Rabu, 02 Mei 2012

D U N I A .......

 

Pada suatu hari Rasulullah Saw sedang tidur-tiduran di rumahnya melepas lelah. Beliau berbaring di atas tempat tidurnya yang terbuat dari pelepah, pohon kurma yang dianyam. Tiba-tiba seorang sahabat beliau yang bernama Ibnu Mas’ud datang berkunjung. Setelah mengucapkan salam dan Rasulullah menjawab salamnya, Ibnu Mas’ud pun masuk menemui Rasulullah. Oleh karena saat kedatangan Ibnu Mas’ud tersebutRasulullah Saw tidak mengenakan baju, maka Ibnu Mas’ud sempat melihat guratan merah dibadan Rasulullah karena berbaring di atas ranjang yang terbuat dari pelepah kurma.

Melihat kondisi Rasulullah yang demikian itu, Ibnu Mas’ud tak mampu menahan kesedihannya, air matanya pun mengalir deras membasahi pipi. Tidak tahu apa yang terlintas saat itu dipikiran Ibnu Mas’ud, boleh jadi dia tidak tega melihat seorang utusan Allah, yang dimuliakan Allah, mencintai dan dicintai oleh banyak pengikutnya, seorang pemimpin, seorang panglima di medan perang, yang boleh dibilang sama bahkan ‘lebih besar’ dari raja-raja atau penguasa-penguasa yang pemah ditaklukkan beliau, tetapi tempat tidurnya saja tidak menunjukkan bahwa beliau adalah seorang yang ‘besar’, sampai-sampai meninggalkan bekas dibadannya. Mungkin perasaan itu yang membuat Ibnu Mas’ud sangat sedih.

Dalam kesedihan itu, Ibnu Mas’ud mencoba untuk menawarkan Rasulullah sesuatu yang menurutnya dapat membuat Rasulullah Saw tidur dan beristirahat dengan layak.
 “Wahai Rasulullah, bolehkah kami membuatkan tempat tidur dan kasur untukmu wahai Rasulullah?“.
Mendengar permintaan Ibnu Mas’ud tersebut, Rasulullah pun menj awab, jawaban yang mungkin tidak diduga oleh Ibnu Mas’ ud. “Maa lii wa lid-dunya (Apa urusanku dengan dunia?)“,
dan Rasulullah melanjutkan jawabannya, “Perumpamaan hidupku di dunia ini tak lebih bagai seseorang yang sedang melakukan perjalanan jauh yang tengah berteduh di bawah sebuah pohon yang rindang, setelah beberapa saat berteduh, ia pun kembali melanjutkan perjalanannya dan meninggalkan pohon tersebut“. (HR. At-Turmudzi)

Jawaban ini kiranya membuat Ibnu Mas’ud bertambah haru, sekaligus tersadar betapa dunia ini hakikatnya hanyalah tempat berteduh sesaat yang kemudian kita akan kembali melanjutkan perjalanan dan meninggalkannya.

Mungkin setiap orang yang memiliki akal sehat, ketika dibacakan kepadanya hadits ini pastilah ia bisa mengerti dan faham maksudnya, bahwa hidup di dunia ini hanya sementara, dunia hanyalah sebagai tempat transit untuk kembali melanjutkan perjalanan menuju tempat tujuan terakhir.

Pemahaman seperti ini tidaklah salah, tetapi mencukupkan pemahamannya sampai di situ tidaklah tepat. Dapat kita ambil sebuah ilustrasi. Sekelompok pelajar akan melakukan perjalanan dari pulau Jawa ke pulau Sumatera guna mengikuti ujian kelulusan. Karena perjalanan ditempuh melalui jalur darat, maka di perjalanan para pelajar diperkenankan untuk mampir disebuah penginapan selama 5 jam untuk beristirahat sekaligus membahas beberapa contoh soal yang akan diujikan nanti setibanya di tempat tujuan di pulau Sumatera.

Setelah sekian jam menempuhperjalanan yang cukup melelahkan, tibalah para pelajar di sebuah penginapan yang direncanakan untuk mempersiapkan diri sebelummelanjutkan perj alanan. Para pelaj ar semuanya sudah tahu bahwa mereka hanya mempunyai waktu 5 jam di persinggahan itu. Tetapi tidak semua mahasiswa mempunyai sikap yang sama, ketika mengetahui bahwa mereka hanya 5 jam di persinggahan tersebut.

Diantara mereka ada yang merasa bahwa waktu 5 jam itu sangatlah sedikit untuk melakukan persiapan, sehingga dia harus memanfaatkan waktu tersebut untuk melakukanpersiapan ujian kelulusan, semua contoh soal yang diberikan diusahakannya dapat dibahas seluruhnya dan ditambah sedikit tidur untuk mengumpulkan energi.

Tetapi, ada sekelompok pelajar yang memanfaatkan waktu yang ada hanya untuk beristirahat, ditambah sedikit melihat-lihat soal yang akan diujikan, “mumpung diberi waktu istirahat”, kata mereka.
Tetapi ada juga sebagian pelajar yang terlena, mereka tahu bahwa waktu 5 jam itu bukanlah waktu yang lama, tetapi mereka asyik bermain dan bercanda, tidur-tiduran sambil berkhayal dan berandai-andai kalau nanti saya lulus, “mumpung diberi kesempatan untuk mampir di hotel”, dan mereka sama sekali tidak melakukan persiapan untuk perjalanan selanjutnya.

Akhirnya, apa yang terjadi dengan hasil ujian, pastilah mereka yang pada saat di tempat persinggahan melaku-kan persiapan dengan baik, meraih nilai terbaik alias lulus dan bergembira. Dan mereka yang terlena sebelumnya meraih nilai terburuk alias bersedih.

Mengetahui bahwa di dunia ini kita hanya sementara adalah penting, tetapi mengetahui apa yang harus dilakukan di dunia yang hanya sementara jauh lebih penting.

Sumber : Buletin Mimbar Jum’at No. 45 Th. XXII – 7 November 2008

 http://mimbarjumat.com/archives/292

Tidak ada komentar:

Posting Komentar