalau
malu hanya berpatokan pada pandangan manusia, maka hal itu akan melahirkan
manusia-manusia yang bersikap munafik. Di depan banyak orang, dia akan bersikap
baik, santun, ramah, dan sebagainya. Begitu tidak terlihat banyak manusia, dia
akan berkhianat, korupsi, menyengsarakan orang lain, serta melakukan kejahatan
kejam lainnya.
Rasa malu merupakan
identitas bagi setiap Muslim.
Dari Zaid bin
Thalhah bin Rukanah, ia mengatakannya dari Nabi SAW, Rasulullah SAW bersabda,
“Bagi tiap-tiap agama itu ada akhlaqnya, dan akhlaq Islam adalah malu”. [HR
Malik, di dalam Muwaththa' : 905]
Artinya, rasa malu
merupakan bagian yang tak boleh terpisahkan dari diri setiap Muslim.
Begitu hilang rasa
malunya, maka hilang pula kepribadiannya sebagai seorang Muslim. Ia akan
terbiasa berbuat dosa, baik terang-terangan maupun tersembunyi. Makanya,
sangat wajar jika Rasulullah SAW murka terhadap orang yang tak punya rasa malu.
Dari Abu Mas’ud, ia
berkata : Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya diantara apa-apa yang didapati
orang-orang dari perkataan para Nabi dahulu ialah : Apabila kamu sudah tidak
malu, maka berbuatlah sekehendakmu”. [HR. Bukhari juz 7, hal. 100]
Betul! Silahkan
berbuat sesukamu tanpa malu sehingga Allah akan murka. Dan bersiaplah untuk
menjalani hidup yang sempit di akhirat dan didunia. Mari kita jaga dan
budayakan sifat MALU ketika akan berbuat kemungkaran dan selalu BERANI dalam
memperjuangkan kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar