Rabu, 30 Mei 2012

Bukhara Kota Bersejarah



Bukhara merupakan kota yang terletak di sebelah tengah Uzbekistan. Penduduknya berjumlah 247.000 jiwa (2005). Kota ini mengalami masa kejayaannya pada abad ke-9 M sampai abad ke-13 M sebagai pusat peradaban Islam dan perdagangan di Asia Tengah, di samping Samarkand. Kota ini juga merupakan tempat kelahiran dari Imam Bukhari, periwayat dan ahli hadis. Pada tahun 1220 M, tentara Mongol, dibawah pimpinan Jenghis Khan menaklukkan Bukhara dan membakar kota tersebut, sehingga Bukhara tidak pernah bangkit lagi sebagai pusat peradaban dan perdagangan. Kota ini termasuk dalam Situs Warisan Dunia UNESCO. Kota ini merupakan kota kelahiran Imam Bukhari.

Bukhara di Era Kejayaan Islam

Kehidupan penduduk Bukhara mulai berubah ketika tentara Islam datang berdakwah. Pada akhir tahun 672, Ziyad bin Abihi menugaskan Miqdam Rabi’ bin Haris berlayar dari Irak menuju daerah Khurasan. Miqdam berhasil menaklukan wilayah itu sampai ke Iran Timur. Setelah Ziyad meninggal, Mu’awiyah, Khalifah Bani Umayyah memerintahkan Ubaidillah bin Ziyad untuk menaklukan Bukhara.
Pasukan tentara Islam pertama menjejakkan kaki di tanah Bukhara pada 674 M di bawah pimpinan panglima perang, Ubaidillah bin Ziyad. Namun, pengaruh Islam benar-benar mulai mendominasi wilayah itu pada 710 M di bawah kepemimpinan Kutaiba bin Muslim. Seabad setelah terjadinya Perang Talas, Islam mulai mengakar di Bukhara.

Tepat pada tahun 850 M, Bukhara telah menjadi ibu kota Dinasti Samanid. Dinasti itu membawa dan menghidupkan kembali bahasa dan budaya Iran ke wilayah itu. Ketika Dinasti Samanid berkuasa, selama 150 tahun Bukhara tak hanya menjadi pusat pemerintahan, namun juga sentra perdagangan.

Pedagang dari Asia Barat dan Cina bertemu di kota itu. Di kota Bukhara pun berkembang bisnis pembuatan kain sutera, tenunan kain dari kapas, karpet, katun, produk tembaga, dan perhiasan dari emas serta perak dengan berbagai bentuk. Bukhara pun kesohor sebagai pasar induk yang menampung produk dari Cina dan Asia Barat.
Selain itu, karena berada di sekitar Sungai Jihun, tanah Bukhara pun dikenal sangat subur. Buah-buahan pun melimpah. Kota Bukhara terkenal dengan buah-buahan seperti Barkouk Bukhara yang terkenal hampir seribu tahun. Geliat bisnis dan perekonomian pun tumbuh pesat. Tak heran, bila kemudian nama Bukhara makin populer.

Pada era keemasan Dinasti Samanid, Bukhara juga menjadi pusat intelektual dunia Islam. Saat itu, di kota Bukhara bermunculan madrasah-madrasah yang mengajarkan ilmu pengetahuan. Dinasti Samanid pun mulai memperbaiki sistem pendidikan umum. Di setiap perkampungan berdiri sekolah. Keluarga yang kaya-raya menndidikan putera-puterinya dengan sistem home schooling atau sekolah di rumah.

Anak yang berusia enam tahun mulai mendapat pendidikan dasar selama enam tahun. Setelah itu, anak-anak di Bukhara bisa melanjutkan studinya ke madrasah. Pendidikan di madrasah dilalui dalam tiga tingkatan, masing-masing selama tujuh tahun. Keseluruhan pendidikan di madrasah harus ditempuh selama 21 tahun.
Para siswa mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, mulai ilmu agama, aritmatika, jurisprudensi, logika, musik, serta puisi. Geliat pendidikan di Bukhara itu telah membawa pengaruh yang positif dalam penyebaran dan penggunaan bahasa Persia dan Uzbek.
Tak heran, kemampuan penduduk Bukhara dalam menulis, menguasai ilmu pengetahuan serta keterampilan berkembang pesat. Di tanah Bukahara pun kemudian lahir sederet ulama dan ilmuwan Muslim termasyhur.

Pada tahun 998 M, kekuasaan Dinasti Samanid berakhir dan digantikan Dinasti Salajikah. Tak lama kemudian, diambli alih Dinasti Khawarizmi. Pada masa itu, status Bukhara sebagai pusat peradaban dan perkembangan Islam masih tetap dipertahankan. Ketika masa kekuasaan pemerintah Sultan Ala’udin Muhammad Khawarizmi Syah berakhir, Bukhara sebagai pusat ilmu pengetahuan pun mulai meredup.

Pada 1220 M, peperangan hebat antara pasukan Sultan Ala’udin dengan pasukan Mongol di bawah komando Jengiz Khan meletus. Serangan brutal yang dilakukan 70 ribu pasukan Jengiz Khan tak mampu diredam. Bukhara pun jatuh ke tangan pasukan Mongol. Dengan kejam dan sadis, pasukan Mongol membantai penduduk kota, membakar madrasah, masjid dan bangunan penting lainnya.
Jengiz Khan meluluh-lantakan peradaban dan ilmu pengetahuan yang dibangun umat Islam di Bukhara. Bukhara rata dengan tanah. Ibnu Asir melukiskan kondisi Bukhara dengan kata-kata: ka an lam tagna bi al-amsi (seolah-olah tak ada apa-apa sebelumnya). Cahaya kemajuan peradaban yang ilmu pengetahuan yang terpancancar dari Bukhara pun meredup

Bukhara di Zaman Modern

Meski masa kejayaannya telah berlalu pada abad ke-13 M, Bukhara masih memegang peranan yang penting di abad ke-19 M. Menurut Demezon, pada tahun 1833, Bukhara tetap menjadi bagian yang penting dalam kehidupan keagamaan dan budaya di kawasan tersebut.

“Madrasah-madrasah di Bukhara masih terkenal hingga ke Turkistan. Pelajar-pelajar dari Khiva, Kokand, Gissar bahkan dari Samarkand dan kawasan Tatar berbondong-bondong belajar ke Bukhara. Ada sebanyak 60 madrasah di Bukhara yang sukses maupun kurang sukses,” papar Demezon menggambarkan situasi Bukhara di abad ke-19.

Bukhara merupakan kota yang terletak di sebelah tengah Uzbekistan. Penduduknya berjumlah 247.000 jiwa (2005). Kota ini mengalami masa kejayaannya pada abad ke-9 M sampai abad ke-13 M sebagai pusat peradaban Islam dan perdagangan di Asia Tengah, di samping Samarkand. Kota ini juga merupakan tempat kelahiran dari Imam Bukhari, periwayat dan ahli hadis. Pada tahun 1220 M, tentara Mongol, dibawah pimpinan Jenghis Khan menaklukkan Bukhara dan membakar kota tersebut, sehingga Bukhara tidak pernah bangkit lagi sebagai pusat peradaban dan perdagangan. Kota ini termasuk dalam Situs Warisan Dunia UNESCO. Kota ini merupakan kota kelahiran Imam Bukhari.

Bukhara di Era Kejayaan Islam

Kehidupan penduduk Bukhara mulai berubah ketika tentara Islam datang berdakwah. Pada akhir tahun 672, Ziyad bin Abihi menugaskan Miqdam Rabi’ bin Haris berlayar dari Irak menuju daerah Khurasan. Miqdam berhasil menaklukan wilayah itu sampai ke Iran Timur. Setelah Ziyad meninggal, Mu’awiyah, Khalifah Bani Umayyah memerintahkan Ubaidillah bin Ziyad untuk menaklukan Bukhara.
Pasukan tentara Islam pertama menjejakkan kaki di tanah Bukhara pada 674 M di bawah pimpinan panglima perang, Ubaidillah bin Ziyad. Namun, pengaruh Islam benar-benar mulai mendominasi wilayah itu pada 710 M di bawah kepemimpinan Kutaiba bin Muslim. Seabad setelah terjadinya Perang Talas, Islam mulai mengakar di Bukhara.
Tepat pada tahun 850 M, Bukhara telah menjadi ibu kota Dinasti Samanid. Dinasti itu membawa dan menghidupkan kembali bahasa dan budaya Iran ke wilayah itu. Ketika Dinasti Samanid berkuasa, selama 150 tahun Bukhara tak hanya menjadi pusat pemerintahan, namun juga sentra perdagangan.
Pedagang dari Asia Barat dan Cina bertemu di kota itu. Di kota Bukhara pun berkembang bisnis pembuatan kain sutera, tenunan kain dari kapas, karpet, katun, produk tembaga, dan perhiasan dari emas serta perak dengan berbagai bentuk. Bukhara pun kesohor sebagai pasar induk yang menampung produk dari Cina dan Asia Barat.
Selain itu, karena berada di sekitar Sungai Jihun, tanah Bukhara pun dikenal sangat subur. Buah-buahan pun melimpah. Kota Bukhara terkenal dengan buah-buahan seperti Barkouk Bukhara yang terkenal hampir seribu tahun. Geliat bisnis dan perekonomian pun tumbuh pesat. Tak heran, bila kemudian nama Bukhara makin populer.
Pada era keemasan Dinasti Samanid, Bukhara juga menjadi pusat intelektual dunia Islam. Saat itu, di kota Bukhara bermunculan madrasah-madrasah yang mengajarkan ilmu pengetahuan. Dinasti Samanid pun mulai memperbaiki sistem pendidikan umum. Di setiap perkampungan berdiri sekolah. Keluarga yang kaya-raya menndidikan putera-puterinya dengan sistem home schooling atau sekolah di rumah.
Anak yang berusia enam tahun mulai mendapat pendidikan dasar selama enam tahun. Setelah itu, anak-anak di Bukhara bisa melanjutkan studinya ke madrasah. Pendidikan di madrasah dilalui dalam tiga tingkatan, masing-masing selama tujuh tahun. Keseluruhan pendidikan di madrasah harus ditempuh selama 21 tahun.
Para siswa mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, mulai ilmu agama, aritmatika, jurisprudensi, logika, musik, serta puisi. Geliat pendidikan di Bukhara itu telah membawa pengaruh yang positif dalam penyebaran dan penggunaan bahasa Persia dan Uzbek.
Tak heran, kemampuan penduduk Bukhara dalam menulis, menguasai ilmu pengetahuan serta keterampilan berkembang pesat. Di tanah Bukahara pun kemudian lahir sederet ulama dan ilmuwan Muslim termasyhur.
Pada tahun 998 M, kekuasaan Dinasti Samanid berakhir dan digantikan Dinasti Salajikah. Tak lama kemudian, diambli alih Dinasti Khawarizmi. Pada masa itu, status Bukhara sebagai pusat peradaban dan perkembangan Islam masih tetap dipertahankan. Ketika masa kekuasaan pemerintah Sultan Ala’udin Muhammad Khawarizmi Syah berakhir, Bukhara sebagai pusat ilmu pengetahuan pun mulai meredup.
Pada 1220 M, peperangan hebat antara pasukan Sultan Ala’udin dengan pasukan Mongol di bawah komando Jengiz Khan meletus. Serangan brutal yang dilakukan 70 ribu pasukan Jengiz Khan tak mampu diredam. Bukhara pun jatuh ke tangan pasukan Mongol. Dengan kejam dan sadis, pasukan Mongol membantai penduduk kota, membakar madrasah, masjid dan bangunan penting lainnya.
Jengiz Khan meluluh-lantakan peradaban dan ilmu pengetahuan yang dibangun umat Islam di Bukhara. Bukhara rata dengan tanah. Ibnu Asir melukiskan kondisi Bukhara dengan kata-kata: ka an lam tagna bi al-amsi (seolah-olah tak ada apa-apa sebelumnya). Cahaya kemajuan peradaban yang ilmu pengetahuan yang terpancancar dari Bukhara pun meredup


Bukhara di Zaman Modern

Meski masa kejayaannya telah berlalu pada abad ke-13 M, Bukhara masih memegang peranan yang penting di abad ke-19 M. Menurut Demezon, pada tahun 1833, Bukhara tetap menjadi bagian yang penting dalam kehidupan keagamaan dan budaya di kawasan tersebut.
“Madrasah-madrasah di Bukhara masih terkenal hingga ke Turkistan. Pelajar-pelajar dari Khiva, Kokand, Gissar bahkan dari Samarkand dan kawasan Tatar berbondong-bondong belajar ke Bukhara. Ada sebanyak 60 madrasah di Bukhara yang sukses maupun kurang sukses,” papar Demezon menggambarkan situasi Bukhara di abad ke-19.
Memasuki era modern, Bukhara berada di bawah kekuasaan Rusia. Bukhara pun dijadikan semacam bidak catur dalam ‘permainan besar’ antara Rusia dengan Inggris. Kota itu benar-benar merdeka selama revolusi komunis. Namun, Bukhara akhirnya masuk dalam kekuasaan Uni Soviet.
Menyusul terbentuknya Uni Soviet, Tajiks yang merupakan bagian dari Uzbekistan menuntut kemerdekaan. Rusia yang mendukung Uzbekistan atas Tajiks menyerahkan kota yang secara tradisional berbahasa dan berbudaya Iran, yakni Bukhara dan Samarkand kepada Uzbekistan.



Memasuki era modern, Bukhara berada di bawah kekuasaan Rusia. Bukhara pun dijadikan semacam bidak catur dalam ‘permainan besar’ antara Rusia dengan Inggris. Kota itu benar-benar merdeka selama revolusi komunis. Namun, Bukhara akhirnya masuk dalam kekuasaan Uni Soviet.
Menyusul terbentuknya Uni Soviet, Tajiks yang merupakan bagian dari Uzbekistan menuntut kemerdekaan. Rusia yang mendukung Uzbekistan atas Tajiks menyerahkan kota yang secara tradisional berbahasa dan berbudaya Iran, yakni Bukhara dan Samarkand kepada Uzbekistan.



Oleh Heri Ruslan




Tidak ada komentar:

Posting Komentar