Bukhara merupakan kota yang terletak di sebelah tengah Uzbekistan. Penduduknya berjumlah 247.000 jiwa (2005). Kota ini mengalami masa kejayaannya pada abad ke-9 M sampai abad ke-13 M sebagai pusat peradaban Islam dan perdagangan di Asia Tengah, di samping Samarkand. Kota ini juga merupakan tempat kelahiran dari Imam Bukhari, periwayat dan ahli hadis. Pada tahun 1220 M, tentara Mongol, dibawah pimpinan Jenghis Khan menaklukkan Bukhara dan membakar kota tersebut, sehingga Bukhara tidak pernah bangkit lagi sebagai pusat peradaban dan perdagangan. Kota ini termasuk dalam Situs Warisan Dunia UNESCO. Kota ini merupakan kota kelahiran Imam Bukhari.
Bukhara di Era Kejayaan Islam
Kehidupan
penduduk Bukhara mulai berubah ketika tentara Islam datang berdakwah. Pada
akhir tahun 672, Ziyad bin Abihi menugaskan Miqdam Rabi’ bin Haris berlayar
dari Irak menuju daerah Khurasan. Miqdam berhasil menaklukan wilayah itu sampai
ke Iran Timur. Setelah Ziyad meninggal, Mu’awiyah, Khalifah Bani Umayyah
memerintahkan Ubaidillah bin Ziyad untuk menaklukan Bukhara.
Pasukan
tentara Islam pertama menjejakkan kaki di tanah Bukhara pada 674 M di bawah
pimpinan panglima perang, Ubaidillah bin Ziyad. Namun, pengaruh Islam
benar-benar mulai mendominasi wilayah itu pada 710 M di bawah kepemimpinan
Kutaiba bin Muslim. Seabad setelah terjadinya Perang Talas, Islam mulai
mengakar di Bukhara.
Tepat
pada tahun 850 M, Bukhara telah menjadi ibu kota Dinasti Samanid. Dinasti itu
membawa dan menghidupkan kembali bahasa dan budaya Iran ke wilayah itu. Ketika
Dinasti Samanid berkuasa, selama 150 tahun Bukhara tak hanya menjadi pusat
pemerintahan, namun juga sentra perdagangan.
Pedagang
dari Asia Barat dan Cina bertemu di kota itu. Di kota Bukhara pun berkembang
bisnis pembuatan kain sutera, tenunan kain dari kapas, karpet, katun, produk
tembaga, dan perhiasan dari emas serta perak dengan berbagai bentuk. Bukhara
pun kesohor sebagai pasar induk yang menampung produk dari Cina dan Asia Barat.
Selain
itu, karena berada di sekitar Sungai Jihun, tanah Bukhara pun dikenal sangat
subur. Buah-buahan pun melimpah. Kota Bukhara terkenal dengan buah-buahan
seperti Barkouk Bukhara yang terkenal hampir seribu tahun. Geliat bisnis dan
perekonomian pun tumbuh pesat. Tak heran, bila kemudian nama Bukhara makin
populer.
Pada
era keemasan Dinasti Samanid, Bukhara juga menjadi pusat intelektual dunia
Islam. Saat itu, di kota Bukhara bermunculan madrasah-madrasah yang mengajarkan
ilmu pengetahuan. Dinasti Samanid pun mulai memperbaiki sistem pendidikan umum.
Di setiap perkampungan berdiri sekolah. Keluarga yang kaya-raya menndidikan
putera-puterinya dengan sistem home schooling atau sekolah di rumah.
Anak
yang berusia enam tahun mulai mendapat pendidikan dasar selama enam tahun.
Setelah itu, anak-anak di Bukhara bisa melanjutkan studinya ke madrasah. Pendidikan
di madrasah dilalui dalam tiga tingkatan, masing-masing selama tujuh tahun.
Keseluruhan pendidikan di madrasah harus ditempuh selama 21 tahun.
Para
siswa mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, mulai ilmu agama, aritmatika,
jurisprudensi, logika, musik, serta puisi. Geliat pendidikan di Bukhara itu
telah membawa pengaruh yang positif dalam penyebaran dan penggunaan bahasa
Persia dan Uzbek.
Tak
heran, kemampuan penduduk Bukhara dalam menulis, menguasai ilmu pengetahuan
serta keterampilan berkembang pesat. Di tanah Bukahara pun kemudian lahir
sederet ulama dan ilmuwan Muslim termasyhur.
Pada
tahun 998 M, kekuasaan Dinasti Samanid berakhir dan digantikan Dinasti
Salajikah. Tak lama kemudian, diambli alih Dinasti Khawarizmi. Pada masa itu,
status Bukhara sebagai pusat peradaban dan perkembangan Islam masih tetap
dipertahankan. Ketika masa kekuasaan pemerintah Sultan Ala’udin Muhammad
Khawarizmi Syah berakhir, Bukhara sebagai pusat ilmu pengetahuan pun mulai
meredup.
Pada
1220 M, peperangan hebat antara pasukan Sultan Ala’udin dengan pasukan Mongol
di bawah komando Jengiz Khan meletus. Serangan brutal yang dilakukan 70 ribu
pasukan Jengiz Khan tak mampu diredam. Bukhara pun jatuh ke tangan pasukan
Mongol. Dengan kejam dan sadis, pasukan Mongol membantai penduduk kota,
membakar madrasah, masjid dan bangunan penting lainnya.
Jengiz
Khan meluluh-lantakan peradaban dan ilmu pengetahuan yang dibangun umat Islam
di Bukhara. Bukhara rata dengan tanah. Ibnu Asir melukiskan kondisi Bukhara
dengan kata-kata: ka an lam tagna bi al-amsi (seolah-olah tak ada apa-apa
sebelumnya). Cahaya kemajuan peradaban yang ilmu pengetahuan yang terpancancar
dari Bukhara pun meredup
Bukhara
di Zaman Modern
Meski masa kejayaannya telah berlalu pada abad ke-13 M, Bukhara masih memegang peranan yang penting di abad ke-19 M. Menurut Demezon, pada tahun 1833, Bukhara tetap menjadi bagian yang penting dalam kehidupan keagamaan dan budaya di kawasan tersebut.
“Madrasah-madrasah di Bukhara masih terkenal hingga ke Turkistan. Pelajar-pelajar dari Khiva, Kokand, Gissar bahkan dari Samarkand dan kawasan Tatar berbondong-bondong belajar ke Bukhara. Ada sebanyak 60 madrasah di Bukhara yang sukses maupun kurang sukses,” papar Demezon menggambarkan situasi Bukhara di abad ke-19.
Bukhara merupakan kota yang terletak di sebelah tengah Uzbekistan. Penduduknya berjumlah 247.000 jiwa (2005). Kota ini mengalami masa kejayaannya pada abad ke-9 M sampai abad ke-13 M sebagai pusat peradaban Islam dan perdagangan di Asia Tengah, di samping Samarkand. Kota ini juga merupakan tempat kelahiran dari Imam Bukhari, periwayat dan ahli hadis. Pada tahun 1220 M, tentara Mongol, dibawah pimpinan Jenghis Khan menaklukkan Bukhara dan membakar kota tersebut, sehingga Bukhara tidak pernah bangkit lagi sebagai pusat peradaban dan perdagangan. Kota ini termasuk dalam Situs Warisan Dunia UNESCO. Kota ini merupakan kota kelahiran Imam Bukhari.
Bukhara di Era Kejayaan Islam
Kehidupan
penduduk Bukhara mulai berubah ketika tentara Islam datang berdakwah. Pada
akhir tahun 672, Ziyad bin Abihi menugaskan Miqdam Rabi’ bin Haris berlayar
dari Irak menuju daerah Khurasan. Miqdam berhasil menaklukan wilayah itu sampai
ke Iran Timur. Setelah Ziyad meninggal, Mu’awiyah, Khalifah Bani Umayyah
memerintahkan Ubaidillah bin Ziyad untuk menaklukan Bukhara.
Pasukan
tentara Islam pertama menjejakkan kaki di tanah Bukhara pada 674 M di bawah
pimpinan panglima perang, Ubaidillah bin Ziyad. Namun, pengaruh Islam
benar-benar mulai mendominasi wilayah itu pada 710 M di bawah kepemimpinan
Kutaiba bin Muslim. Seabad setelah terjadinya Perang Talas, Islam mulai
mengakar di Bukhara.
Tepat
pada tahun 850 M, Bukhara telah menjadi ibu kota Dinasti Samanid. Dinasti itu
membawa dan menghidupkan kembali bahasa dan budaya Iran ke wilayah itu. Ketika
Dinasti Samanid berkuasa, selama 150 tahun Bukhara tak hanya menjadi pusat
pemerintahan, namun juga sentra perdagangan.
Pedagang
dari Asia Barat dan Cina bertemu di kota itu. Di kota Bukhara pun berkembang
bisnis pembuatan kain sutera, tenunan kain dari kapas, karpet, katun, produk
tembaga, dan perhiasan dari emas serta perak dengan berbagai bentuk. Bukhara
pun kesohor sebagai pasar induk yang menampung produk dari Cina dan Asia Barat.
Selain
itu, karena berada di sekitar Sungai Jihun, tanah Bukhara pun dikenal sangat
subur. Buah-buahan pun melimpah. Kota Bukhara terkenal dengan buah-buahan
seperti Barkouk Bukhara yang terkenal hampir seribu tahun. Geliat bisnis dan
perekonomian pun tumbuh pesat. Tak heran, bila kemudian nama Bukhara makin
populer.
Pada
era keemasan Dinasti Samanid, Bukhara juga menjadi pusat intelektual dunia
Islam. Saat itu, di kota Bukhara bermunculan madrasah-madrasah yang mengajarkan
ilmu pengetahuan. Dinasti Samanid pun mulai memperbaiki sistem pendidikan umum.
Di setiap perkampungan berdiri sekolah. Keluarga yang kaya-raya menndidikan
putera-puterinya dengan sistem home schooling atau sekolah di rumah.
Anak
yang berusia enam tahun mulai mendapat pendidikan dasar selama enam tahun.
Setelah itu, anak-anak di Bukhara bisa melanjutkan studinya ke madrasah. Pendidikan
di madrasah dilalui dalam tiga tingkatan, masing-masing selama tujuh tahun.
Keseluruhan pendidikan di madrasah harus ditempuh selama 21 tahun.
Para
siswa mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, mulai ilmu agama, aritmatika,
jurisprudensi, logika, musik, serta puisi. Geliat pendidikan di Bukhara itu
telah membawa pengaruh yang positif dalam penyebaran dan penggunaan bahasa
Persia dan Uzbek.
Tak
heran, kemampuan penduduk Bukhara dalam menulis, menguasai ilmu pengetahuan
serta keterampilan berkembang pesat. Di tanah Bukahara pun kemudian lahir
sederet ulama dan ilmuwan Muslim termasyhur.
Pada
tahun 998 M, kekuasaan Dinasti Samanid berakhir dan digantikan Dinasti
Salajikah. Tak lama kemudian, diambli alih Dinasti Khawarizmi. Pada masa itu,
status Bukhara sebagai pusat peradaban dan perkembangan Islam masih tetap
dipertahankan. Ketika masa kekuasaan pemerintah Sultan Ala’udin Muhammad
Khawarizmi Syah berakhir, Bukhara sebagai pusat ilmu pengetahuan pun mulai
meredup.
Pada
1220 M, peperangan hebat antara pasukan Sultan Ala’udin dengan pasukan Mongol
di bawah komando Jengiz Khan meletus. Serangan brutal yang dilakukan 70 ribu
pasukan Jengiz Khan tak mampu diredam. Bukhara pun jatuh ke tangan pasukan
Mongol. Dengan kejam dan sadis, pasukan Mongol membantai penduduk kota,
membakar madrasah, masjid dan bangunan penting lainnya.
Jengiz
Khan meluluh-lantakan peradaban dan ilmu pengetahuan yang dibangun umat Islam
di Bukhara. Bukhara rata dengan tanah. Ibnu Asir melukiskan kondisi Bukhara
dengan kata-kata: ka an lam tagna bi al-amsi (seolah-olah tak ada apa-apa
sebelumnya). Cahaya kemajuan peradaban yang ilmu pengetahuan yang terpancancar
dari Bukhara pun meredup
Bukhara
di Zaman Modern
Meski masa kejayaannya telah berlalu pada abad ke-13 M, Bukhara masih memegang peranan yang penting di abad ke-19 M. Menurut Demezon, pada tahun 1833, Bukhara tetap menjadi bagian yang penting dalam kehidupan keagamaan dan budaya di kawasan tersebut.
“Madrasah-madrasah di Bukhara masih terkenal hingga ke Turkistan. Pelajar-pelajar dari Khiva, Kokand, Gissar bahkan dari Samarkand dan kawasan Tatar berbondong-bondong belajar ke Bukhara. Ada sebanyak 60 madrasah di Bukhara yang sukses maupun kurang sukses,” papar Demezon menggambarkan situasi Bukhara di abad ke-19.
Memasuki era modern, Bukhara berada di bawah kekuasaan Rusia. Bukhara pun dijadikan semacam bidak catur dalam ‘permainan besar’ antara Rusia dengan Inggris. Kota itu benar-benar merdeka selama revolusi komunis. Namun, Bukhara akhirnya masuk dalam kekuasaan Uni Soviet.
Menyusul terbentuknya Uni Soviet, Tajiks yang merupakan bagian dari Uzbekistan menuntut kemerdekaan. Rusia yang mendukung Uzbekistan atas Tajiks menyerahkan kota yang secara tradisional berbahasa dan berbudaya Iran, yakni Bukhara dan Samarkand kepada Uzbekistan.
Memasuki era modern, Bukhara berada di bawah kekuasaan Rusia. Bukhara pun dijadikan semacam bidak catur dalam ‘permainan besar’ antara Rusia dengan Inggris. Kota itu benar-benar merdeka selama revolusi komunis. Namun, Bukhara akhirnya masuk dalam kekuasaan Uni Soviet.
Menyusul terbentuknya Uni Soviet, Tajiks yang merupakan bagian dari Uzbekistan menuntut kemerdekaan. Rusia yang mendukung Uzbekistan atas Tajiks menyerahkan kota yang secara tradisional berbahasa dan berbudaya Iran, yakni Bukhara dan Samarkand kepada Uzbekistan.
Oleh Heri Ruslan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar